KANGGOK'M TADAHN ?

Jumat, 22 Februari 2013

Fenomena “simulukrum” Menjelang Pilkada



Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram periode 2011-2012)
Tidak terasa, waktu terus berjalan meniti jalan panjang kehidupan umat manusia. Memasuki tahun 2013 ini, berbagai pendapat mengemuka di publik. Ada yang menafsirkan tahun ini sesuai dengan kebutuhan si penafsir sendiri sesuai dengan historisitasnya. Bagi seorang politisi, tentu tahun ini merupakan tahun politik bagi mereka untuk meraup dukungan suara masyarakat. Dengan berbagai cara dan strategi “menjual” dan “mengobral” visi misinya, tentu dengan satu niatan untuk menarik hati masyarakat.
Fenomena ini sangat menarik untuk dicermati mengingat momentumnya yang hanya terjadi lima tahun sekali. Tema ini selalu menggelitik setiap orang dan tentu tidak akan menemui ujungnya selama demokrasi masih dijalankan. Sebagaimana khalayak umum ketahui, tahun ini akan berlangsung pesta demokrasi di NTB yaitu Pilkada yang akan memilih calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur untuk masa bakti lima tahun ke depan (periode 2013-2018).

Berbagai komentar publik bermunculan mengukur segala sisi pasangan Cagub dan Cawagub yang sudah mendaftar beberapa waktu lalu. Kelima pasangan itu antara lain: paket TGB-Amin, Zul-Ichsan, Harum, paket SJP-Johan dan pasangan Laris dari jalur independen. Kelebihan dan kekurangan para kandidat menjadi semacam amunisi untuk saling menyerang sekaligus menembak konstituennya. Maka tak pelak lagi, fenomena saling “intip” kekuatan lawan politik lewat survey-survey yang dimiliki oleh para kandidat menjadi sebuah trend untuk mengukur sejauhmana elektabilitas dan kekuatan politik lawan serta strategi apa yang akan digunakan nantinya.

Meski masa kampanye masih lama, perang baliho tidak terelakkan terpampang secara gantelemen diberbagai ruas dan sudut jalan. Tidak mau tahu apakah itu tempat yang harusnya steril dari akses-akses politik, tidak sedikit para kandidat yang memasang baliho di depan sekolah dan kampus yang notabenenya merupakan ruang yang harus bebas dari nuansa politik dalam bentuk apapun. Karena generasi muda seperti mereka (siswa, mahasiswa) harus tetap menjaga netralitas, independensi dan idealismenya. Tidak hanya perang lewat baliho, perang lewat media masa juga menjadi trend yang menarik untuk dilihat. Dibeberapa media cetak, para kandidat sudah mulai berkampanye. Dengan berbagai motif, mereka masuk untuk memperkenalkan visi misinya ke tengah masyarakat. Selain berkampanye lewat media cetak, media elektronik juga menjadi pilihan. Lewat dunia maya semisal FB, Twitter, BBM, dan lain sebagainya. Tentu jika berkaca dari proses suksesi kepemimpinan diberbagai negara semisal Amerika, kampanye lewat media menjadi pilihan utama untuk mengalang dukungan dan massa. Dan itu terbukti efektif dalam kemenangan presiden Obama yang lebih sering menyapa masyarakatnya lewat dunia maya. Tidak hanya pada konteks suksesi, efektifitas berkampanye lewat dunia maya juga terbukti pada sukses beberapa negara timur tengah dalam mendobrak stagnasi pemerintah mendorong terjadinya iklim demokrasi yang sehat. Revolusi di negara Fir’aun Mesir misalnya, jatuhnya rezim Muammar Qadafi dan gejolak Suriah serta beberapa negara lainnya yang juga terbilang sukses menggalang dukungan lewat dunia maya. Sehingga “perang cyber” diramalkan untuk beberapa bulan menjelang Pilkada ini akan dirmaikan oleh berbagai forum diskusi tentunya dalam rangka “menjual” ide dan gagasan para kandidat yang bertarung. Apalagi data yang dirilis oleh tentang pengguna FB di indonesia pada tahun 2012 sebesar 50 juta. Ini bisa jadi salah satu lahan subur untuk merebut hati para pemilih.

Jika di satu sisi fenomena yang melanda para kandidat itu sendiri kini terus bergulir, hal serupa juga hampir-hampir terjadi ditataran akar rumput grass root sebagai konstituen pada pilkada nantinya. Tidak kalah ramainya dengan diskusi di dunia cyber, mereka juga menggelar hal-hal semacam itu meski tidak dalam konteksnya yang formal. Berbagai macam perkumpulan-perkumpulan dibuat, kelompok paguyuban ramai-ramai dideklarasikan. Tentu iklim seperti ini tidak salah. Karena selain dijadikan sebagai media menggalang dukungan, tentu ini positif bagi mereka yang masuk dalam perkumpulan-perkumpulan tadi itu untuk bertukar ide dan gagasan yang tentunya akan berdampak pada tingkat kritis masyarakat kita di satu sisi. Namun yang penulis khawatirkan ialah jangan sampai kesadaran untuk bertukar wacana baik di dunia cyber maupun di perkumpulan-perkumpulan yang dibentuk tadi hanya ramai ketika momentum menjelang Pilkada ini berlangsung, selesai dari itu lenyap ditinggal para penghuninya. Jean Budrillard salah satu tokoh post modernisme menyebut fenomena itu sebagai “simulukrum”. Sebuah  fenomena di mana kesadaran kolektif terbangun di tengah-tengah masyarakat meski itu hanya semu belaka atau bisa jadi palsu dalam konteks Marx. 

Prototype Pemimpin Dambaan Rakyat

Jika anda bertanya kepada masyarakat akan harapannya kepada sosok seorang pemimpin, maka bisa jadi salah satu jawaban mereka ialah mereka memimpikan sosok pemimpin yang merakyat. Merakyat tidak hanya dalam konteks merancang program-program pembangunan yang pro rakyat dan pro poor semata, namun juga merakyat dalam bersikap dan bertindak. Memiliki sikap kepedulian yang tinggi terhadap rakyat, berempati, memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kebutuhan rakyatnya. Mereka mendambakan sosok pemimpin yang selalu datang ‘blusukan’ menyambangi ketika mereka kesulitan. Prototype pemimpin seperti itulah yang kini diharapkan oleh masyarakat. Namun apa jadinya jika hal tersebut terjadi hanya pada saat momentum berkampanye dengan datang ‘blusukan’ ke pasar-pasar tradisional dengan berjalan kaki, sarapan di warung pinggir jalan dan aksi-aksi ‘blusukan’ lainnya. Pasca itu, aksi serupa pun selesai. Inilah yang membuat masyarakat kita barangkali alergi dengan pemimpin-pemimpin kita hari ini.
Mendamba sosok pemimpin seperti itu memang tidak mudah, butuh waktu lama untuk belajar menjadi tokoh-tokoh sekaliber Umar Bin Khattab yang hampir setiap malam bergerilya ‘blusukan’ mendengar rintihan rakyatnya yang kekurangan. Hingga pada suatu malam menemukan salah seorang ibu yang sedang memasak kendi yang berisi air dan batu. Itu dilakukan untuk meredam tangis anaknya yang kelaparan karena belum makan. Menemukan ada rakyatnya yang kelaparan seperti itu, sang khalifah pun tidak segan-segan memanggul gandum sendiri dan diberikan langsung kepada ibu tersebut. Betapa bahagia sang ibu menerimanya dari seorang yang tidak tahu bahwa orang tersebut ialah khalifah Umar yang selama ini dibencinya karena tidak memperhatikan rakyatnya. Ketika pada suatu hari mengetahui bahwa ternyata yang memberikan gandum pada malam itu ialah khalifah Umar, sang ibu langsung meminta maaf dan mengelu-elukan sang khalifah.

Belajar dari Umar memang tidak mudah, konteks politik masa itu tidak terlalu kompleks seperti saat sekarang ini. Dulu tidak mengenal adanya partai politik sebagai instrumen tegaknya demokrasi meskipun prinsip-prinsip syura demokrasi telah lebih dulu dicontohkan oleh rasulullah dan para sahabatnya. Jadi pemimpin pada masa itu menjadi lebih fokus memberikan perhatiannya kepada rakyatnya.
Dibandingkan sekarang, bangsa kita menganut sistem multi partai yang membuat para pemimpin kita menjadi tidak fokus mengurus rakyatnya. Hal itu disebabkan oleh adanya tarik ulur antara kepentingan rakyat dengan kepentingan partai. Wacana tidak boleh rangkap jabatan bagi para pejabat yang pernah digulirkan dulu patut mendapat perhatian kembali supaya para pemimpin dan pejabat kita lebih fokus dengan tugas-tugas mereka. Ke depan, kita tentu tidak ingin mendengar adalagi cerita pemimpin yang lebih sibuk mengurus partainya daripada rakyatnya. Semoga bermanfaat. Wallhua’lam bissawab

Kekalik, 21-02-2013

BIODATA PENULIS
Nama              : Darsono Yusin Sali
Alamat            : jl. Panji Anom 1 no 2 kekalik indah
Pekerjaan       : Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram
No hp/email    : 081805720322/ yusinpiero@gmail.com
Blog                : yusinpieroo.blogspot.com














Perihal              : Pengiriman Tulisan                          Mataram, 20 Pebruari 2013
Lampiran          : -
                 Kepada
     Yth. Bapak Pimpinan Redaksi Harian Lombok Post
     Di- Jalan TGH Faisal 33 Turida-Cakranegara
Dengan hormat
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                      : Darsono Yusin Sali
TTL                         : Darek, 27 Agustus 1989
Alamat                     : Jl. Panji Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan                : Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram
No hp                      : 081 805 720 322
Email                       : yusinpiero@gmail.com
Memohon kedapa Bapak untuk dapat menerbitkan tulisan saya yang berjudul Fenomena “simulukrum” menjelang Pilkada” pada koran Harian Lombok Post yang Bapak pimpin.
Demikian saya sampaikan dengan harapan  Bapak dapat mengabulkannya. Atas perhatian Bapak terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis

Darsono Yusin Sali



Tidak ada komentar: