Mataram (Suara NTB)
Pentingnya penguatan pendidikan
anak-anak di tengah keluarga harusnya menjadi perhatian serius semua pihak. Hal
itu mengingat anak-anak merupakan investasi masa depan sebagai pelanjut
estafeta pembangunan negeri ini. pada masa anak-anak inilah, peran orang tua
sebagai pendidik pertama sangat penting dan utama. Karena lewat didikan
merekalah, akan terlihat seperti apa cerminan mereka di masa dewasa. Namun
sayang, perhatian terhadap pendidikan di tingkat keluarga terasa masih belum
menjadi perhatian para orang tua. Mereka para orang tua menganggap, hanya
dengan memasukkan anak-anak mereka ke bangku sekolah dalam artiannya yang
formal, maka tugas dan tanggungjawab pendidikan sebagai orang tua sudah
selesai. Padahal pendidikan bukan hanya soal sekolah secara formal atau non
formal, tetapi lebih luas lagi menjangkau seluruh ruang dan waktu. Paradigma
inilah yang masih menjadi pijakan para orang tua melihat pendidikan anak dewasa
ini. Hal tersebut terkuak dalam diskusi mingguan yang di adakan oleh Komunitas
Pendidikan 68, sebuah komunitas yang konsen terhadap isu-isu pendidikan,
sosial, politik dan kebudayaan.
Dalam diskusi yang berlangsung di
Jalan Pendidikan No 68 kemarin, Oni Sya’roni salah seorang pendiri komunitas 68
memberikan kritikan pedas terhadap para orang tua yang selama ini terkesan
mengabaikan soal pendidikan anak-anak mereka, hal itu dilakukannya atas nama
karir dan kebutuhan materi si anak. Padahal menurutnya, anak pada usia-usia
sebelum masa akil baligh hanya
membutuhkan pendidikan bukan materi, itu saja, ungkapnya. Orang tua mempunyai
kewajiban untuk memberikan pendidikan yang baik di tengah-tengah lingkungan
keluarga si anak, sehingga ketika sudah memasuki masa akil baligh, si anak bisa berpikir mandiri untuk menyelesaikan
problemnya sendiri.
Lebih lanjut, Oni Sya’roni
mengatakan bahwa secara luas, proses pendidikan yang dijalani sekarang ini
masih terdapat kesalahan, pasalnya belum jelasnya arah dan tujuan pendidikan
menyebabkan terkadang pendidik tidak mampu membedakan mana tujuan pendidikan
dan mana alat pendidikan. “Kadang alat dijadikannya tujuan, dan tujuan
dijadikannya alat, akibatnya potret mentalitas anak-anak kita akibat salahnya
proses pendidikan, ya seperti ini”. Sebagai contoh sederhana ialah ketika
seorang ibu yang lebih memilih menitipkan anak-anaknya kepada pembantu hanya
untuk urusan pekerjaan, yang jika dipersempit akan mendapatkan materi daripada
berkonsentrasi mengurus anak-anaknya. Akibatnya, anak secara tidak langsung
akan mendapatkan pendidikan dari si pembantu. Pertanyaannya, bagaimana kualitas
si pembantu tersebut? Bayangkan saja jika perangai pembantu tersebut buruk,
sudah pasti anak dalam hal ini anak akan menjadi korban. Kondisi inilah yang
membuat pendidikan kita menjadi tidak bermutu. Padahal anak-anak ini merupakan
tunas-tunas calon pemimpin masa depan. “Jika cara mengurusnya sekarang benar,
hasilnya nanti juga akan benar”.
Dirinya juga mengharapkan kepada pemerintah
untuk lebih serius dan berkonsentrasi mengurus pendidikan untuk anak-anak ini,
terutama di lingkungan keluarga. “Harus ada upaya sistematis dari pemerintah
untuk memberikan pemahaman kepada para orang tua betapa pentingnya pendidikan
untuk anak di tengah-tengah keluarga jika masih mengharapkan ada perubahan untuk
generasi mendatang”, ujarnya. Dalam diskusi yang digelar setiap minggu
tersebut, turut hadir sejumlah aktivis mahasiswa, dosen, politisi, dan pegiat
LSM. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar