KANGGOK'M TADAHN ?

Sabtu, 21 Desember 2013

Pengawasan PGRI Lemah, Guru Diminta Jaga Independensi


Berbagai produk hukum yang melarang Pegawai Ngeri Sipil (PNS)  termasuk guru terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis nampaknya hanya menjadi catatan kering yang teruang dalam lembaran-lembaran kertas. Pasalnya, meskipun sudah banyak produk hukum yang melarang PNS untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai aktifitas politik praktis seperti Undang-undang nomor 43 tahun 1999, peraturan pemerintah nomor 37 tahun 2004, dan surat edaran Menpan dan RB nomor 4 tahun 2004 tentang larangan PNS dalam kegiatan kampanye pemilu , namun fakta dilapangan menunjukkan bahwasanya tidak sedikit PNS termasuk guru di dalamnya yang melakukan penyimpangan dengan terjun aktif di berbagai lembaga partai politik dan pada saat momentum pilkada menjadi tim sukses salah satu pasangan calon. Hal ini tentu menjadi catatan buruk sekaligus menjadi kado hitam bagi para guru di tengah perayaan Hari Guru Nasional (HGN) yang pada tahun ini dirayakan bersamaan dengan hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Kondisi guru yang demikian tentu saja juga terjadi di NTB dan tentunya ini menjadi cerminan dari gagalnya para guru dalam menghayati tugas-tugas kependidikannya sesuai dengan aturan yang diberlakukan bagi para PNS yang melarang mereka untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan politik praktis. Selan itu, keikutsertaan para guru ke dalam politik praktis ini oleh Direktur Mains Institut For Education and Development, Lalu Maksum Ahmad, M.Pd, disebut sebagai puncak kehancuran dunia pendidikan. Guru akunya harus tetap menjaga independensi mereka sebagai pendidik. Karena  bagaimana pun juga ketika kepentingan politik masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, maka proses pembelajaran di dalamnya tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang mempunyai inti membebaskan diri bagi para pendidika dan peserta didik untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan kefitrahannya. Namun justeru ketika berbagai kepentingan politik tersebut telah masuk ke dalamnya, maka akan berakibat pada terpenjaranya kefitrahan seseorang di tengah-tengah kebebasan yang dimilikinya. “Nah, ini yang membuat kreatifitas pendidik dan peserta didik akan mati”.
Lebih lanjut Maksum Ahmad mengungkapkan bahwasanya tidak sedikit guru di NTB ini yang sudah terjebak ke dalam politik praktis tersebut. Hal itu disebabkan oleh terjebaknya mereka ke dalam pusaran kekuasaan yang membuat mereka harus menggadaikan independensinya sebagai seorang pendidik. “sebagai contoh pada saat pilkada NTB kemarin, ada banyak sekali PNS termasuk guru di dalamnya yang menjadi timses salah satu pasangan calon, ini kan berarti mereka telah melangggar undang-undang kepegawaian yang melarang mereka untuk tidak terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan politik praktis meskipun hanya menjadi timses”
 Selain terjebaknya mereka ke dalam pusaran kekuasaan yang praktis juga karena organisasi induk mereka yaitu PGRI yang lemah dalam mengawasi para guru agar tidak terjebak ke dalam praktik politik praktis yang selama ini banyak menjebak para guru.  “selama ini kan, PGRI hanya muncul pada saat acara-acara seremonial saja, lebih dari itu mereka tidak memiliki peran signifikan sebagai lembaga profesi bagi para guru”. Diungkapkan oleh Maksum Ahmad bahwasanya lembaga seperti PGRI ini merupakan lembaga yang potensial dijadikan sebagai alat politik praktis oleh partai politik tertentu. Oleh karenanya, PGRI ke depan harus tetap menjaga independensinya mengingat tahun politik akan segera menyapa masyarakat.

Di tempat terpisah, ketua Komisi IV DPRD NTB, H. Patompo Adnan, LC, menegaskan bahwasanya jika pada masa-masa mendatang ada guru yang terlibat aktif ke dalam politik praktis, dirinya meminta agar organisasi induk mereka yaitu PGRI harus berani menindak tegas agar mereka kembali ke khittah mereka sebagai guru. “mereka harus diberikan hukuman berupa penurunan pangkat dan jabatan, kemudian itu dijadikan bahan penilaian dalam sertifikasi dan lain sebagainya”. (dys)

Tidak ada komentar: