Sebelum kita masuk dalam kedua elemen kata di atas, ada baiknya kita elaborasi makna masing-masing kata di atas. Titik poin kita di sini adalah kata ‘love’ cinta dan ‘blind’ buta. Love yang selanjutnya kita sebut cinta merupakan kata yang sudah sangat familiar di telinga kita. ‘Cinta’ dalam bahasa yang sangat sederhana di sinyalir datang dari perasaan yang selanjutnya turun ke hati. Jadi cinta itu identik dengan kondisi hati seseorang, kondisi hati itulah yang membuat sesorang memilki ekspresi yang berbeda dalam melihat sesuatu. Dari ekspresi tersebut kita bisa melihat suasana hati seseorang, apakah ia saat itu sedang senang,, susah, bahagia, marah, gembira dan kondisi-kondisi yang lain. Tentu disini kita harus memaknai cinta dengan makna yang universal, bukan dengan makna parsial yang sempit, sebagaimana yang sering kita asosiasikan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, cinta antara seorang kakak dan adik, ibu dan ayah dan lain sebagainya.
Sedang kata ‘Blind’ yang selanjutnya kita sebut ‘buta’ berarti buta, buta dalam artian tidak mampu melihat secara fisik. Itulah uraian singkat tentang kedua kata tersebut. Lalu apa kaitan antara cinta dan buta ? karna kedua kata tersebut sering kali di sandingkan dalam satu tempat. sehingga muncul ungkapan “buta karna cinta’’ atau bisa juga sebaliknya ‘’cinta karna buta”. Memang kalau kita analisis arti dari kedua kata tersebut tidak bisa terpisahkan. Seringkali karna cinta kadang kita buta tidak bisa melihat sesuatu secara jelas, Karna tidak jelas, maka ketika kita menilai sesuatu juga ikut-ikutan tidak jelas (baca : objektif), akibatnyapun menjadi tidak karuan.
Lalu apa yang membuat kita sering terbutakan karna cinta?
Menurut hemat penulis, Cinta sebenarnya cendrung melihat ke arah terdalam dari siapa diri kita dan siapa serta apa objek yang kita cintai. Siapa diri kita sangat identik dengan siapa dan apa yang kita cintai. Karna antara kedua ranah “aku” sebagai pelaku (subjek) dan “dia” sebagai sasaran (objek) sudah menyatu dalam satu dimensi yang sudah sangat erat dan tidak bisa di bedakan. Sehingga ‘aku’ adalah ‘dia’ dan ‘dia’ adalah ‘aku’. Maka bisa di pastikan mereka sudah terbutakan untuk bisa melihat sesuatu secara objektif, karna sekali lagi mereka sudah tertutup oleh tirai ‘kedirian” mereka. Sifat dari ‘kedirian’ ini cendrung melihat sesuatu sebagai yang harus identik dengan diri mereka, sehingga akan terjadi resistensi ketika ada sebagian orang yang memiliki pandangan yang beda yang tidak sesuai dengan sifat kedirian mereka.
Kedirian ini Merupakan ego, semua orang memilikinya dan sifatnya given. Ego dalam bahasa agama adalah nafsu, karna nafsu maka ia seringkali mengajak kita kepada keburukan Inna nafs la’amra’atun bissu’, namun tidak semestinya kita menghilangkan nafsu tersebut secara total, namun dengan proporsi-proporsi yang sesuai. Kasus dalam realita keberagamaan kita memberikan sejuta cerita bahwasanya tidak sedikit orang, kaum dan golongan tertentu yang buta karna cinta. Cinta kepada organisasi, partai, wanita, laki-laki,dan cinta pada semua ranah kehidupan, tidak sedikit yang terbutakan oleh kata yang sangat pendek ini. Buta karna cinta sangat berbahaya dan sangat buas, karna, selain merugikan diri sendiri juga orang lain. Efek yang sering muncul ke permukaan ketika sindrom buta karna cinta melanda adalah sikap ekskluivitas dalam berfikir dan bersikap.
Sikap eksklusiv ini sangat tidak baik bagi perkembangan keagamaan kita saat ini, yang sedang mendapat stereotype negativ sebagai agama pembawa kekerasan, dengan adanya aksi terror di berbagai di tempat. Sikap ekssklusiv dapat membawa kita ke alam subjektifitas kebenaran semu, sebagai akibat dari ketidak mampuan kita untuk melihat realitas yang ada di luar dari dunia ‘’kedirian” tersebut. Kebutaan tersebut juga tidak terlepas dari ‘pandangan alam’ seseorang dalam bahsanya Murtada Muttahari, atau historisitasnya Amin Abdullah. Baik itu dari konteks ideologi, pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan konteks-konteks lainnya. sindrom kebutaan ini, kalau kita lihat lebih jauh lagi adalah virus dari cara berfikir yang rigid dan kaku. Pikiran tidak ubahnya seperti sebuah kamera yang mengambil objek pemotretan, hasilnya sangat tergantung dari sudut dan arah mana serta kamera apa yang kita pakai untuk memotret. Bisa jadi hasilnya bulat, persegi, lonjong, hitam, putih, panjang, pendek dan berbagai kemungkinan hasil lainnya. mungkin kita masih ingat dengan cerita si buta yang di perintahkan untuk mendeskripsikan bentuk gajah. Tentu akan di peroleh jawaban yang sangat beragam.
Dari jawaban yang beragam itu, tidak sepatutnya kita mengabsolutkan mentaqdist-kan pendapat kita, yang nantinya akan melahirkan kebutaan dalam berfikir. Sehinnga, tidak mampu melihat kemungkinan beragamnya jawaban-jawaban yang ada. Coba kita berandai menjadi orang buta yang di perintahkan mendiskripsikan bagaimana bentuk pesawat. Jangan heran kalau jawaban yang di temui sangat beragam, tentu, karna masing-masing memakai cara yang berbeda dalam mendiskripsikan bentuk pesawat terebut. Atau dua orang laki-laki yang melihat seorang perempuan, tentu penilaiannyapun berbeda. Sebagai manusia yang keberadaannya selalu di posisikan sebagai hamba yang mempunyai potensi salah dan lupa, maka sejatinya, tidak ada yang obsolut dari hal-ihwal terkait dengan kemanusiaannya. Yang ada adalah potensi tersebut harus terus di dialogkan dengan realita yang ada, karna dengan dialog, akan terjadi pertukaran refrensi yang akan membuka cakrawala berfikir dan memperkaya khazanah keilmuan kita, sehingga memungkinkan kita tidak melihat sesuatu dari satu perspektif yang rigid dan kaku, yang membuat kita bisa buta dalam menilai berbagai hal. Kebutaan itu selanjutnya akan menjalar pada adanya sikap fanatisme yang muaranya pada emosi dan perasaan, bukan berdasar pada realitas objektif yang lebih rasional. Ketika semua sudah di kendalikan oleh emosi dan perasaan maka apapun bisa terjadi, “lautpun kan ku sebrangi, gunungpun kan ku daki” adalah adagium yang berada pada ranah yang irasional yang menyebabkan kita menjadi buta.
Lalu sikap seperti apa yang seharusnya kita miliki dan kembangkan?
Tentu kita pernah mendengar sabda Nabi SAW “cintailah sesuatu sekadarnya saja, dan bencilah sesuatu sekadarnya saja’’, mengapa demikian? ‘’Karna bisa jadi orang yang paling kamu cintai, suatu saat akan kamu benci, dan orang yang kamu benci suatu saat akan kamu cintai’’. Mencintai, karna ia sangat dekat dengan dunia kita, benci karna ketidak mampuan kita untuk melihat betapa dekatnya ia dengan diri kita, andai saja kita mampu melihat dan menyingkap tirai yang selama ini menutup mata kita untuk melihat dunia sebagai realitas yang objektif dan rasional.
Dasan Agung
04/06/10 PUKUL 16:54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar