Oleh: Darsono Yusin Sali
(Direktur Samalas Institute)
KPU akan membuka pendaftaran calon presiden-wakil presiden Pemilu 2019 pada Agustus tahun ini. Sejauh ini, Jokowi sebagai petahana sudah mengantongi dukungan lima partai yaitu Golkar, NasDem, PPP, Hanua dan PDIP.
Dengan dukungan lima partai tersebut, Jokowi sudah punya modal maju di Pilpres 2019. Hal ini sesuai dengan persyaratan maju pilpres di UU Pemilu, yakni syarat presidential threshold (PT) untuk bisa mengusung capres adalah memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2014, Golkar meraih 14,75 persen suara, NasDem 6,72 persen suara, PPP 6,53 persen suara, dan Hanura 5,26 persen suara. Sementara itu, PDIP, yang merupakan partai pemenang Pemilu 2014, memiliki 18,95 persen. Dengan begitu, total dukungan yang sudah dikantongi Jokowi saat ini sebesar 52,21 persen.
Selain Jokowi, capres lain yang digadang-gadang maju adalah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Keputusan Rakornas di Bukit Hambalang Bogor pada 11 April lalu, Partai Gerindra kembali memberikan mandat kepada Prabowo. Selain itu, PKS sebagai sekutu abadi Gerindra siap bergandengan tangan lagi dengan Gerindra di Pilpres 2019. Begitu juga dengan PAN, meski jalan menuju koalisi tersebut masih panjang.
Berkaca pada Pilpres 2014 lalu, Gerindra meraih 11,81 persen suara, kemudian PKS 6,79 persen suara, dan PAN 7,59 persen suara. Jika koalisi ini benar terbentuk maka jumlah dukungan yang sudah dikantongi Prabowo adalah 26,19 persen. Jumlah dukungan ini sudah cukup sebagai tiket maju sebagai Capres.
Bagi Gerindra, memberikan mandat kembali kepada Prabowo untuk maju sebagai Capres bukan tanpa sebab. Posisi Prabowo sebagai ketua umum partai besar cukup jadi alasan. Di samping memang faktor ketokohan Prabowo sendiri di atas tokoh-tokoh lain yang saat ini muncul.
Sosok Prabowo dinilai tidak saja tegas, tapi juga dalam banyak hal Prabowo digambarkan sebagai figur yang mampu memainkan perannya sebagai pemimpin opsisi, dalam arti mampu sebagai penyeimbang pemerintah dalam terminologi adversary, bukan enemy. Hal itu cukup sebagai penanda bahwa Prabowo merupakan sosok demokrat sejati. Untuk itu layak dipilih rakyat.
Mewakili Aspirasi Umat
Lili Romli dalam "Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia" menyebutkan secara teologis, Islam meyakini agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik dan negara. Secara sosiologis, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 menyatakan sebanyak 87,18 persen penduduk Indonesia beragama Islam.
Wajar jika kemudian warna politik di Indonesia senantiasa dikaitkan dengan dominasi kekuatan agama tertentu. Posisi agama dalam konstelasi politik di Indonesia sangat hegemonik. Dengan kata lain, politik mendapatkan kontrol yang kuat oleh agama. Posisi dominan agama dalam politik tergambar dari Pilkada Jakarta, yang merupakan barometer peta politik Indonesia.
Di lain pihak, Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu menjadi gerbang pembuka pertarungan politik sesungguhnya tahun 2019 mendatang. Hal itu terlihat dari adanya pembelahan yang cukup tajam yang terjadi di tengah masyarakat, antara partai politik pendukung penista agama dan partai politik di luar kategori itu. Ini terlihat dari adanya polarisasi Parpol pada Pilkada serentak 2017 lalu di sejumlah daerah. Bahkan terminologi baru Parpol pendukung penista agama dan Parpol pendukung Aksi Bela Islam 212 menguat di berbagai tempat.
Ini menandakan, agama sangat hegemonik dalam banyak hal, karena memiliki peran kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu, bagaimanapun juga, faktor agama diyakini akan sangat menentukan warna politik Indonesia di masa depan. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintahan Jokowi yang cenderung tidak adaptif terhadap kebutuhan umat Islam, kian mempererat bingkai psikologis umat Islam yang sejak awal merasa banyak tidak diuntungkan oleh kebijakan pemerintah.
Suasana psikologis umat Islam demikian, tentu sangat menguntungkan lawan politik Jokowi, siapapun itu. Tentu utamanya ialah Prabowo yang sejak awal memiliki kedekatan emosional cukup kuat dengan umat Islam di luar kelompok umat Islam pendukung Jokowi. Ditambah Prabowo menjadi figur sentral di luar kelompok pemerintah sejauh ini.
Maka tidak keliru jika kemudian Pilpres 2019 mendatang didasarkan pada kesadaran politik masa depan umat Islam. Yang berarti bahwa pemenang Pilpres 2019 akan sangat ditentukan oleh Capres-Cawapres yang mampu mengambil hati umat Islam. Pada titik ini, Prabowo tentu punya investasi politik yang sangat besar, bila dibandingkan Jokowi, meski di luar itu muncul sejumlah nama lain seperti Gatot Nurmantyo.
Walau akhirnya Pilpres 2019 juga sangat ditentukan pada sosok pendamping Cawapres itu sendiri. Capres yang akan maju bertarung harus berpikir menang. Cawapres yang diambil pun demikian, merupakan sosok yang mampu mendulang suara banyak dalam rangka memenangkan pertarungan.
Prabowo harus lebih hati-hati dalam menentukan pendamping. Pun demikian dengan Jokowi. Prabowo tidak boleh kepedean, mengingat jika Pilpres berakhir head to head antara Prabowo-Jokowi, sudah pasti suara mayoritas umat Islam akan berlabuh ke Prabowo.
Faktor keterwakilan Cawapres di luar kelompok Islam pendukung Prabowo harus jadi bahan pertimbangan dalam menentukan Cawapres. Demikian juga dengan Jokowi. Sebagai petahana, kesan negatif Jokowi pada umat Islam harus dirubah.
Untuk itu, Jokowi harus memilih Cawapres yang paling tidak mampu memulihkan citra buruk terhadap umat Islam. Pilihannya, tentu sangat banyak tersedia seperti Mahfud MD, TGB Zainul Majdi, Zulkifli Hasan dan tokoh umat Islam lainnya.
Mataram, 6 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar