Oleh: Darsono
Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)
Penulis
ingin menanggapi berbagai komentar
yang cukup memojokkan HMI secara institusional atas berbagai tudingan miring
kasus-kasus korupsi yang kini melanda sejumlah alumni HMI sebut saja yang
teranyar ialah dugaan
korupsi 2,5 triliun proyek
Pembangunan, Pengadaan, Peningkatan Sarana dan Prasarana
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Jawa Barat tahun anggaran 2010-2012
yang kini menimpa Anas Urbaningrum. Tulisan ini tidak berpretensi
apa-apa kepada khalayak semua, namun lebih kepada ingin menjernihkan pandangan
subjektif kita terhadap kelembagaan HMI dalam melihat kasus ini secara
konprehensif dan objektif. Tidak didasari oleh muatan-muatan kebencian terhadap
HMI dalam menilai dan memberikan tafsiran atas kasus yang menimpa Anas
Urbaningrum ini. karena penulis sangat yakin ketika sisi subjektifitas itu yang
ditunjukkan, maka akan menghilangkan objektifitas kebenaran itu sendiri. Oleh
karena itu penulis berharap semua pihak yang ingin turut ‘rembug’ menafsirkan
kasus ini secara otonom supaya
mengedepankan sisi objektifitas tersebut. Dengan harapan akan muncul suatu
kebenaran bagi kita bersama.
Sebagai
salah satu organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, HMI merupakan organisasi
yang cukup tua yaitu berdiri pada 5 Pebruari 1947. Sebagai organisasi
perjuangan, HMI muncul di arena publik untuk pertama kalinya pada saat ideologi
komunisme dan sekulerisme warisan kaum penjajah mulai menyebar di kalangan
mahasiswa kampus STI (kini UII) di Jogjakarta. Kehadirannya waktu itu sangat
jelas untuk membendung ideologi kiri tersebut dari kalangan mahasiswa. Dengan
dorongan penuh dari beberapa staf pengajar di STI, maka HMI berkembang menjadi
organisasi yang diminati oleh mahasiswa saat itu. Ada beberapa alasan bagi
mereka yang masuk HMI, salah satunya ialah karena HMI yang berazaskan Islam
meskipun pada akhirnya atas ‘ijtihad politik’ mengingat besarnya desakan rezim Orde
Baru pada kongres ke XVI di Padang tahun 1986 menetapkan ke azas tunggal sebagai
azasnya dan berubah lagi pasca reformasi ke azas Islam.
Selain
itu, ketertarikan mahasiswa untuk masuk
HMI
ialah sifat HMI sendiri yang independen jauh dari muatan-muatan aktifitas
politik. Tidak seperti trend gerakan yang dibangun oleh organisasi kemahasiswaan
secara umum pada saat itu yang dijadikan sayap partai politik tertentu ataupun
ormas dan hampir selalu mempunyai afiliasi politik secara institusional
terhadap salah satu partai politik pada saat itu.
Sebagai contoh dalam masa Demokrasi
Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk
saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi
dibawah partai-partai politik. Misalnya, (GMKI) Gerakan
Mahasiswa kristen Indonesia, (PMKRI) Perhimpunan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia merupakan organisasi sayap Partai
Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI) merupakan sayap dari PNI, Gerwani, Concentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) sayap dari PKI, Gerakan
Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) merupakan produk NU yang jelas mempunyai partai politik PNU. HMI sendiri
berada di luar alur trend gerakan tersebut meski banyak yang menilai dekat
dengan Masyumi. Itulah yang membuat HMI menjadi istimewa dikalangan sebagian
mahasiswa.
Independensi
HMI
Apa
yang dimaksud dengan independensi dalam kamus HMI? Hal ini diatur dalam AD HMI. Independensi HMI
menjadi trademark perjuangan yang tercantum dalam pasal 6 AD HMI sebagai
sifat dan watak HMI.
Dalam memori penjelasannya, yang dimaksud dengan independensi ialah tidak
memihak terhadap segala sesuatu kecuali kebenaran itu sendiri. Itu artinya HMI
selalu berada pada posisi netral atau dalam terminologi islam disebut sebagai ummatan
wasatha
(ummat yang
di tengah-tengah). ‘Netral’ bukan berarti tidak mempunyai bentuk
pilihan, pilhan kader-kader HMI ialah keberpihakannya pada nilai-nilai
kebenaran yang menjadi kecenderungan fitrah kita sebagai manusia khalifah
fil ard. Atau dalam terminologi Nabi Ibrahim disebut sebagai sesuatu yang ‘hanif’ ada dalam diri
tiap-tiap manusia. Sehinga sebenarnya, independensi merupakan sifat lahiriah
kita sebagai manusia ‘hamba’ Allah Swt yang selalu
cenderung dengan kebenaran dan kebaikan. Sifat independensi inilah yang menjadi
ciri dan watak kader-kader HMI secara umum meskipun mereka sangat beragam serta
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda tiap cabang.
Watak independen HMI yang tercermin dalam pola laku
setiap kader HMI melahirkan independensi etis. Sementara independensi HMI yang
teraktualisasi secara organisatoris disebut sebagai independensi organisatoris.
Independensi organisatoris merupakan watak independen HMI yang teraktualisasi
secara organisatoris di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern
organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam
melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah “commited” dengan kepentingan pihak
manapun ataupun kelompok dan golongan manapun kecuali tunduk dan terikat pada
kepentingan kebenaran dan objektifitas
kejujuran dan keadilan (PB HMI, Hasil-hasil Kongres XXVII Depok).
Bersifat
interdependensi menjadi salah satu syarat diberhentikannya seseorang dari
keanggotaan HMI. Sehingga dengan demikian, anggapan orang terhadap HMI dengan
kader-kadernya yang selalu dianggap berpolitik
atau terlihat dekat dengan salah satu partai politik tidak bisa dijadikan acuan
bahwa HMI sudah tidak lagi independen. Dalam menjalankan roda keorganisasian, kader-kader
HMI selalu berpegang teguh pada AD/ART yang disepakati secara bersama dalam
momentum dua tahunan kongres. Kalau ada kader yang keluar dari koridor yang
sudah disepakati bersama, maka ancaman dikeluarkan dari status keanggotaan
sudah menunggu.
Aktifitas
politik praktis dilarang keras bagi seluruh kader-kader HMI, tidak ada
toleransi bagi kader yang ketahuan berpolitik praktis. Semisal menjadi tim
pemenangan pasangan salah satu calon Kepala Daerah pada momentum Pilkada,
atau ikut menjadi anggota ormas sayap dari salah satu partai politik. Hal ini
karena selain akan merusak idealismenya sebagai seorang kader dan mahasiswa juga akan merusak independensi HMI
secara institusional.
Hubungan
HMI dengan Anas
Seperti
yang penulis paparkan di atas, tulisan ini dihajatkan untuk menjelaskan kepada
publik secara objektif terkait kasus yang diduga melibatkan Anas Urbaningrum
sebagai salah satu mantan aktifis HMI, sehingga nantinya publik bisa ‘menduduk-letakkan’
alumni-alumni HMI dan HMI secara proporsional sebagai organisasi kemahasiswaan
ekstra kampus yang tidak mempunyai hubungan struktural dengan partai politik
manapun atau ormas sayap partai tertentu. Karena itu sangat bertentangan dengan
prinsip HMI sebagai organisasi independen. Hal inilah yang perlu penulis
jelaskan
kepada publik semua (khususnya yang bukan kader dan anggota HMI) meskipun agak
sulit.
Tidak salah jika kasus yang menimpa Anas dan
pengurus-pengurus partai Demokrat lainnya ini menjadi pemicu turunnya
elektabilitas Partai Demokrat menyusul hasil survey Taylor Nelson Sofrens (TNS) yang menunjukkan penurunan elektabilitas
secara signifikan terhadap Partai Demokrat dengan mencapai 8 persen jauh dari
Golkar sebesar 18 persen, PDIP 25 persen, Gerindra 26 prsen, di samping juga
menurunkan elektabilitas HMI di mata publik. Pasalnya, dalam setiap pemberitaan
tentang Anas, selalu dikaitkan atau diembel-embeli dengan kalimat “mantan Ketua
Umum PB HMI”. Di hampir setiap media yang penulis baca, baik cetak maupun
elektronik selalu memberitakan hal yang demikian. Publik yang membaca ini
kemudian selalu memberikan penilaian tidak matang nan buruk terhadap HMI. Seolah-olah
HMI lah yang korup, HMI lah sarangnya koruptor dan berbagai penilaian negativ
lainnya yang tidak berdasar.
Padahal Anas dan HMI jelas berbeda. Anas merupakan
salah satu aktifis mahasiswa yang pernah
mendapatkan kesempatan nyantri di HMI, sedangkan HMI sendiri isntitusi perkaderan
sebagai wadah berjuang bagi mahasiswa muslim. Keduanya tidak mempunyai hubungan
struktural, yang ada ialah tidak lebih dari hubungan emosional adik-kakak, dan senior-yunior di HMI. Jadi
sangat jelas hubungannya hanya sebatas itu. Kalau pun ada yang menganggap itu
beda, inilah tujuan dari penulisan singkat ini. Meskipun penulis sendiri sadar
Anas dengan HMI tidak bisa dipisahkan, karena Anas merupakan produk HMI dan
kader-kader HMI sekarang merupakan mahasiswa yang sedang menjalankan proses
penempaan diri di HMI. Namun begitu, hubungan emosional yang kuat seperti
inilah yang terbangun di HMI.
Lalu apakah HMI sudah gagal melahirkan kader-kader terbaik
bangsa? Tentu untuk menjawab ini, harus dilihat dari berbagai segi sehingga
bisa melihat ukuran-ukuran yang jelas dan terukur untuk bisa disebut gagal atau
tidaknya. Untuk konteks ‘korupsi’ misalnya, jelas HMI tidak mengajarkan itu,
dan tidak berharap ada kader HMI atau alumni HMI yang berbuat korup. Jika ini
kemudian terjadi, pantaskah HMI distigmakan sebagai institusi pencetak koruptor
sebagaimana justifikasi khalayak sekarang ini? Jelas ini stigma yang salah dari
orang-orang yang punya niatan buruk terhadap HMI untuk tidak menyebut sebagai sebuah
‘desain besar operasi kriminalisasi terhadap HMI’ mengutip yang disampaikan
Anas untuk menyebut dirinya sendiri.
Kasus Anas harus dilihat dari berbagai aspek, mulai
dari aspek hukumnya sampai pada aspek politiknya. Tahun ini merupakan tahun
politik, sudah pasti banyak kepentingan masuk di dalamnya. Hal ini tidak saja
menghancurkan elektabilitas Anas yang digadang-gadang sebagai pemimpin muda
potensial yang mempunyai jaringan yang sangat kuat, tetapi juga elektabilitas
HMI dengan multi jaringan yang dimilikinya.
Akhirnya, semoga publik yang melihat kasus ini secara
otonom dan merdeka, bisa meminimalisir kepentingan subjektifnya dan memberikan
penilaian yang objektif dan rasional terhadap Anas dan HMI. Wallahua’lam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar