Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram periode 2011-2012)
Pernahkah
anda berbelanja di Alfamart? Jawabannya barangkali pernah. Atau mungkin tidak
pernah, namun hanya sekedar lewat di depan Alfamart. Jika pertanyaannya sedikit
digeser mundur, apakah anda kenal (tahu) dengan Alfamart? jawabannya sudah
pasti kenal. Iya, hal tersebut bisa masuk akal jika pertanyaannya dilontarkan
di tengah-tengah masyarakat yang hidup di perkotaan terlebih kota Mataram
sekarang ini. Atau paling tidak masyarakat pedesaan yang sesekali pergi ke
kota. Mengingat keberadaan Alfamart sendiri yang sudah menjamur di Kota Mataram dewasa ini.
Berbelanja
di Alfamart oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai pilihan favorit tempat
berbelanja. Karena selain outlet barang-barang yang disediakan lengkap juga
pelayanannya yang bagus dan memuaskan para konsumen. Hanya dengan sedikit
senyum sumringah para pelayan toko dan gerakan tubuh yang seolah melambai
pertanda mangajak ‘lain kali datang ke sini lagi ya’, konsumen menjadi tersihir
untuk berbelanja ke sana. Meskipun barang-barang
yang ditawarkan hampir sama dengan barang-barang yang ada di luaran sana.
Berbelanja di Alfamart tetap menjadi pilihan utama meskipun dengan harga yang
lumayan lebih mahal.
Mengapa
harus berbelanja di Alfamart? normatifnya orang pasti akan menjawab karena
pelayanannya yang bagus dan barang-barang yang disediakan lengkap. Tapi apakah
hanya sebatas itu? Tentu dengan ideologi yang penulis yakini, menjawabnya tidak
semudah dan sesederhana itu. Perlu analisis mendalam untuk bisa memastikan
apakah masyarakat kita memahami jenis-jenis tindakan dan model komunikasi yang
mereka lakukan. Yang penulis khawatirkan ialah mereka sedang berada pada level
di mana mereka tidak hanya sedang mencari dan membeli barang-barang konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi lebih dari itu, mereka sedang
membentuk identitas baru atau lebih tepatnya diarahkan untuk membentuk
identitas baru oleh simbol-simbol yang sengaja diciptakan untuk merusak tatanan
masyarakat di mana sudah terbentuk hubungan kemanusiaan yang baik.
Tela’ah
‘pesan’ objek konsumsi
Berkomunikasi
tidak hanya bisa dilakukan oleh makhluk bernyawa seperti manusia, tetapi setiap
objek yang bisa menghasilkan berbagai ‘pesan’ pun juga bisa berkomunikasi.
Setidaknya itulah yang terjadi pada objek konsumsi. Setiap objek konsumsi
selalu menghasilkan pesan yang memungkinkan setiap orang bisa langsung
menangkap isi pesan tersebut. Tidak ada objek konsumsi yang tidak menghasilkan
pesan. Konsekuensi dari pesan tersebut ialah subjek komunikan akan senantiasa
terbawa dalam kesadaran sensorik untuk memenuhi kehendak pesan yang ingin
disampaikan oleh objek konsumsi. Masyarakat kita, setidaknya sedang diarahkan
untuk memenuhi standar-standar pesan dari objek konsumsi tersebut. Standar
itulah yang selanjutnya dianut oleh masyarakat dan menjadikannya sebuah nilai
yang mesti ada dalam tatanan struktur sosial masyarakat. Sebagai contoh, pesan
objek konsumsi yang disampaikan oleh salah satu produk handphone canggih
semisal Blackbarry dewasa ini mampu membuat semua orang tersihir untuk
memilikinya. Dengan segala fasilitas yang dimilikinya membuat Blackbarry
diminati banyak orang. Kelengkapan hidup dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
hidup yang serba praktis menjadi sisi pilihan setiap orang. Namun apakah
masyarakat kita mengkonsumsi objek konsumsi hanya sebatas itu saja? Tentu
penulis meyakininya tidak sama sekali. Karena selain mengkonsumsi objek
konsumsi, masyarakat kita sebenarnya sedang dan lebih banyak mengkonsumsi
simbol atas pesan dari objek konsumsi. Sehingga tidak melulu berbelanja hanya
sebatas barang konsumsi semata, namun juga mereka sedang berbelanja berbagai
simbol-simbol yang selanjutnya dijadikan standar hidup dan nilai oleh mereka
sendiri. Akibatnya, simbol-simbol menjadi pemenang dalam pertarungan ini.
Analisis
Logika empat objek
Jika
kita menggunakan perspektif logika empat objek tentang konsumsi sebuah barang
atau komoditas ala Jean
Baudrillard untuk menganalisis trend model masyarakat kita hari ini, maka
gambarannya seperti berikut:
Pertama, nilai fungsional, yaitu tentang tujuan instrumental dalam
hal penggunaan sebuah objek. Kedua,
nilai tukar, yaitu nilai ekonomis dari objek konsumsi. Ketiga, nilai tukar simbolis
yaitu nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk sebuah objek
konsumsi dibandingkan dengan objek yang lain. Keempat,
pertukaran nilai tanda objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan
objek-objek lain dalam suatu sistem objek.
Biar
lebih praktis, kita gunakan contoh Blackbarry di atas. Atau menjamurnya pasar
modern seperti Alfamart dan sifat konsumtif masyarakat kita dewasa ini.
Keberadaan alfamart yang menjamur di kota Mataram dewasa ini menunjukkan simbol
kemenangan dari kaum kapitalisme, masyarakat mempunyai visi baru dalam memilih
barang-barang yang akan mereka konsumsi. Dengan memakai analisa empat objek logika
tersebut, Budrillard menyebutkan bahwa sebenarnya manusia sudah tidak lagi
hanya sekedar mengkonsumsi objek konsumsi ‘material’ tetapi lebih dari itu
yaitu mengkonsumsi ‘nilai-nilai’, dan konsumsi atas tanda (simbol-simbol).
Simbol atas kesepakatan semu tentang bagaimana standar gaya hidup modern.
Bagaimana kemapanan itu terstandarisasi hanya dengan berbelanja di alfamart
atau pasar modern yang sejenis dengannya. Lalu kemudian dengan bentuk
standarisasi tersebut, secara tidak sadar dengan sendirinya telah membentuk
stratifikasi sosial yang membatasi jarak komunikasi dan interaksi sosial
masyarakat. Akhirnya mereka terkungkung oleh simbol dan tanda yang mereka buat
sendiri. Itulah problem masyarakat modern hari ini.
Solusi
Sebagai
bangsa yang mempunyai tradisi ketimuran, maka Indonesia sejatinya dalam segala
aspek menjalani hidup ini harus berdasarkan pada aturan-aturan yang tertuang
dalam falsafah bangsa kita. Pancasila merupakan hasil otentik pemikiran anak
bangsa yang mencerminkan tradisi tersebut. Pancasila harus menjadi living low dalam setiap pemecahan masalah bangsa.
baik itu ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan lain sebagainya. Berpijak
dari itu, maka yang perlu dilakukan setidaknya dua hal:
Pertama, memperkuat falsafah hidup bangsa bagi setiap orang. Siapa
yang melakukannya? Tentu pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang tertuang
dalam berbagai institusi berwenang. Dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dan institusi lainnya. Pengajaran dasar-dasar pancasila, memberikan
pengajaran mengenai wawasan kebangsaan dengan empat pilarnya (Pancasila, NKRI,
UUD, Bhineka Tunggal Ika) terhadap anak-anak didik sangat urgen dilakukan untuk
membentengi generasi muda kita dari keterkungkungan atas problem hidup modern.
Sehingga ke depan, anak-anak didik kita yang sudah memiliki dan memahami
wawasan kebangsaan mampu membentengi dan bersaing di tengah arus berbagai
ideologi modern dewasa ini.
Kedua, memperketat regulasi atas izin pendirian berbagai bentuk
pasar modern. Karena jika kita berkaca dari kota Mataram, regulasi atas izin
tersebut sangat lemah dan didukung juga atas tata ruang kota yang tidak
tertaur. Selain itu, pendirian berbagai pasar modern juga sering menyalahi
aturan. Misalnya terkait dengan jarak dibolehkannya pasar modern dengan pasar
tradisional. Ke depan masalah-masalah seperti ini harus lebih tegas lagi karena
ini menyangkut tidak hanya prekonomian masyarakat, namun juga terkait dengan
moralitas dan gaya hidup masyarakat modern yang serba praktis. Pemerintah harus
berani dan tegas dalam bersikap serta dalam mengambil kebijakan selalu
berpegang pada living law bangsa kita. Tidak apa-apa kota
Mataram mengikuti kota Selong yang tidak memperbolehkan berdirinya pasar-pasar
modern sejenis Alfamart dan Indomaret. Karena dengan begitu, kita akan
mempunyai identitas yang sejalan dengan jargon kota Mataram sendiri ‘Maju,
berbudaya dan religius’. Wallahua’lam
bissawab
Kekalik,
29 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar