KANGGOK'M TADAHN ?

Rabu, 27 Februari 2013

Ambivalensi Keberadaan LSM



Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)
Hasil survey yang dilakukan oleh Edelmen Trust Barometer sebagaimana yang dimuat harian Republika edisi Tanggal 22 Pebruari 2013, menemukan tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masih sangat rendah yaitu sebesar 51 persen jauh di atas rata-rata tingkat kepercayaan masyarakat Dunia terhadap keberadaan LSM yang mencapai 60 persen lebih. Director of Marcom and Creative Engagment, Edelmen Henry Manampiring menyebutkan hal itu disebabkan oleh setidaknya dua aspek. Pertama, tidak transparansinya pengelolaan pendanaannya. Kedua, LSM juga tidak dikelola secara proporsional. Sehingga dalam analisanya, kedua aspek itulah yang membuat tingkat kepercayaan publik sangat rendah.

Jika melihat apa yang disampaikan oleh Musni Umar, Sosiolog dari Universitas Indonesia yang menyampaikan bahwa, rendahnya kepercayaan publik terhadap LSM dipicu oleh banyaknya LSM yang menjelma menjadi alat untuk memeras pihak lain. Banyak LSM  yang menyampaikan proposal kegiatan tapi tujuannya untuk memeras. Perliaku LSM seperti itu banyak terjadi di daerah. Lebih lanjut Musni Umar menyampaikan, LSM hanya dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri. LSM yang abal-abal inilah yang paling banyak macamnya sehingga menyebabkan publik tidak percaya.
Temuan hasil survey dan analisa di atas merupakan lampu merah bagi para aktifis LSM untuk berbenah dan memperbaiki diri, sehingga ke depan dengan kualitas kinerja yang dihasilkan dan transparansinya pengelolaan pendanaan, dapat menaikkan tingkat kepercayaan publik terhadap keberadaan LSM. 

Kaburnya Idelogi aktifis LSM

Jika anda meyakini bahwa segala aktifitas yang kita kerjakan setiap hari mempunyai dasar idelogi yang jelas, maka apa yang dihasilkan ialah tidak jauh-jauh dari ideologi yang kita percayai. Sebagai seorang mahasiswa, pergi kuliah dengan berbagai rutinitas akademik yang dijalani tentu tidak terlepas dari ideologi mahasiswa tersebut ‘tentang’ bagaimana menjadi mahasiswa yang baik dan teladan dalam rangka menunaikan Tridarma Perguruan Tinggi. Begitu juga seorang guru ngaji yang mengajari anak didiknya mengaji, tajwid dan berbagai macam hal lainnya, tentu tidak terlepas dari ideologi yang dipercayai ‘tentang’ bagaimana mengajar ngaji, tajwid yang baik dan benar. Karena ia meyakini sepenuh hati jika cara membaca satu huruf saja ada yang salah, maka maknanya pun akan ikut berubah. Itulah ideologi. Suatu ‘kepercayaan’ yang dibuktikan dengan tindakan nyata dari seorang yang percaya terhadap ideologi-ideologi tertentu yang dianutnya. 

Lalu bagaimana halnya dengan ideologi para aktifis LSM? Bukan untuk menyamaratakan ideologi LSM yang satu dengan ideologi LSM yang lain yang justeru menolak keragaman itu sendiri, namun setidaknya ada kesamaan branding image yang dibentuk oleh para aktifis LSM dalam perspektifnya tentang keberadaan ‘dirinya’ di tengah-tengah masyarakat meskipun dalam berbagai corak gerakan yang dibangun. Misalnya, memperjuangkan hak-hak rakyat, membantu masyarakat yang tidak mampu dengan melakukan pendampingan, pemberdayaan, advokasi, dan lain sebagainya yang tentunya dalam konteks mereka ialah selalu ‘pro rakyat’ dan ‘pro poor’. Sejauh ini, Itulah kesamaan gerakan yang penulis pahami dari keberadaan LSM. 

Sudahkah LSM bertindak sesuai dengan ideologi yang dianut? Untuk tidak mengamini analisa Musni Umar di atas karena biarlah fakta yang berbicara memang begitulah trend model yang dibangun oleh aktifis LSM dengan mental duitan sekarang ini. Jangankan untuk menjalankan ideologi yang mereka anut, mempunyai ideologi saja belum tentu. Itulah problem aktifis LSM kita sekarang ini. Mukanya untuk ‘penyelamatan’ rakyat, namun hatinya penuh dengan ambisi pemuasan diri sendiri. Mental-mental seperti inilah yang sering merampok uang negara untuk memperkaya diri. Mengajukan proposal kegiatan dengan anggaran sekian, namun ketika sudah disposisi, anggaran yang digunakan ditekan sekecil mungkin. Sisanya, ya bagi-bagi masuk kantong pribadi. Itulah yang disebut dengan pejuang yang menjual rakyatnya.

Padahal dalam awal-awal sejarah kemunculan LSM atau Non Government Organitation (NGO), ialah murni untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, membantu masyarakat yang lemah; informasi, kemampuan, bakat, pengetahuan. Dalam intinya, keberadaan mereka sepenuhnya ialah sebagai pejuang-pejuang rakyat tertindas. Sebagai perantara bagi masyarakat yang kurang mendapatkan berbagai akses dari pemerintah.
Selain itu, LSM pada masa awal sejarahnya mempunyai ciri konsentrasi dengan fokus pada isu-isu demokrasi, HAM, gender, ekonomi, sosial, politik, lingkungan. Sehingga pada saat itu, keberadaan LSM benar-benar dirasakan manfaatnya oleh tidak hanya masyarakat namun juga pemerintah karena merasa terbantu dengan kehadirannya dalam rangka menyukseskan agenda pemerintah sebagai salah satu stakholders.

Namun justeru keadaannya sekarang bertolak belakang dari niatan awal berdirinya LSM-LSM tersebut. Banyak kritikan bernada minor yang muncul dari berbagai pihak terkait dengan menjamurnya LSM. Walaupun data statistik tentang jumlah LSM/NGO di seluruh dunia belum lengkap, namun diperkirakan ada sekitar 6.000 sampai 30.000 LSM/NGO nasional di negara-negara berkembang. Amerika Serikat memiliki sekitar 2 juta LSM/NGO, yang sebagian besar didirikan 30 tahun yang lalu. Rusia memiliki 400.000 LSM/NGO. India diperkirakan memiliki 1 hingga 2 juta LSM/NGO. Iran memiliki 20.000 LSM/NGO aktif pada tahun 2003. Di Kenya, 240 LSM/NGO terbentuk setiap tahun (Asken Sinaga, 2008)

Keberadaan mereka (LSM) kerapkali dinilai meresahkan sebagian pihak yang merasa dirugikan. Bahkan komentar salah satu pejabat, keberadaan LSM sekarang tidak mempunyai fungsi yang jelas. Hal tersebut dikarenakan, tumpulnya pemahaman mereka dengan visi misi LSM yang mereka usung. Sehingga cara kerjanya pun tidak jelas apalagi profesional. Selain itu, banyak LSM yang menyerupai wartawan meskipun tidak semuanya. Mereka membawa kamera dan video datang untuk memeras dengan data-data yang mereka peroleh. Ya, ujung-ujungnya duit sebagai alat tutup mulut. Inilah mental sebagian aktifis LSM sekarang. 

Tentu ini ironi, karena para aktifis LSM/NGO tersebut diisi oleh para kaum cerdik pandai yang sudah mengenal dunia akademik, namun tidak mempunyai hati nurani. Mereka menjual derita rakyatnya hanya untuk beberapa rupiah. Akhirnya, LSM/NGO beralih fungsi dari gerakan pemberdayaan masyarakat ke gerakan mencari nafkah. Kalau sudah begini, jangan berharap mereka bisa berbuat untuk masyarakat. Semoga mental aktifis LSM/NGO tersebut ke depan semakin baik dan profesional. Sehingga kehadiran mereka benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang mereka perjuangkan bukan malah menggadainya. Wallahua’lam bissawab


Markaz al kabir, 27-02-2013

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum

Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).

Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .

Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)

Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)

Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.

Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.

Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.

Wassalam
Terimakasih :)

Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum

Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).

Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .

Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)

Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)

Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.

Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.

Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.

Wassalam
Terimakasih :)

Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum

Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).

Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .

Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)

Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)

Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.

Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.

Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.

Wassalam
Terimakasih :)

Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum

Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).

Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .

Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)

Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)

Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.

Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.

Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.

Wassalam
Terimakasih :)

Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)