Umi, ia pemilik salah satu kos elit di lingkungan kekalik swadaya. Kamar kosnya berjumlah hampir 30-an lebih, terdiri dari dua lokal. Satu untuk cowok dan satu lokal buat cewek.
Saya kenal sama Umi sejak pertengahan bulan juli 2011 silam ketika saya berkunjung ke kos pacar saya. Kebetulan pacar saya terdaftar sebagai salah satu penghuni kos miliknya. Harga kos-kos-an perkamar milik umi dipatok 4-5 juta rupiah tergantung besar ukuran tidak termasuk bayar air dan listrik tiap bulannya. Harga yang cukup mahal bagi anak kuliahan seperti saya. Karena bagi saya, kos hanya sebagai tempat berteduh semata dan sementara bukan tempat tinggal selamanya. Sehingga tidak perlu bagus yang penting ada tempat taruh buku dan pakaian.
Nah, karena sering mengunjungi pacar yang sesekali waktu minta dianter jemput atau bahkan makan bareng di berugak kosnya membuat wajah Umi yang berperawakan kurus bungkuk tidak terlalu tinggi tersebut menjadi familiar di mata saya. Umurnya terlihat baru sekitar 45 tahun ke atas, wajahnya lumayan sedikit cantik (untuk tidak mengatakannya jelek hahahahahahahhahaha) meskipun terdapat keripat keriput di wajahnya. Orangnya keras (agak sama seperti saya), suaranya lantang, kalau ngomel, Umi tidak segan-segan mempermalukan siapa saja di hadapan banyak orang. Kalau diperkenankan, saya ingin menyebut Umi sebagai nyonya Amparo-nya lombok di salah satu telenovela yang pada tahun-tahun 2000-an cukup marak menghiasi media televisi kita.
Peraturannya lumayan ketat, karena lokal kos yang di tempati cowok sama cewek berbeda dan hampir berjarakkan tembok, maka peraturannya ialah “penghuni kos cowok maupun cewek dilarang keras saling mengunjungi kos, itu dikhawatirkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti saling masuk antar kos, atau bahkan menginap”, peraturan yang tidak bermanfaat. Karena jika kekhawatirannya demikian, mengapa Umi membuat lokal kos antara cowok dan cewek pada jarak yang begitu sangat dekat? Kenapa Umi tidak membuatnya menjadi kos-kos-an cewek atau cowok saja semuanya un sich? Sehingga penghuni kos yang satu dengan yang lainnya bisa bebas berkomunikasi tanpa adanya intervensi dari penguasa (pemilik kos). Kalau saja Jurgen Habermas tokoh Post Modernis pencetus revolusi komunikasi mendengar ini, pasti beliau sangat geram. Karena pada masa yang serba ter-post-kan ini, masih saja pola komunikasi yang dibangun bersifat konservatif dan kolot bin tolol pengaruh atau anak cucu dari ideologi setanisme, premanisme, sumpretisme moderniseme yang menjijikkan. Najis.
Selain itu, praturan yang membuat geram tidak hanya penghuni kos namun juga para tamu yang berkunjung ke tempat tersebut ialah para tamu tidak boleh memasukkan sepeda motornya ke dalam kos (lingkungan kos). Akibatnya, hampir tidak ada waktu jeda, setiap kali saya berkunjung kesana selalu saja ada sepeda motor dari berbagai “judul” yang hilang. Mulai dari sepeda motor matic dan yang paling banyak ialah sepeda motor jenis “belalang” satria F.
Mengapa para tamu tidak diperbolehkan memasukkan sepeda motornya ke dalam kos? Karena suatu ketika, ada tamu yang menginap di kos-kosa-an tersebut. Dan pada waktu bersamaan sepeda motor hilang di dalamnya. Diduga tamu itulah yang membawa kabur sepeda motor tersebut dari dalam lingkungan kos. Sehingga, sejak saat itu, aturan tidak boleh memasukkan motor bagi para tamu diberlakukan.
Namun yang tidak habis saya pikir ialah pencurian sepeda motor milik para tamu yang diparkir di luar lingkungan kos itu sudah sangat seringkali terjadi, tetapi tidak ada tindakan yang diperbuat oleh Umi selaku pemilik kos dalam bentuk kebijakan untuk mencegah maraknya aksi pencurian sepeda motor di lingkungan kos-kos-annya ini. Misalkan, kebijakan tidak boleh memasukkan sepeda motor bagi para tamu tidak diimbangi oleh kebijakan baru yang lebih menjamin keamanan dan kenyamanan bagi semua pihak. Dengan adanya penjaga khusus sepeda motor di luar saja, saya kira akan lebih bijak bagi Umi. Tidak cukup dengan hanya mengandalkan Pak Dan (penjaga kos) saja. Sebagai “penjaga kos” yang kalau kita jelaskan makna masing-masing kata tersebut, maka tugas Pak Dan sebenarnya ialah sebagai PENJAGA UMUM dari kos tersebut. Mulai dari bersih-bersih di lingkungan kos, kemudian menyiram, mengisi dan menjaga Air isi ulang yang kebetulan adalah bagian dari usaha Umi si ny. Amparo, kemudian menjaga parkiran sepeda motor di luar. Suatu pekerjaan yang berat dan tidak wajar dilakukan oleh satu orang. Sehingga dengan demikian, maka demi keamanan bersama, melalui tulisan singkat ini saya menyarankan Umi selaku pemilik utama kos-kos-an untuk mendatangkan penjaga khusus parkiran bagi para tamu. Atau kalau tidak mau mengeluarkan sedikit uang untuk menggaji penjaga tersebut, cabut kembali kebijakan pelarangan tamu tidak boleh memasukkan sepeda motornya di dalam lingkungan kos.
Sudah saatnya Umi bisa membedakan antara “fenomena” dan “kasus”. Kekhawatiran Umi saat ini ialah jika para tamu diizinkan memasukkan sepeda motornya, dikhawatirkan tamu tersebutlah yang nantinya akan mengambil sepeda motor anak penghuni kos (sebagaimana kekhawatiran Umi pada kasus sebelumnya). Namun pertanyaan saya ialah seberapa sering itu terjadi ? jika itu hanya sekali, bukankah itu yang disebut dengan “kasus” dan bersifat kasuistik? Namun jika itu sangat sering, maka itulah yang disebut sebagai fenomena dan bersifat “fenomenal”. Yang berbahaya tentu yang bersifat fenomenal karena berlangsung secara kontinuitas. Pertanyaan saya selanjutnhya ialah mana lebih sering kehilangan sepeda motor yang diparkir di luar lingkungan kos (pasca kebijakan) dengan di dalam kos (pra kebijakan) ? Semoga bermanfaat buat Umi, Si Nyonya Amparo . Wallahua’lam bisshawab.
Note: tulisan di atas merupakan curahan keresahan dan kekhawatiran saya semata selaku tamu yang intens berkunjung ke kos-kos-an tersebut. Semoga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dengan sepeda motor saya. I ♥♥♥♥♥♥♠♠♥♠♠♥ Jupiter Merah. Hehehehe
Jempong barat 12 Mei 2012, Pukul 03.44 Wita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar