KANGGOK'M TADAHN ?

Rabu, 23 Mei 2012

PLURALITAS SEBAGAI SUNNATULLAH


Persoalan cara pandang yang beda sebenarnya bukan masalah siapa yang benar dan Siapa yng salah, tapi lebih kepada sikap kedewasaan kita untuk bisa menerima perbedaan itu sendiri. Dalam konteks ini kedewasaan kita di uji apakah dia secara sunnatullah bisa menerima hal itu sebagai sesuatu yang niscaya atau sebaliknya sehingga disinilah perbedaan manusia-manusia unggul.



memilki sikap keberterimaan terhadap sesuatu yang beda nampaknya bukan permasalahan bisa atau Tidak bisa, tetapi lebih pada mau atau tidak mau untuk melakukannya. Tidak jarang dalam kasus yang seperti ini pertikaian dan baku hantam terjadi, tentu ini merupakan buah dari ketidaksiapan kita untuk menrima hal-hal yang beda dari diri kita. Beragamnya perbedaan yang ada menjadi bentuk dari keadilan sang penguasa, perbedaan merupakan ungkapan dari keadilan Tuhan yang Maha luar biasa. Perbedaan tersebut merupkan pengejawantahan dari nilai kebenaran yang tidak tunggal.



Dalam perbedaan Tuhan ingin mengajarkan kepada kita semua bahwa hidup itu tidak satu warna tapi banyak. Berbagai macam kultur social yang muncul adalah buah dari keindahan hidup yang terpancar dari keadilan Tuhan buat hambanya. Bukankah diktum Al-Qur’an sudah jelas memberikan gambaran kepada kita semua, bahwa di balik keberbedaan itu terkandung sejuta hikmah yang bisa ktia petik. “hai sekalian manusia sesunngguhnya kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan dari jenis perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal-mengenal”, betapa sangat tidak elok hidup ini kalau sekiranya kita berada pada satu jalan yang monoton tanpa tantangan dan rintangan, sungguh jiwa akan kering untuk berbicara tentang banyak hal, kebenaran yang di caripun tak kunjung menyembul semakin tertutup oleh ketidakpahaman kita terhadap lintasan-lintasan hidup yang penuh dengan kelokan. Bukankah objektifitas sesuatu itu akan di peroleh lewat bertemunya subjektifitas yang beragam. Lewat interaksi antar subjek jalan yang tertutup tirai lambat laun mendapatkan sinar meski tidak dalam bentuk yang sempurna, karma kesempurnaan hanya milik tuhan. Sungguh biadab kiranya dalam kebebedaan tersebut muncul sekte-ekte yang eksklusive menyebut diri mereka yang paling benar. Sudah saatnya kita secara benar dan keberterimaan sebagai sunnatullah untuk membuka refrensi dan cakrawala berfikir kita bahwa jalan mencapai kebenaran itu tidaklah satu.



Satu dimensi yang sama ketika dimasuki oleh dua orang yang berbeda maka akan menghasilkan dua kesimpulan yang beda pula. Waktu yang tersisa 5 menit dalam pertandingan sepak bola dirasakan sangat lama bagi tim yang menang untuk bisa mempertahankan kemenangannya hingga peluit akhir berbunyi. sebaliknya bagi tim yang kalah akan dirasa sangat pendek untuk bisa mengejar ketertinggalan dan menyamakan kedudukan. Pertanyaan yang kemudian muncul cara pandang tim mana yang benar-benar benar?



penulis ingin menjawab dalam kaca mata sebagai seorang Gadamerian, bahwa keduanya sama-sama benar, tidak ada yang salah. Dalam perspektif gadamerian semua bentuk inside atau paradigma sesorang tergantung oleh kondisi historisitasnya masing-masing. Al-gazali dalam memahami kebenaran tentu beda dengan kebenaran yang di pahami oleh Descartes ataupun kebenaran oleh David hume atau Augusto comte. Tokoh- tokoh di atas masing-masing memahami kebenaran lewat historisitas mereka; Al-gazali lewat intuisi, Descartes lewat rasionalitas dan david hume lewat empirisme serta Augusto comte lewat rasional-empirik. Masing-masing itu benar jika dilihat dari inside mereka masing-masing, karna kesemuanya benar maka di perlukan pemahaman untuk bisa saling mengamini dan menrima kebenaran itu sebagai sunnatullah mengingat Tuhan adalah zat yang sangat indah melebihi indahnya beragam warna pelangi. Tidak menjadi persoalan kemudian jika memahami Tuhan itu dengan warna hijau atau hitam, karna perbedaan itu indah dimata masing-masing empunya. Namun, yang perlu diingat adalah keindahan dengan periferal yang beragam tidak mengurangi nilai-nilai baku yang sudah ada. Dalam perpektif permukaan (form) beda itu menjadi ekspresi yang wajar, namun yang tidak boleh di hilangkan adalah nilai-nilai (substansi) dari sebab munculnya ekspresi yang beda terebut.







NOTE: he he he,,, goresan-goresan pena lama yang kini masih terkenang



Dasan Agung Perigi

03/04/10, Pukul 06:39



Tidak ada komentar: