KANGGOK'M TADAHN ?

Jumat, 22 Februari 2013

Menangkap “Api” Islam




Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)

Hadirnya berbagai media masa menjadi bukti bahwa dunia teknologi begitu pesat perkembangannya. Hal ini sebagaimana telah diramalkan oleh Alvin Tofler dengan kategorisasi perkembangan kehidupan masyarakat sebagai petanda bahwa telah terjadi pergeseran “paradigma” dalam bahasanya Tomas Khun melihat trend yang berkembang di masyarakat dewasa ini. Diantaranya ialah gelombang masyarakat agraris, masyarakt industri, dan masyarakat informasi.

Mungkin diabad-abad sebelum terjadinya revolusi di Inggris dan Prancis yang selanjutnya menjadi petanda awal bagi kemajuan bangsa-bangsa Eropa dan seiring dengan revolusi pada konteks beragama bangsa Eropa yang mulai melihat perlunya pemisahan antara ‘ruang-ruang’ Tuhan sebagai sesuatu yang sangat privasi berganti menuju ruang humanity antroposentris yang lebih terbuka dan publisities. Meski kemunculan ide yang sangat revolusioner yang demikian pada saat itu memunculkan ketegangan antara otoritas gereja di satu pihak dan kaum ilmuan-intelektual di pihak yang lain telah mencetuskan terjadinya mihnah-inqutition, namun dengan kesadaran penuh masyarakat Eropa menerimanya sebagai suatu keniscayaan yang harus dilewati seolah mengamini apa yang disampaikan oleh Auguste Comte (1798-1857) halnya dengan perkembangan masyarakat dari tahap teologis-magis, metafisika-supra magis sampai dengan logis-positivistik sekarang ini. Sehinga demikian, Eropa melihat kehidupan dunia murni ‘profan’ yang tidak terkait sama sekali dengan kehidupan ukhrawi yang lebih bersifat ‘sakral’. 

Namun terlepas dari pembaca setuju atau tidak yang jelas fenomena negara-negara yang menjadikan pprinsip sekulerisme sebagai acuan bernegara dan berbangsa cenderung lebih menampakkan dirinya sebagai negara maju dan modern atau memang benar-benar maju.

Apapun nilai yang terkandung dalam “diri” sekulerisme tersebut, baik itu baiknya dan juga sebaliknya namun menjamurnya media sekarang ini ialah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hal tersebut meski banyak intelektual pun mengkritisi kemunculan teknologi yang terlalu membawa visi profan dan tidak mempunyai dimensi sakral-religius. Syafi’i ma’arif menyebut apa yang telah dilahirkan oleh Eropa (Barat) ialah peradaban yang tidak beradab, peradaban yang tidak memikirkan dampak panjang untuk kehidupan umat manusia. Kerusakan alam, moralitas disinyalir lahir dari ulah peradaban modern yang tidak mempunyai hati nurani dan kejam. Hilangnya silaturahmi dan nilai gotong royong di tengah-tengah masyarakat dan sebagai kekuatan perekat kini perlahan tradisi arif itu mulai luntur oleh kungkungan teknologi yang menjerat hidup manusia yang tidak bisa terlepas dari teknologi. Makan, minum, tidur, membajak sawah, bekerja, semua dikendalikan oleh mesin. Tidak terkecuali kehidupan umat manusia di segala lini.

Kehadiran jejaring sosial semisal Friendstar, Facebook, Twitter dan lain sebagainya yang memang niatan awalnya untuk membangun silaturahmi antar sesama kini disalahgunakan sebagai tempat untuk melakukan praktik-praktik ‘akad’ jual beli gadis binal hanya dengan bertukar poto yang di upload dan bertukar nomor handpone serta hanya chat lewat email, “paha ayam panggang” mulus pun sudah bisa dinikmati dengan empuknya. Itulah yang sangat disayangkan oleh sebagian tokoh intelektual yang mengkritisi ideologi modernisme. 

Maryam Jameelah ialah tokoh muslim salah satu penentang ideologi ini. Tokoh perempuan yang dikenal sebelum menjadi mu’allaf dengan nama Margaret Marcus ini dengan tegas menolak ideologi modernisme sebagai praktik-praktik bid’ah yang harus dijauhi karena hanya merusak moralitas manusia, bernilai murni hanya materi. Sementara itu, tokoh posmodernisme Jeans Francois Lyotard menyebut kemunculan modernisme telah menggeser narasi-narasi spiritual tentang takdir manusia dengan narasi yang lebih sekuler (Burhan Bungin, Filsafat Sosiologi Komunikasi, hal. 13).

Desakralisasi nilai-nilai ‘Profan’

Perkembangan dunia modern yang amat pesat seperti sekarang ini memberikan pilihan kepada kita sebagai umat muslim secara ideologi, apakah menolak kehadiran modernisme yang sudah tidak mungkin terbendung lagi atau merangkulnya kemudian menanamkan nilai-nilai islam di dalamnya? Jika pilihannya jatuh pada yang pertama maka, konsekuensinya ialah kita harus melawan berbagai bentuk modernisme dengan multiplayer efek nya baik dalam bentuk ideologi maupun praktiknya. Sehingga demikian, generasi yang tercipta dari bentuk ini ialah generasi yang hidup dalam tekanan, generasi yang tumbuh subur hidup dalam kebencian dan perlawanan. Generasi inilah yang kemudian mendapatkan streotype oleh mereka yang mendukung ideologi modernisme sebagai penganut keberagamaan radikal, meski “radikal” itu sendiri sesuatu yang dianjurkan dalam islam dan memerlukan penjelasan secara rinci.

Namun jika pilihannya jatuh pada yang kedua, maka sesungguhnya ini merupakan ijtihad politik dalam konteks beragama demi kelangsungan kehidupan keberagamaan. Tentu keonsekuensinya sangat jelas, akan tercipta generasi yang mampu tumbuh hidup lentur dan mampu berdampingan hidup disegala kondisi tentunya dengan membawa nilai-nilai agama yang memang menjadi ruh awalnya rahmat lil alamin.
Perkembangan dunia yang lebih mencirikan kehidupan yang profan turut pula mempengaruhi perkembangan dunia sufisme dalam islam. Sebagai sebuah kategorisasi ilmu, sufisme pada era modernisme ini harus mampu mengubah paradigma yang dianutnya demi eksistensinya. Kalau dalam ajarannya yang lebih konvensional, sufisme cenderung mengambil bentuk yang pertama pada pilihan sebagaimana di atas. Namun begitu, bedanya terletak pada sikapnya yang tidak reaksioner-revolusioner menentang ideologi modernisme.
Sikapnya yang “kalem” cenderung menjauhi untuk tidak mengatakan anti terhadap kehidupan duniawi menjadi branding image dalam ajaran-ajarannya. Namun patut untuk direnungkan, jika pilihan gerakannya masih mengambil haluan seperti itu, maka eksistensinya sebagai salah satu khazanah keilmuan dalam islam akan tamat. Selain itu, akan mengganggu perkembangan kondusifitas spiritual yang sehat dan wajar. Maka sebenarnya hal yang perlu dilakukan ialah mengubah visi gerakan sufisme yang selama ini berkembang. Inti ajaran sufisme perlu direvitalisasi kembali guna menemukan inti ajaran yang selaras dengan ajaran islam rahmat lil alamin. 

Melihat fenomena sufisme yang selalu mengambil gerakan dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan semacam tarekat dengan seperangkat aturan-aturan super ketat di dalamnya, Amin Abdullah kembali mempertanyakan, apakah pertumbuhan spiritualitas yang sehat dan wajar hanya dapat dilakukan lewat metode pengekangan keinginan yang ekstra ketat seperti yang terjadi dalam kelembagaan tasawuf? Lebih lanjut Amin menjelaskan bahwa sufisme model lama ini lebih banyak terkait dengan teologi Asy’ariah yang kurang memungkinkan perkembangan keperibadian seseorang secara wajar dan sehat. Maqam-maqam tertentu lebih banyak terkonsentrasi kepada larangan ini dan itu untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dalam jenjang perjalanan batin seorang sufi. Aspek penekanan dan pergeseran intelektual dan bukan ‘pendidikan’ intelektual yang wajar lebih digaris bawahi dalam sistem berpikir sufisme dan agamawan pada umumnya. Pandangan dunia yang terlampau negatif terhadap kehidupan dunia lebih digaris bawahi daripada pandangan dunia yang positif (Amin, Studi Agama, 2011, hal164). Akibatnya, generasi muslim mengalami kemunduran intelektualitas dalam menangkap makna zaman yang sedang dilewatinya. Sehingga ‘api’ islam yang seharusnya memancarkan sinarnya di tengah hingar bingar berbagai kondisi kehidupan dunia yang serba metropolitan menjadi padam dan tidak berfungsi.

Visi kehdiupan dunia yang dibangun oleh ideologi modernisme dengan ciri ‘profan’, membuat sebagian masyarakat dunia sadar akan bahaya ideologi modernisme ini. kesadaran yang terbangun memaksa mereka berpikir keras meluruskan dan menemukan visi kehidupan dunia yang lebih mulia. Mereka s
 Wallhua’lam bissawab


















Perihal              : Pengiriman Tulisan                          Mataram, 20 Pebruari 2013
Lampiran          : -
                 Kepada
     Yth. Bapak Pimpinan Redaksi Harian Suara NTB
     Di- Jalan Jalan Bangau No 15 Cakranegara
Dengan hormat
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                      : Darsono Yusin Sali
TTL                         : Darek, 27 Agustus 1989
Alamat                     : Jl. Panji Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan                : Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram
No hp                      : 081 805 720 322
Email                       : yusinpiero@gmail.com
Memohon kedapa Bapak untuk dapat menerbitkan tulisan saya yang berjudul Menangkap “Api” Islam” pada koran Harian Suara NTB  yang Bapak pimpin.
Demikian saya sampaikan dengan harapan  Bapak dapat mengabulkannya. Atas perhatian Bapak terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis

Darsono Yusin Sali



Tidak ada komentar: