Oleh:
Darsono Yusin Sali
(Sekretaris
Umum HMI Cabang Mataram)
Hasil survey
yang dilakukan oleh Edelmen Trust Barometer sebagaimana yang dimuat harian
Republika edisi Tanggal 22 Pebruari 2013, menemukan tingkat kepercayaan publik Indonesia
terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masih sangat rendah yaitu sebesar 51
persen jauh di atas rata-rata tingkat kepercayaan masyarakat Dunia terhadap
keberadaan LSM yang mencapai 60 persen lebih. Director of Marcom and Creative
Engagment, Edelmen Henry Manampiring menyebutkan hal itu disebabkan oleh
setidaknya dua aspek. Pertama, tidak transparansinya pengelolaan pendanaannya.
Kedua, LSM juga tidak dikelola secara proporsional. Sehingga dalam analisanya,
kedua aspek itulah yang membuat tingkat kepercayaan publik sangat rendah.
Jika melihat apa
yang disampaikan oleh Musni Umar, Sosiolog dari Universitas Indonesia yang
menyampaikan bahwa, rendahnya kepercayaan publik terhadap LSM dipicu oleh
banyaknya LSM yang menjelma menjadi alat untuk memeras pihak lain. Banyak
LSM yang menyampaikan proposal kegiatan
tapi tujuannya untuk memeras. Perliaku LSM seperti itu banyak terjadi di
daerah. Lebih lanjut Musni Umar menyampaikan, LSM hanya dijadikan sebagai alat
untuk memperkaya diri sendiri. LSM yang abal-abal inilah yang paling banyak
macamnya sehingga menyebabkan publik tidak percaya.
Temuan hasil
survey dan analisa di atas merupakan lampu merah bagi para aktifis LSM untuk
berbenah dan memperbaiki diri, sehingga ke depan dengan kualitas kinerja yang
dihasilkan dan transparansinya pengelolaan pendanaan, dapat menaikkan tingkat
kepercayaan publik terhadap keberadaan LSM.
Kaburnya
Idelogi aktifis LSM
Jika anda
meyakini bahwa segala aktifitas yang kita kerjakan setiap hari mempunyai dasar
idelogi yang jelas, maka apa yang dihasilkan ialah tidak jauh-jauh dari
ideologi yang kita percayai. Sebagai seorang mahasiswa, pergi kuliah dengan
berbagai rutinitas akademik yang dijalani tentu tidak terlepas dari ideologi
mahasiswa tersebut ‘tentang’ bagaimana menjadi mahasiswa yang baik dan teladan
dalam rangka menunaikan Tridarma Perguruan Tinggi. Begitu juga seorang guru
ngaji yang mengajari anak didiknya mengaji, tajwid dan berbagai macam hal
lainnya, tentu tidak terlepas dari ideologi yang dipercayai ‘tentang’ bagaimana
mengajar ngaji, tajwid yang baik dan benar. Karena ia meyakini sepenuh hati
jika cara membaca satu huruf saja ada yang salah, maka maknanya pun akan ikut
berubah. Itulah ideologi. Suatu ‘kepercayaan’ yang dibuktikan dengan tindakan
nyata dari seorang yang percaya terhadap ideologi-ideologi tertentu yang
dianutnya.
Lalu bagaimana
halnya dengan ideologi para aktifis LSM? Bukan untuk menyamaratakan ideologi
LSM yang satu dengan ideologi LSM yang lain yang justeru menolak keragaman itu
sendiri, namun setidaknya ada kesamaan branding image yang dibentuk oleh
para aktifis LSM dalam perspektifnya tentang keberadaan ‘dirinya’ di
tengah-tengah masyarakat meskipun dalam berbagai corak gerakan yang dibangun.
Misalnya, memperjuangkan hak-hak rakyat, membantu masyarakat yang tidak mampu
dengan melakukan pendampingan, pemberdayaan, advokasi, dan lain sebagainya yang
tentunya dalam konteks mereka ialah selalu ‘pro rakyat’ dan ‘pro poor’. Sejauh
ini, Itulah kesamaan gerakan yang penulis pahami dari keberadaan LSM.
Sudahkah LSM
bertindak sesuai dengan ideologi yang dianut? Untuk tidak mengamini analisa
Musni Umar di atas karena biarlah fakta yang berbicara memang begitulah trend
model yang dibangun oleh aktifis LSM dengan mental duitan sekarang ini.
Jangankan untuk menjalankan ideologi yang mereka anut, mempunyai ideologi saja
belum tentu. Itulah problem aktifis LSM kita sekarang ini. Mukanya untuk
‘penyelamatan’ rakyat, namun hatinya penuh dengan ambisi pemuasan diri sendiri.
Mental-mental seperti inilah yang sering merampok uang negara untuk memperkaya
diri. Mengajukan proposal kegiatan dengan anggaran sekian, namun ketika sudah
disposisi, anggaran yang digunakan ditekan sekecil mungkin. Sisanya, ya
bagi-bagi masuk kantong pribadi. Itulah yang disebut dengan pejuang yang
menjual rakyatnya.
Padahal dalam awal-awal
sejarah kemunculan LSM atau Non Government Organitation (NGO), ialah murni
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, membantu masyarakat yang lemah;
informasi, kemampuan, bakat, pengetahuan. Dalam intinya, keberadaan mereka
sepenuhnya ialah sebagai pejuang-pejuang rakyat tertindas. Sebagai perantara
bagi masyarakat yang kurang mendapatkan berbagai akses dari pemerintah.
Selain itu, LSM
pada masa awal sejarahnya mempunyai ciri konsentrasi dengan fokus pada isu-isu
demokrasi, HAM, gender, ekonomi, sosial, politik, lingkungan. Sehingga pada
saat itu, keberadaan LSM benar-benar dirasakan manfaatnya oleh tidak hanya
masyarakat namun juga pemerintah karena merasa terbantu dengan kehadirannya
dalam rangka menyukseskan agenda pemerintah sebagai salah satu stakholders.
Namun justeru
keadaannya sekarang bertolak belakang dari niatan awal berdirinya LSM-LSM
tersebut. Banyak kritikan bernada minor yang muncul dari berbagai pihak terkait
dengan menjamurnya LSM. Walaupun data statistik tentang jumlah LSM/NGO di
seluruh dunia belum lengkap, namun diperkirakan ada sekitar 6.000 sampai 30.000
LSM/NGO nasional di negara-negara berkembang. Amerika Serikat memiliki sekitar
2 juta LSM/NGO, yang sebagian besar didirikan 30 tahun yang lalu. Rusia
memiliki 400.000 LSM/NGO. India diperkirakan memiliki 1 hingga 2 juta LSM/NGO.
Iran memiliki 20.000 LSM/NGO aktif pada tahun 2003. Di Kenya, 240 LSM/NGO
terbentuk setiap tahun (Asken Sinaga, 2008)
Keberadaan mereka (LSM) kerapkali dinilai
meresahkan sebagian pihak yang merasa dirugikan. Bahkan komentar salah satu
pejabat, keberadaan LSM sekarang tidak mempunyai fungsi yang jelas. Hal
tersebut dikarenakan, tumpulnya pemahaman mereka dengan visi misi LSM yang
mereka usung. Sehingga cara kerjanya pun tidak jelas apalagi profesional.
Selain itu, banyak LSM yang menyerupai wartawan meskipun tidak semuanya. Mereka
membawa kamera dan video datang untuk memeras dengan data-data yang mereka
peroleh. Ya, ujung-ujungnya duit sebagai alat tutup mulut. Inilah mental
sebagian aktifis LSM sekarang.
Tentu ini ironi, karena para aktifis
LSM/NGO tersebut diisi oleh para kaum cerdik pandai yang sudah mengenal dunia
akademik, namun tidak mempunyai hati nurani. Mereka menjual derita rakyatnya
hanya untuk beberapa rupiah. Akhirnya, LSM/NGO beralih fungsi dari gerakan
pemberdayaan masyarakat ke gerakan mencari nafkah. Kalau sudah begini, jangan
berharap mereka bisa berbuat untuk masyarakat. Semoga mental aktifis LSM/NGO
tersebut ke depan semakin baik dan profesional. Sehingga kehadiran mereka
benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang mereka perjuangkan bukan
malah menggadainya. Wallahua’lam bissawab
Markaz
al kabir, 27-02-2013
4 komentar:
Assalamualaikum
Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).
Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .
Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)
Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)
Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.
Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.
Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.
Wassalam
Terimakasih :)
Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)
Assalamualaikum
Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).
Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .
Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)
Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)
Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.
Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.
Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.
Wassalam
Terimakasih :)
Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)
Assalamualaikum
Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).
Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .
Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)
Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)
Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.
Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.
Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.
Wassalam
Terimakasih :)
Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)
Assalamualaikum
Luar biasa 'kritik'nya. Cukup membuat para aktivis LSM ke'cabe'an :).
Sapa pada posisi yang mendukung kerja dan keringat kawan-kawan di NGOs. Saya belum pernah bertemu dengan institusi NGOs seperti yang diceritakan, atau 'mungkin' memang tidak ada:) .
Tulisan ini kemudian seolah-olah menantang saya untuk bercerita tentang sejauh yang saya tahu dan yang pernah dan mungkin akan lagi saya geluti dan mudah-mudahan terus berlanjut :)
Sebelum terlalu jauh membicarakannya. Saya ingin mengajak pada batasan pemahaman kita tentang NGOs. NGOs yang kita maksudkan kita sepakati saja sebagai organisasi non pemerintah sebagaimana terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apakah itu Yayasan, paguyuban, local organisasi dll. Termasuk HMI juga kategori a NGO pastinya :)
Saya pernah bekerja/assistensi salah satu Yayasan yang bekerjasama dengan organisasi internasional dalam rangka 'secara umum' penanganan isu-isu global. Isu global di tingkat internasional adalah masalah yang cukup serius, berbagai cara dilakukan untuk penanganannya. Kebetulan selama bekerjasama, saya tidak pernah terlibat pada isu global menyangkut program feeding (pemberian makan) atau program semacam BLT yang pernah dilakukan pemerintah atau program bantuan finance atau wujut lain kepada 'penerima manfaat'.
Disemua lembaga tempat saya assistansi, bekerja sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama funding. Selalu ada evaluasi dan laporan hasil kegiatan. Jadi, tidak ada yang keluar dari jalur. Mengenai administrasi keuangan, tentu saja ada aturan internal dari NGOs itu sendiri dan atau dari funding. Menyangkut seperti kesaksiannya bahwa NGOs sebagai mesin pemerah mungkin itu terjadi di perusahaan-perusahaan untuk tagihan CSR bagi perusahaan-perusahaan nakal. Di pemerintahan gejolak terkait financial biasanya bukan isu NGOs. Karena pos anggaran melalui APBN/APBD dari sisi nominal tidak banyak yang tersalur ke NGOs. Lebih banyak terslur masuk melalui pengusaha perorangan, perusahaan CV atau PT.
Saya tidak punya referensi yang cukup seperti yang penulis gambarkan tentang prilaku negatif NGOs yang dimaksud. Tetapi, pada intinya NGOs menjalani program sesuai dengan yang dikhendaki funder (pemberi dana kegiatan), kalau ada yang keluar dari jalur yang telah disepakati biasanya untuk kerjasAma berikutnya tidak berlangsung.
Wassalam
Terimakasih :)
Saipul Kamal
(Pelaku NGOs dan salah satu pendiri Global Institute for Indonesian Development)
Posting Komentar