Tulisan ini penulis khususkan buat mahasiswa baru yang saat ini sedang melewati masa peralihan intelektual. Masuknya calon mahasiswa baru ke rumah baru (kampus), tentu memberikan pengaruh secara psikologi terhadap diri mahasiswa tersebut. Kondisi tidak biasa tentu akan di terima oleh mahasiswa bersangkutan , pastinya karena, ada hal-hal baru yang tentu akan di peroleh. Dari kondisi-kondisi biasa menuju kondisi yang tidak biasa dari kondisi biasa menuju kondisi luar biasa, dari kondisi intelektual biasa menuju tradisi-tradisi intelektual baru yang tidak biasa di lakukan semasa di bangku sekolah. Relevansi antara kondisi tersebut dengan proses penerimaan mahasiswa baru yang sedang berlangsung serentak di seluruh perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta, memberikan sedikit refrensi tentang kondisi yang sama. Dari kondisi yang tidak biasa tersebut, terkadang memunculkan sikap untuk ingin bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Bagaimana kultur kampus yang jelas sangat berbeda dengan kultur di sekolah, suasana belajar yang beda. Dari yang biasanya di sekolah biasa di “suap” untuk segala hal, kini dengan kondisi baru di kampus di “paksa” untuk hidup serba mandiri, baik untuk belajar, masak, mencuci dan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut untuk di kerjakan sendiri. Biasanya yang banyak mengeluh dengan kondisi tersebut adalah remaja yang tidak terbiasa untuk hidup mandiri. Mari kita lihat bagaimana perbandingan kondisi tradisi di sekolah dengan tradisi intelektual kampus.
Kultur sekolah, biasanya siswa yang masuk dalam kultur ini adalah siswa yang berusia sekitar 16-18 tahun. Biasanya dengan kondisi umur yang demikian, kondisi kejiwaan siswa masih berada dalam kondisi tidak stabil penuh dengan guncangan-guncangan, baik internal maupun eksternal. Internal biasanya menuntut terpenuhinya rasa “ego” menuju pencarian jati diri. Untuk kondisi yang seperti ini, hal yang sering terjadi adalah melakukan pemberontakan terhadap kekangan-kekangan aturan yang biasanya di terapkan di sekolah dan rumah. Eksternal, karna kita adalah makhluk social, tentunya tidak lepas dari berbagai macam ekspresi sosial yang setiap harinya muncul dan berbeda-beda. Hidup berkelompok, ber-genk, membuat aturan-aturan antar kelompok yang biasanya menimbulkan resistensi terhadap kelompok lain adalah ciri dari factor eksternal ini. Kondisi seperti inilah yang sedikit tidak akan memberikan pengaruh terhadap cara hidup siswa ketika nantinya masuk kampus. Kondisi sekolah merupakan kondisi pertumbuhan intelektual yang akan sangat mempengaruhi siswa ketika nantinya masuk perguruan tinggi.
Kultur kampus, pada kultur ini, biasanya klasifikasi remaja yang masuk dalam tradisi ini adalah remaja yang berusia sekitar 19 tahun ke atas. Pada umur ini, seorang remaja telah mencapai kondisi baru baik dari sisi kematangan berpikir dan kedewasaan intelektual. Ciri pemberontakan seperti yang sebelumnya melekat pada kultur sekolah mulai hilang, tergantikan oleh pilihan-pilihan “intelektual” dengan berbagai macam konsekwensi yang akan di peroleh. Kultur sekolah yang biasanya masih berada di bawah pengawasan orang tua dan guru sebagai bentuk pengawasan eksternal yang melahirkan kesadaran heteronom yaitu kesadaran yang di dasarkan atas faktor luar dari “diri”, kini terganti dengan pengawasan diri sebagai bentuk dari adanya kebebasan yang secara inheren ada dalam setiap manusia. Pengawsan dari “diri”, ini melahirkan adanya kesadaran otonom yaitu kesadaran yang di timbulkan lebih kepada adanya kesadaran akan eksistensi diri.
Ada tiga buah kata yang mengambarkan tentang mahasiswa. Agen of change ”duta-duta pembaharu”. Pembaharu dalam segala bidang, kalau sekiranya professional ilmu yang di tekuni dalam bidang pendidikan, maka di harapkan nantinya mampu melakukan terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan. Begitu juga dengan bidang-bidang keprofesionalan ilmu yang lain. Mahasiswa merupakan golongaan kelas elit, begitu mulianya tanggung jawab pemuda (mahasiswa) sehingga Soekarno pun pernah mengatakan “untuk merubah bangsa ini cukup dengan lima orang pemuda saja”, lima pemuda yang mempunyai keinginan keras untuk berubah dan mau belajar, lima orang pemuda yang menjunjung integritas moral dan mempunyai kuriositas tinggi untuk melakukan kreatifitas-kreatifaitas baru dan lima pemuda dengan kriteria-kriteria yang lain.
Tradisi yang berkembang di kampus merupakan tradisi baru yang sangat jauh berbeda dari tradisi di sekolah. Belajar mandiri dengan konsekwensi yang siap di terima merupakan ciri utama dari kultur ini. Pasalnya pada proses pembelajaran yang berlangsung, dosen hanya memberikan 25% pengetahuan sebagai pengantar perkembangan intelektual. Selebihnya 75% harus di cari di luar kampus. Sangat jauh berbeda dengan tradisi di sekolah yang 100% an sich dari guru. Tentunya siswa yang tidak terbiasa dengan kondisi yang serba mandiri ini, akan kelabakan menerima kondisi baru ini living low begitu dalam istilah ilmu hukum bertitah. Konsep living low di pakai untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru pada suatu struktur masyarakat tertentu. Misalnya living low masyarakat suku sasak akan sangat beda dengan living low masyarakat suku mbojo dan lain sebagainya. Begitu juga dengan living law sekolah akan sangat beda dengan living law di kampus. Artinya bahwa kalau ingin bertahan dan sukses ketika melangkah ke state living law-living law yang lebih tinggi , maka hal yang harus di lakukan adalah mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan living law yang ada di masing-masing kondisi tersebut. Mahasiswa baru yang beranjak dari state sekolah menuju state kampus pun harus mampu beradaptasi dengan kondisi baru tersebut jika ingin bertahan “hidup”. Bagaimana yang dulunya ketika berada di bangku sekolah, belajar selalu di awasi, kini kalau tidak karena adanya kesadaran diri otonom, maka kata belajar pun masih menjadi tanda Tanya. untuk mahasiswa baru yang sedang beranjak dari state-state di atas dan belum memahami kultur kampus. Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Pertama, pertahankan semangat belajar atau tradisi-tradisi intelektual ketika berada pada bangku sekolah. Misalnya, porsi belajar ketika di bangku sekolah mencapai 30-40 menit perhari harus tetap di pertahankan. Jangan terburu-terburu menambah porsi belajar, hal yang harus di perhatikan adalah memahami kondisi sekitar kampus terlebih dahulu, baru porsi belajar untuk selanjutnya di “kencangkan”. Karena seperti minuman yang beralkohol yang jika di buka secara total akan keluar membludak dan akan mengalami shock “keterkejutan”. Akibatnya bukan malah memberikan kenyamanan dalam belajar, tetapi akan mendatangkan kebosanan. Implikasi dari kebosanan tersebut adalah, mahasiswa bersangkutan akan mencari rasa aman dan kesenangan dengan keluar dari eksistensi mereka sebagai mahasiswa. Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya mahasiswa dengan klasifikasi hedonis yang orientasinya hanya untuk kesenangan dan kenikmatan semata, akibatnya mahasiswa tersebut lupa akan tujuan awal mereka datang dari rumah ke kampus. Seperti “tarzan masuk kota” yang kena shock “ketercengangan” melihat adanya dunia lain di luar eksistensi dirinya.
Kedua, dengan mencari banyak komunitas yang beragam. Bergaul hanya dengan teman sekelas dan sejurusan yang homogen tidaklah cukup. Di butuhkan pergaulan yang lebih luas yang heterogen dengan komunitas-komunitas yang beragam. Medium yang paling sesuai dengan hal ini adalah dengan masuk organisasi, baik internal maupun eksternal kampus. Karena, hanya dengan masuk organisasi kita akan memperoleh banyak wawasan. Namun lebih dari itu, organisasi merupakan media aktualisasi diri atas berbagai macam bakat yang secara fitrah ada pada tiap-tiap orang. Berkomunikasi dengan banyak orang akan menambah banyak refrensi yang akan memperkaya khazanah keilmuan kita sebagai mahasiswa. Dengan masuk organisasi, berarti membentuk komunitas pembelajar yang secara utuh akan memberikan nilai tambah. Seperti perubahan kognisi, afeksi, perubahan prilaku, kemampuan kognitif, nilai-nilai emosional, keterampilan motorik, dan nilai-nilai spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar