KANGGOK'M TADAHN ?

Sabtu, 02 Maret 2013

Jawaban HMI atas Anas (Sebuah Penjelasan atas Pelbagai Tudingan)



Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)

Penulis ingin menanggapi berbagai komentar yang cukup memojokkan HMI secara institusional atas berbagai tudingan miring kasus-kasus korupsi yang kini melanda sejumlah alumni HMI sebut saja yang teranyar ialah dugaan korupsi 2,5 triliun  proyek Pembangunan, Pengadaan, Peningkatan Sarana dan Prasarana Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Jawa Barat tahun anggaran 2010-2012 yang kini menimpa Anas Urbaningrum. Tulisan ini tidak berpretensi apa-apa kepada khalayak semua, namun lebih kepada ingin menjernihkan pandangan subjektif kita terhadap kelembagaan HMI dalam melihat kasus ini secara konprehensif dan objektif. Tidak didasari oleh muatan-muatan kebencian terhadap HMI dalam menilai dan memberikan tafsiran atas kasus yang menimpa Anas Urbaningrum ini. karena penulis sangat yakin ketika sisi subjektifitas itu yang ditunjukkan, maka akan menghilangkan objektifitas kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu penulis berharap semua pihak yang ingin turut ‘rembug’ menafsirkan kasus ini secara otonom supaya mengedepankan sisi objektifitas tersebut. Dengan harapan akan muncul suatu kebenaran bagi kita bersama.

Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, HMI merupakan organisasi yang cukup tua yaitu berdiri pada 5 Pebruari 1947. Sebagai organisasi perjuangan, HMI muncul di arena publik untuk pertama kalinya pada saat ideologi komunisme dan sekulerisme warisan kaum penjajah mulai menyebar di kalangan mahasiswa kampus STI (kini UII) di Jogjakarta. Kehadirannya waktu itu sangat jelas untuk membendung ideologi kiri tersebut dari kalangan mahasiswa. Dengan dorongan penuh dari beberapa staf pengajar di STI, maka HMI berkembang menjadi organisasi yang diminati oleh mahasiswa saat itu. Ada beberapa alasan bagi mereka yang masuk HMI, salah satunya ialah karena HMI yang berazaskan Islam meskipun pada akhirnya atas ‘ijtihad politik’ mengingat besarnya desakan rezim Orde Baru pada kongres ke XVI di Padang tahun 1986 menetapkan ke azas tunggal sebagai azasnya dan berubah lagi pasca reformasi ke azas Islam. 

Selain itu, ketertarikan mahasiswa untuk masuk HMI ialah sifat HMI sendiri yang independen jauh dari muatan-muatan aktifitas politik. Tidak seperti trend gerakan yang dibangun oleh organisasi kemahasiswaan secara umum pada saat itu yang dijadikan sayap partai politik tertentu ataupun ormas dan hampir selalu mempunyai afiliasi politik secara institusional terhadap salah satu partai politik pada saat itu.
Sebagai contoh dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, (GMKI) Gerakan Mahasiswa kristen Indonesia, (PMKRI) Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia merupakan organisasi sayap Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) merupakan sayap dari PNI, Gerwani, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) sayap dari PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan produk NU yang jelas mempunyai partai politik PNU. HMI sendiri berada di luar alur trend gerakan tersebut meski banyak yang menilai dekat dengan Masyumi. Itulah yang membuat HMI menjadi istimewa dikalangan sebagian mahasiswa. 

Independensi HMI

Apa yang dimaksud dengan independensi dalam kamus HMI? Hal ini diatur dalam AD HMI. Independensi HMI menjadi trademark perjuangan yang tercantum dalam pasal 6 AD HMI sebagai sifat dan watak  HMI. Dalam memori penjelasannya, yang dimaksud dengan independensi ialah tidak memihak terhadap segala sesuatu kecuali kebenaran itu sendiri. Itu artinya HMI selalu berada pada posisi netral atau dalam terminologi islam disebut sebagai ummatan wasatha  (ummat yang di tengah-tengah). ‘Netral’ bukan berarti tidak mempunyai bentuk pilihan, pilhan kader-kader HMI ialah keberpihakannya pada nilai-nilai kebenaran yang menjadi kecenderungan fitrah kita sebagai manusia khalifah fil ard. Atau dalam terminologi Nabi Ibrahim disebut sebagai sesuatu yang hanif ada dalam diri tiap-tiap manusia. Sehinga sebenarnya, independensi merupakan sifat lahiriah kita sebagai manusia hamba Allah Swt yang selalu cenderung dengan kebenaran dan kebaikan. Sifat independensi inilah yang menjadi ciri dan watak kader-kader HMI secara umum meskipun mereka sangat beragam serta mempunyai karakteristik yang berbeda-beda tiap cabang. 

Watak independen HMI yang tercermin dalam pola laku setiap kader HMI melahirkan independensi etis. Sementara independensi HMI yang teraktualisasi secara organisatoris disebut sebagai independensi organisatoris. Independensi organisatoris merupakan watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah “commited” dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan manapun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran  dan objektifitas kejujuran dan keadilan (PB HMI, Hasil-hasil Kongres XXVII Depok).

Bersifat interdependensi menjadi salah satu syarat diberhentikannya seseorang dari keanggotaan HMI. Sehingga dengan demikian, anggapan orang terhadap HMI dengan kader-kadernya  yang selalu dianggap berpolitik atau terlihat dekat dengan salah satu partai politik tidak bisa dijadikan acuan bahwa HMI sudah tidak lagi independen. Dalam menjalankan roda keorganisasian, kader-kader HMI selalu berpegang teguh pada AD/ART yang disepakati secara bersama dalam momentum dua tahunan kongres. Kalau ada kader yang keluar dari koridor yang sudah disepakati bersama, maka ancaman dikeluarkan dari status keanggotaan sudah menunggu. 

Aktifitas politik praktis dilarang keras bagi seluruh kader-kader HMI, tidak ada toleransi bagi kader yang ketahuan berpolitik praktis. Semisal menjadi tim pemenangan pasangan salah satu calon Kepala Daerah pada momentum Pilkada, atau ikut menjadi anggota ormas sayap dari salah satu partai politik. Hal ini karena selain akan merusak idealismenya sebagai seorang kader dan mahasiswa juga akan merusak independensi HMI secara institusional.

Hubungan HMI dengan Anas

Seperti yang penulis paparkan di atas, tulisan ini dihajatkan untuk menjelaskan kepada publik secara objektif terkait kasus yang diduga melibatkan Anas Urbaningrum sebagai salah satu mantan aktifis HMI, sehingga nantinya publik bisa ‘menduduk-letakkan’ alumni-alumni HMI dan HMI secara proporsional sebagai organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang tidak mempunyai hubungan struktural dengan partai politik manapun atau ormas sayap partai tertentu. Karena itu sangat bertentangan dengan prinsip HMI sebagai organisasi independen. Hal inilah yang  perlu penulis jelaskan kepada publik semua (khususnya yang bukan kader dan anggota HMI) meskipun agak sulit.

Tidak salah jika kasus yang menimpa Anas dan pengurus-pengurus partai Demokrat lainnya ini menjadi pemicu turunnya elektabilitas Partai Demokrat menyusul hasil survey Taylor Nelson Sofrens (TNS) yang menunjukkan penurunan elektabilitas secara signifikan terhadap Partai Demokrat dengan mencapai 8 persen jauh dari Golkar sebesar 18 persen, PDIP 25 persen, Gerindra 26 prsen, di samping juga menurunkan elektabilitas HMI di mata publik. Pasalnya, dalam setiap pemberitaan tentang Anas, selalu dikaitkan atau diembel-embeli dengan kalimat “mantan Ketua Umum PB HMI”. Di hampir setiap media yang penulis baca, baik cetak maupun elektronik selalu memberitakan hal yang demikian. Publik yang membaca ini kemudian selalu memberikan penilaian tidak matang nan buruk terhadap HMI. Seolah-olah HMI lah yang korup, HMI lah sarangnya koruptor dan berbagai penilaian negativ lainnya yang tidak berdasar.

Padahal Anas dan HMI jelas berbeda. Anas merupakan salah satu aktifis  mahasiswa yang pernah mendapatkan kesempatan nyantri di HMI, sedangkan HMI sendiri isntitusi perkaderan sebagai wadah berjuang bagi mahasiswa muslim. Keduanya tidak mempunyai hubungan struktural, yang ada ialah tidak lebih dari hubungan emosional  adik-kakak, dan senior-yunior di HMI. Jadi sangat jelas hubungannya hanya sebatas itu. Kalau pun ada yang menganggap itu beda, inilah tujuan dari penulisan singkat ini. Meskipun penulis sendiri sadar Anas dengan HMI tidak bisa dipisahkan, karena Anas merupakan produk HMI dan kader-kader HMI sekarang merupakan mahasiswa yang sedang menjalankan proses penempaan diri di HMI. Namun begitu, hubungan emosional yang kuat seperti inilah yang terbangun di HMI.

Lalu apakah HMI sudah gagal melahirkan kader-kader terbaik bangsa? Tentu untuk menjawab ini, harus dilihat dari berbagai segi sehingga bisa melihat ukuran-ukuran yang jelas dan terukur untuk bisa disebut gagal atau tidaknya. Untuk konteks ‘korupsi’ misalnya, jelas HMI tidak mengajarkan itu, dan tidak berharap ada kader HMI atau alumni HMI yang berbuat korup. Jika ini kemudian terjadi, pantaskah HMI distigmakan sebagai institusi pencetak koruptor sebagaimana justifikasi khalayak sekarang ini? Jelas ini stigma yang salah dari orang-orang yang punya niatan buruk terhadap HMI untuk tidak menyebut sebagai sebuah ‘desain besar operasi kriminalisasi terhadap HMI’ mengutip yang disampaikan Anas untuk menyebut dirinya sendiri.
Kasus Anas harus dilihat dari berbagai aspek, mulai dari aspek hukumnya sampai pada aspek politiknya. Tahun ini merupakan tahun politik, sudah pasti banyak kepentingan masuk di dalamnya. Hal ini tidak saja menghancurkan elektabilitas Anas yang digadang-gadang sebagai pemimpin muda potensial yang mempunyai jaringan yang sangat kuat, tetapi juga elektabilitas HMI dengan multi jaringan yang dimilikinya.
Akhirnya, semoga publik yang melihat kasus ini secara otonom dan merdeka, bisa meminimalisir kepentingan subjektifnya dan memberikan penilaian yang objektif dan rasional terhadap Anas dan HMI. Wallahua’lam bissawab

Tidak ada komentar: