KANGGOK'M TADAHN ?

Rabu, 23 Mei 2012

Menimbang Teks Terhadap Konteks: Menuju Tafsir Hermeunetik Dalam Membaca Makna Zaman


“Al-qur’an itu ada dalam mushaf, ia tidak berbicara yang berbicara atas nama al-qur’an adalah orangnya.”




Perkataan Sayyidina Ali tersebut di atas tentunya didasari oleh kesadaran tinggi akan pentingnya sebuah penafrsiran terhadap teks al-quran yang tidak hanya dilakukan oleh satu dua orang saja, namun terus tumbuh dan berjalan dalam kurun waktu yang tidak menentu. Berbicara tentang tafsir sejak kemunculannya sekitar 14 abad yang lalu al-quran menjadi objek tafsir tunggal selain sunnah dan hadits yang di pergunakan oleh umat islam sebagai starting dalam penyelesaian berbagai macam masalah. Tentunya Rasulullah SAW menjadi penafsir tunggal yang memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan al-qur’an. Sebagai “perpanjangan tangan” Tuhan , Nabi SAW menjadi refrensi terakhir yang dijadikan ummat sebagai pondasi dalam menyibak berbagai problem keummatan yang dihadapi kala itu. Setelah Nabi SAW wafat al-qur’an tetap hingga hari ini menjadi objek tafsir namun tidak dengan kondisi yang sama dimana Nabi SAW ketika itu menjadi mufassir tunggal. Al-qur’an kini menjadi teks yang otonom yang terus berjalan mengikuti arus peradaban yang terus berubah (salihun likulli zaman wamakan) sehingga al-qur’an menjadi pegangan ummat diseluruh dunia dengan berbagai kultur , watak yang beragam menafsirkan pegangan mereka (al-qur’an) dan akhirnya terjadilah otonomisasi pembaca, yaitu sebuah pembacaan terhadap teks yang dilakukan oleh seseorang yang tentunya dipengaruhi oleh subyektifitas si pembaca yang hidup dalam kondisi yang berbeda-beda.

Subyektifitas-subyektifitas si pembaca bisa berupa ideolgi yang di anut, kondisi sosial, psikologi, ekonomi, kondisi pengalamn suka atau tidak suka yang oleh Hans George Gadamer dalam teori fusion of horizonnya di sebut sebagai pre understanding and pre refrence sebelum melahirkan produk wacana atau tafsir. Sehingga bisa di di pastikan produk wacana yang di hasilkan tidak terlepas dari kondisi latar belakang, sosiokultural, ekonomi, politik, keilmuan, ideology pengalaman dll, yang oleh Amin Abdullah di sebut sebagai aspek historisitas artinya sebelum mereka memahami suatu teks kondisi mereka terlebih dahulu di bentuk oleh konteks. Sehingga tidak mengherankan jika satu ayat yang sama dipahami oleh dua orang yang berbeda akan menghasilkan produk wacana yang berbeda pula. Ketika seorang ekonom misalnya meneliti al-qur’an maka yang dominan ada dalam al-qur’an adalah masalah-masalah ekonomi, ketika seorang politikus membicarakan atau meneliti al-qur’an maka mayoritas ayat yang ditemukan berbicara tentang politik, ketika seorang kontraktor bangunan meneliti al-qur’an maka kebanyakan ayat yang muncul ke permukaan adalah ayat-ayat yang bertalian dengan pembangunan, ketika seorang jendral atau panglima berbicara tentang al-qur’an maka kebanakan ayat yang muncul adalah yang berkaitan dengan peperangan, keheroikan, kepahlawana. Hal itu dikarenakan adanya latar belakang yang berbeda. tentu saja penulis sekaligus sebagi pembaca juga tidak terlepas dari kondisi diatas.

Setelah berbicara tentang seputar penafsir (mufassir), sejenak kita beralih kepada objek tafsiran tentu saja dalam hal ini adalah al-qur’an. Melihat sejarah perkembangan al-qur’an satu hal yang pasti dari al-qur’an adalah bahwa (ia) dihajatkan untuk mengatasi problem keummatan atau untuk menjawab tantangan ummat kala itu. Salah satu contoh misalnya ketika Rasulullah SAW ditanya seputar Ruh Rasulullah SAW seketika diam tidak bisa menjawab, selang beberapa lama kemudian al-qur’an-pun turun memberi solusi dengan mengatakan “katakanlah (Hai Muhammad) Ruh itu urusan Tuhanku”. Dengan demikian al-qur’an sendiri merupakan teks yang turun atas realitas yang hidup ketika itu dengan kata lain turunnya al-qur’an merupakan akibat dari beberapa sebab yang melatar belakanginya terlebih dahulu (konteks).

Ketika kta mempelajari al-qur’an salah satu ilmu yang di pelajari adalah ilmu tentangAsbab an-nuzul yaitu ilmu yang berusaha memahami dan menemukan maksud al-qur’an, berusaha mengetahui hikmah yang menjadi dasar dalam penetapan hukum-hukum syara’ serta cara yang paling baik untuk menemukan makna-makna al-qur’an. Hal ini karna pengetahuan tentang sebab akan melahirkan pengetahuuan tentang akibat. Karna kalau mau jujur islam mempunyai dua aspek ; aspek Historisitas dan aspek Normativitas( profan-transenden), dimana kedua aspek tersbut saling kait-mengait ibarat dua sisi mata uang ada konteks turunlah teks,keduanya memiliki kedudukan yang seimbang tidak ada dominasi superioritas antar keduanya, ibarat bandul jam yang berputar seimbang kekiri dan kanan.

Dalam wacana kefilsafatan juga berkembang salah satu metode tafsir yang masyhur di sebut metode Hermeunetik, yaitu sebuah metode yang berusaha ,menangkap makna dibalik realita, sebuah pembacaan teks keagamaan (masa silam) dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda. Sehingga memberikan pemaknaan yang komprehensif ke tengah-tengah masyarakat atas sebuah teks baik tertulis ataupun tidak tertulis. Metode tafsir model ini sebenarnya bukan barang baru dalam wacana keagamaan , namun pada masa sahabatpun meetode-metode seperti ini kerapkali di praktekkan oleh para sahabat dalam menyelesaikan suatu permasalahan meskipun tidak dalam bentuk a priori. khalifah Umar bin Khattab misalnya ketika mendapatkan pengaduan dari seseorang yang rumahnya kecurian, Umar tidak lantas menghukum si pencuri namun terlebih dahulu mengintrogasi keduanya. Setelah diketahui latar belakang (konteks) kenapa si pencuri melakukan pencurian, maka umarpun mengambil keputusan yang sangat kontras dengan nash al-qur’an ketika itu, Umar tidak menghukum si pencuri akan tetapi memberikan teguran keras kepada si pemilik rumah yang tidak memberikan hak yang seharusnya diterima oleh si pencuri, karna dengan sebab itu si pencuri melakukan pencurian. Dari kisah diatas kita dapat melihat kebijakan para sahabat dalam mengambil keputusan dan memahami bagaimana memperlakukan teks al-qur’an sepeninggal Rasulullah saw dengan memperlakukan teks sebagai sebuah bacaan yang hidup di tengah-tenngah realita, bukan menjadikannya sebagi sebuah pajangan dinding hiasan rumah. Namunyang justru terjadi kemudian adalah adanya “penyempitan pembuluh darah” terhadap teks yang dilakukan oleh generasi-generasi sesudahnya sampai dengan hari ini.

Namun tragisnya, cara berfikir yang rigid seperti ini saban hari menunjukkan siklus peningkatan yang sangat luar biasa. Terlihat dari semakin meningkatnya kasus kekerasanyang bertendensikan agama, tidak hanya trans agama namun juga intern agama. Lihat saja teror Bom yang terjadi di sejumlah daerah yang membuat ummat menjadi resah dihantui ketakutan, siapa yang tidak takut jika tanpa ada warning tiba-tiba di tempat anda misalnya terjadi ledakan bisa berabe. Semua itu merupakan hasil pemahaman terhadap teks yang setengah matang, akibatnya-pun menjadi sangat tidak menarik baik untuk dilihat ataupun dirasakan.

Saya sangat percaya dengan diktum bahwa al-qur’an itu sholihun likulli zaman wa makancocok serta baik disegala waktu dan tempat, sehingga tidak mungkin al-qur’an menjadi petaka buat ummat, kalaupun ada kekerasan atas nama agama bukanlah al-qur’annya yang salah tapi orang-orang (pembaca) yang salah dalam menafsirkan al-qur’an. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengutip kembali pernyataan Ulil Absar Abdalla “perlunya penyegaran kembali pemahaman kita terhadap ajaran-ajaran islam ” dengan membongkar tradisi-tradisi keagamaan yang selam ini sudah di anggap mapan namun tidak jamani (actual). Ada beberapa hal mendesak yang membuat kita hari ini membutuhkan tafsir metode hermeunetik: fakta historis yang tak terbantahkan bahwa manusia selalu mengalami siklus perkembangan, begitu juga lingkungan sekitar sehingga pola fikir yang yang terus berjalan akan mengalami proses dialektika antara manusia sebagai subjek di satu sisi dan lingkungan di sisi yang lain. Sehingga mau tidak mau tradisi juga akan ikut berubah dan berkembang sehingga tafsir terhadap beragam masalah yang muncul berjamuran-pun membutuhkan problem solving yang solutif bukan sebaliknya memberikan problem solving terhadap masalah yanng aktual dengan berkaca pada masa lalu yang sudah kehilangan konteks. Namun posisi kita disini harus tetap dalam rangka memperbaiki hal-hal lama yang sudah tidak berada dalam konteksnya dan menghadirkan hal-hal baru untuk memperbaiki hal-hal lama tersebut serta memlihara hal-hal lama yang memang harus ataupun wajib di pelihara “al muhafazatu ‘ala qadamisshalih wal akhzu bil jadid al ashlah”. Wallahua’lamu bisshawab



Oleh: Darsono Yusin Sali

Tidak ada komentar: