Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI
Cabang Mataram)
Hadirnya
berbagai media masa menjadi bukti bahwa dunia teknologi begitu pesat
perkembangannya. Hal ini sebagaimana telah diramalkan oleh Alvin Tofler dengan
kategorisasi perkembangan kehidupan masyarakat sebagai petanda bahwa telah terjadi
pergeseran “paradigma” dalam bahasanya Tomas Khun melihat trend yang berkembang
di masyarakat dewasa ini. Diantaranya ialah gelombang masyarakat
agraris, masyarakt industri, dan masyarakat informasi.
Mungkin
diabad-abad sebelum terjadinya revolusi di Inggris dan Prancis yang selanjutnya
menjadi petanda awal bagi kemajuan bangsa-bangsa Eropa dan seiring dengan revolusi
pada konteks beragama bangsa Eropa yang mulai melihat perlunya pemisahan antara
‘ruang-ruang’ Tuhan sebagai sesuatu yang sangat privasi berganti menuju ruang
humanity antroposentris yang lebih terbuka dan publisities. Meski
kemunculan ide yang sangat revolusioner yang demikian pada saat itu memunculkan
ketegangan antara otoritas gereja di satu pihak dan kaum ilmuan-intelektual di
pihak yang lain telah mencetuskan terjadinya mihnah-inqutition, namun
dengan kesadaran penuh masyarakat Eropa menerimanya sebagai suatu keniscayaan
yang harus dilewati seolah mengamini apa yang disampaikan oleh Auguste Comte
(1798-1857) halnya dengan perkembangan masyarakat dari tahap teologis-magis, metafisika-supra
magis sampai dengan logis-positivistik sekarang ini. Sehinga demikian, Eropa melihat
kehidupan dunia murni ‘profan’ yang tidak terkait sama sekali dengan kehidupan
ukhrawi yang lebih bersifat ‘sakral’.
Namun terlepas
dari pembaca setuju atau tidak yang jelas fenomena negara-negara yang
menjadikan pprinsip sekulerisme sebagai acuan bernegara dan berbangsa cenderung
lebih menampakkan dirinya sebagai negara maju dan modern atau memang
benar-benar maju.
Apapun nilai
yang terkandung dalam “diri” sekulerisme tersebut, baik itu baiknya dan juga
sebaliknya namun menjamurnya media sekarang ini ialah sesuatu yang tidak
terpisahkan dari hal tersebut meski banyak intelektual pun mengkritisi
kemunculan teknologi yang terlalu membawa visi profan dan tidak mempunyai
dimensi sakral-religius. Syafi’i ma’arif menyebut apa yang telah dilahirkan
oleh Eropa (Barat) ialah peradaban yang tidak beradab, peradaban yang tidak
memikirkan dampak panjang untuk kehidupan umat manusia. Kerusakan alam,
moralitas disinyalir lahir dari ulah peradaban modern yang tidak mempunyai hati
nurani dan kejam. Hilangnya silaturahmi dan nilai gotong royong di tengah-tengah
masyarakat dan sebagai kekuatan perekat kini perlahan tradisi arif itu mulai
luntur oleh kungkungan teknologi yang menjerat hidup manusia yang tidak bisa
terlepas dari teknologi. Makan, minum, tidur, membajak sawah, bekerja, semua dikendalikan
oleh mesin. Tidak terkecuali kehidupan umat manusia di segala lini.
Kehadiran
jejaring sosial semisal Friendstar, Facebook, Twitter dan lain sebagainya yang
memang niatan awalnya untuk membangun silaturahmi antar sesama kini
disalahgunakan sebagai tempat untuk melakukan praktik-praktik ‘akad’ jual beli gadis
binal hanya dengan bertukar poto yang di upload dan bertukar nomor handpone
serta hanya chat lewat email, “paha ayam panggang” mulus pun sudah bisa
dinikmati dengan empuknya. Itulah yang sangat disayangkan oleh sebagian tokoh
intelektual yang mengkritisi ideologi modernisme.
Maryam Jameelah ialah
tokoh muslim salah satu penentang ideologi ini. Tokoh perempuan yang dikenal sebelum
menjadi mu’allaf dengan nama Margaret Marcus ini dengan tegas menolak ideologi
modernisme sebagai praktik-praktik bid’ah yang harus dijauhi karena hanya
merusak moralitas manusia, bernilai murni hanya materi. Sementara itu, tokoh
posmodernisme Jeans Francois Lyotard menyebut kemunculan modernisme telah
menggeser narasi-narasi spiritual tentang takdir manusia dengan narasi yang
lebih sekuler (Burhan Bungin, Filsafat Sosiologi Komunikasi, hal. 13).
Desakralisasi
nilai-nilai ‘Profan’
Perkembangan
dunia modern yang amat pesat seperti sekarang ini memberikan pilihan kepada
kita sebagai umat muslim secara ideologi, apakah menolak kehadiran modernisme
yang sudah tidak mungkin terbendung lagi atau merangkulnya kemudian menanamkan
nilai-nilai islam di dalamnya? Jika pilihannya jatuh pada yang pertama maka,
konsekuensinya ialah kita harus melawan berbagai bentuk modernisme dengan multiplayer
efek nya baik dalam bentuk ideologi maupun praktiknya. Sehingga
demikian, generasi yang tercipta dari bentuk ini ialah generasi yang hidup
dalam tekanan, generasi yang tumbuh subur hidup dalam kebencian dan perlawanan.
Generasi inilah yang kemudian mendapatkan streotype oleh mereka yang mendukung
ideologi modernisme sebagai penganut keberagamaan radikal, meski “radikal” itu
sendiri sesuatu yang dianjurkan dalam islam dan memerlukan penjelasan secara
rinci.
Namun jika
pilihannya jatuh pada yang kedua, maka sesungguhnya ini merupakan ijtihad
politik dalam konteks beragama demi kelangsungan kehidupan keberagamaan. Tentu
keonsekuensinya sangat jelas, akan tercipta generasi yang mampu tumbuh hidup
lentur dan mampu berdampingan hidup disegala kondisi tentunya dengan membawa
nilai-nilai agama yang memang menjadi ruh awalnya rahmat lil alamin.
Perkembangan
dunia yang lebih mencirikan kehidupan yang profan turut pula mempengaruhi perkembangan
dunia sufisme dalam islam. Sebagai sebuah kategorisasi ilmu, sufisme pada era
modernisme ini harus mampu mengubah paradigma yang dianutnya demi
eksistensinya. Kalau dalam ajarannya yang lebih konvensional, sufisme cenderung
mengambil bentuk yang pertama pada pilihan sebagaimana di atas. Namun begitu,
bedanya terletak pada sikapnya yang tidak reaksioner-revolusioner menentang ideologi
modernisme.
Sikapnya yang
“kalem” cenderung menjauhi untuk tidak mengatakan anti terhadap kehidupan
duniawi menjadi branding image dalam ajaran-ajarannya. Namun patut untuk
direnungkan, jika pilihan gerakannya masih mengambil haluan seperti itu, maka
eksistensinya sebagai salah satu khazanah keilmuan dalam islam akan tamat.
Selain itu, akan mengganggu perkembangan kondusifitas spiritual yang sehat dan
wajar. Maka sebenarnya hal yang perlu dilakukan ialah mengubah visi gerakan
sufisme yang selama ini berkembang. Inti ajaran sufisme perlu direvitalisasi
kembali guna menemukan inti ajaran yang selaras dengan ajaran islam rahmat
lil alamin.
Melihat fenomena
sufisme yang selalu mengambil gerakan dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan
semacam tarekat dengan seperangkat aturan-aturan super ketat di dalamnya, Amin
Abdullah kembali mempertanyakan, apakah pertumbuhan spiritualitas yang sehat
dan wajar hanya dapat dilakukan lewat metode pengekangan keinginan yang ekstra
ketat seperti yang terjadi dalam kelembagaan tasawuf? Lebih lanjut Amin
menjelaskan bahwa sufisme model lama ini lebih banyak terkait dengan teologi
Asy’ariah yang kurang memungkinkan perkembangan keperibadian seseorang secara
wajar dan sehat. Maqam-maqam tertentu lebih banyak terkonsentrasi kepada
larangan ini dan itu untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dalam jenjang
perjalanan batin seorang sufi. Aspek penekanan dan pergeseran intelektual dan
bukan ‘pendidikan’ intelektual yang wajar lebih digaris bawahi dalam sistem
berpikir sufisme dan agamawan pada umumnya. Pandangan dunia yang terlampau
negatif terhadap kehidupan dunia lebih digaris bawahi daripada pandangan dunia
yang positif (Amin, Studi Agama, 2011, hal164). Akibatnya, generasi muslim
mengalami kemunduran intelektualitas dalam menangkap makna zaman yang sedang
dilewatinya. Sehingga ‘api’ islam yang seharusnya memancarkan sinarnya di
tengah hingar bingar berbagai kondisi kehidupan dunia yang serba metropolitan menjadi
padam dan tidak berfungsi.
Visi kehdiupan
dunia yang dibangun oleh ideologi modernisme dengan ciri ‘profan’, membuat
sebagian masyarakat dunia sadar akan bahaya ideologi modernisme ini. kesadaran
yang terbangun memaksa mereka berpikir keras meluruskan dan menemukan visi
kehidupan dunia yang lebih mulia. Mereka s
Wallhua’lam bissawab
Perihal : Pengiriman Tulisan Mataram, 20 Pebruari
2013
Lampiran : -
Kepada
Yth. Bapak Pimpinan Redaksi Harian Suara NTB
Di-
Jalan Jalan Bangau No 15 Cakranegara
Dengan hormat
Saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Darsono
Yusin Sali
TTL : Darek,
27 Agustus 1989
Alamat : Jl. Panji
Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan : Sekretaris
Umum HMI Cabang Mataram
No hp : 081 805
720 322
Email : yusinpiero@gmail.com
Memohon kedapa Bapak
untuk dapat menerbitkan tulisan saya yang berjudul “Menangkap “Api” Islam” pada koran Harian Suara NTB yang Bapak pimpin.
Demikian saya sampaikan
dengan harapan Bapak dapat
mengabulkannya. Atas perhatian Bapak terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis
Darsono
Yusin Sali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar