KANGGOK'M TADAHN ?

Senin, 10 Juni 2013

Alfamart dan Kemenangan Kapitalisme


Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram periode 2011-2012)
Pernahkah anda berbelanja di Alfamart? Jawabannya barangkali pernah. Atau mungkin tidak pernah, namun hanya sekedar lewat di depan Alfamart. Jika pertanyaannya sedikit digeser mundur, apakah anda kenal (tahu) dengan Alfamart? jawabannya sudah pasti kenal. Iya, hal tersebut bisa masuk akal jika pertanyaannya dilontarkan di tengah-tengah masyarakat yang hidup di perkotaan terlebih kota Mataram sekarang ini. Atau paling tidak masyarakat pedesaan yang sesekali pergi ke kota. Mengingat keberadaan Alfamart sendiri yang sudah menjamur di Kota  Mataram dewasa ini.
Berbelanja di Alfamart oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai pilihan favorit tempat berbelanja. Karena selain outlet barang-barang yang disediakan lengkap juga pelayanannya yang bagus dan memuaskan para konsumen. Hanya dengan sedikit senyum sumringah para pelayan toko dan gerakan tubuh yang seolah melambai pertanda mangajak ‘lain kali datang ke sini lagi ya’, konsumen menjadi tersihir untuk berbelanja ke sana. Meskipun  barang-barang yang ditawarkan hampir sama dengan barang-barang yang ada di luaran sana. Berbelanja di Alfamart tetap menjadi pilihan utama meskipun dengan harga yang lumayan lebih mahal.
Mengapa harus berbelanja di Alfamart? normatifnya orang pasti akan menjawab karena pelayanannya yang bagus dan barang-barang yang disediakan lengkap. Tapi apakah hanya sebatas itu? Tentu dengan ideologi yang penulis yakini, menjawabnya tidak semudah dan sesederhana itu. Perlu analisis mendalam untuk bisa memastikan apakah masyarakat kita memahami jenis-jenis tindakan dan model komunikasi yang mereka lakukan. Yang penulis khawatirkan ialah mereka sedang berada pada level di mana mereka tidak hanya sedang mencari dan membeli barang-barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi lebih dari itu, mereka sedang membentuk identitas baru atau lebih tepatnya diarahkan untuk membentuk identitas baru oleh simbol-simbol yang sengaja diciptakan untuk merusak tatanan masyarakat di mana sudah terbentuk hubungan kemanusiaan yang baik.
Tela’ah ‘pesan’ objek konsumsi
Berkomunikasi tidak hanya bisa dilakukan oleh makhluk bernyawa seperti manusia, tetapi setiap objek yang bisa menghasilkan berbagai ‘pesan’ pun juga bisa berkomunikasi. Setidaknya itulah yang terjadi pada objek konsumsi. Setiap objek konsumsi selalu menghasilkan pesan yang memungkinkan setiap orang bisa langsung menangkap isi pesan tersebut. Tidak ada objek konsumsi yang tidak menghasilkan pesan. Konsekuensi dari pesan tersebut ialah subjek komunikan akan senantiasa terbawa dalam kesadaran sensorik untuk memenuhi kehendak pesan yang ingin disampaikan oleh objek konsumsi. Masyarakat kita, setidaknya sedang diarahkan untuk memenuhi standar-standar pesan dari objek konsumsi tersebut. Standar itulah yang selanjutnya dianut oleh masyarakat dan menjadikannya sebuah nilai yang mesti ada dalam tatanan struktur sosial masyarakat. Sebagai contoh, pesan objek konsumsi yang disampaikan oleh salah satu produk handphone canggih semisal Blackbarry dewasa ini mampu membuat semua orang tersihir untuk memilikinya. Dengan segala fasilitas yang dimilikinya membuat Blackbarry diminati banyak orang. Kelengkapan hidup dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup yang serba praktis menjadi sisi pilihan setiap orang. Namun apakah masyarakat kita mengkonsumsi objek konsumsi hanya sebatas itu saja? Tentu penulis meyakininya tidak sama sekali. Karena selain mengkonsumsi objek konsumsi, masyarakat kita sebenarnya sedang dan lebih banyak mengkonsumsi simbol atas pesan dari objek konsumsi. Sehingga tidak melulu berbelanja hanya sebatas barang konsumsi semata, namun juga mereka sedang berbelanja berbagai simbol-simbol yang selanjutnya dijadikan standar hidup dan nilai oleh mereka sendiri. Akibatnya, simbol-simbol menjadi pemenang dalam pertarungan ini.
Analisis Logika empat objek
Jika kita menggunakan perspektif logika empat objek tentang konsumsi sebuah barang atau komoditas ala  Jean Baudrillard untuk menganalisis trend model masyarakat kita hari ini, maka gambarannya seperti berikut:
Pertama, nilai fungsional, yaitu tentang tujuan instrumental dalam hal penggunaan sebuah objek. Kedua, nilai tukar, yaitu nilai ekonomis dari objek konsumsi. Ketiga, nilai tukar simbolis yaitu nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk sebuah objek konsumsi dibandingkan dengan objek yang lain. Keempat, pertukaran nilai tanda objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan objek-objek lain dalam suatu sistem objek.
Biar lebih praktis, kita gunakan contoh Blackbarry di atas. Atau menjamurnya pasar modern seperti Alfamart dan sifat konsumtif masyarakat kita dewasa ini. Keberadaan alfamart yang menjamur di kota Mataram dewasa ini menunjukkan simbol kemenangan dari kaum kapitalisme, masyarakat mempunyai visi baru dalam memilih barang-barang yang akan mereka konsumsi. Dengan memakai analisa empat objek logika tersebut, Budrillard menyebutkan bahwa sebenarnya manusia sudah tidak lagi hanya sekedar mengkonsumsi objek konsumsi ‘material’ tetapi lebih dari itu yaitu mengkonsumsi ‘nilai-nilai’, dan konsumsi atas tanda (simbol-simbol). Simbol atas kesepakatan semu tentang bagaimana standar gaya hidup modern. Bagaimana kemapanan itu terstandarisasi hanya dengan berbelanja di alfamart atau pasar modern yang sejenis dengannya. Lalu kemudian dengan bentuk standarisasi tersebut, secara tidak sadar dengan sendirinya telah membentuk stratifikasi sosial yang membatasi jarak komunikasi dan interaksi sosial masyarakat. Akhirnya mereka terkungkung oleh simbol dan tanda yang mereka buat sendiri. Itulah problem masyarakat modern hari ini.
Solusi
Sebagai bangsa yang mempunyai tradisi ketimuran, maka Indonesia sejatinya dalam segala aspek menjalani hidup ini harus berdasarkan pada aturan-aturan yang tertuang dalam falsafah bangsa kita. Pancasila merupakan hasil otentik pemikiran anak bangsa yang mencerminkan tradisi tersebut. Pancasila harus menjadi living low dalam setiap pemecahan masalah bangsa. baik itu ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan lain sebagainya. Berpijak dari itu, maka yang perlu dilakukan setidaknya dua hal:
Pertama, memperkuat falsafah hidup bangsa bagi setiap orang. Siapa yang melakukannya? Tentu pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang tertuang dalam berbagai institusi berwenang. Dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan institusi lainnya. Pengajaran dasar-dasar pancasila, memberikan pengajaran mengenai wawasan kebangsaan dengan empat pilarnya (Pancasila, NKRI, UUD, Bhineka Tunggal Ika) terhadap anak-anak didik sangat urgen dilakukan untuk membentengi generasi muda kita dari keterkungkungan atas problem hidup modern. Sehingga ke depan, anak-anak didik kita yang sudah memiliki dan memahami wawasan kebangsaan mampu membentengi dan bersaing di tengah arus berbagai ideologi modern dewasa ini.
Kedua, memperketat regulasi atas izin pendirian berbagai bentuk pasar modern. Karena jika kita berkaca dari kota Mataram, regulasi atas izin tersebut sangat lemah dan didukung juga atas tata ruang kota yang tidak tertaur. Selain itu, pendirian berbagai pasar modern juga sering menyalahi aturan. Misalnya terkait dengan jarak dibolehkannya pasar modern dengan pasar tradisional. Ke depan masalah-masalah seperti ini harus lebih tegas lagi karena ini menyangkut tidak hanya prekonomian masyarakat, namun juga terkait dengan moralitas dan gaya hidup masyarakat modern yang serba praktis. Pemerintah harus berani dan tegas dalam bersikap serta dalam mengambil kebijakan selalu berpegang pada living law bangsa kita. Tidak apa-apa kota Mataram mengikuti kota Selong yang tidak memperbolehkan berdirinya pasar-pasar modern sejenis Alfamart dan Indomaret. Karena dengan begitu, kita akan mempunyai identitas yang sejalan dengan jargon kota Mataram sendiri ‘Maju, berbudaya dan religius’. Wallahua’lam bissawab

Kekalik, 29 Mei 2013



Tidak ada komentar: