Berbagai produk hukum yang
melarang Pegawai Ngeri Sipil (PNS)
termasuk guru terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis nampaknya
hanya menjadi catatan kering yang teruang dalam lembaran-lembaran kertas.
Pasalnya, meskipun sudah banyak produk hukum yang melarang PNS untuk tidak
melibatkan diri dalam berbagai aktifitas politik praktis seperti Undang-undang
nomor 43 tahun 1999, peraturan pemerintah nomor 37 tahun 2004, dan surat edaran
Menpan dan RB nomor 4 tahun 2004 tentang larangan PNS dalam kegiatan kampanye
pemilu , namun fakta dilapangan menunjukkan bahwasanya tidak sedikit PNS
termasuk guru di dalamnya yang melakukan penyimpangan dengan terjun aktif di
berbagai lembaga partai politik dan pada saat momentum pilkada menjadi tim
sukses salah satu pasangan calon. Hal ini tentu menjadi catatan buruk sekaligus
menjadi kado hitam bagi para guru di tengah perayaan Hari Guru Nasional (HGN) yang
pada tahun ini dirayakan bersamaan dengan hari jadi Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI).
Kondisi guru yang demikian tentu
saja juga terjadi di NTB dan tentunya ini menjadi cerminan dari gagalnya para
guru dalam menghayati tugas-tugas kependidikannya sesuai dengan aturan yang
diberlakukan bagi para PNS yang melarang mereka untuk terlibat aktif dalam
berbagai kegiatan-kegiatan politik praktis. Selan itu, keikutsertaan para guru
ke dalam politik praktis ini oleh Direktur Mains Institut For Education and
Development, Lalu Maksum Ahmad, M.Pd, disebut sebagai puncak kehancuran dunia
pendidikan. Guru akunya harus tetap menjaga independensi mereka sebagai
pendidik. Karena bagaimana pun juga
ketika kepentingan politik masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, maka
proses pembelajaran di dalamnya tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan
pendidikan yang mempunyai inti membebaskan diri bagi para pendidika dan peserta
didik untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan kefitrahannya. Namun justeru
ketika berbagai kepentingan politik tersebut telah masuk ke dalamnya, maka akan
berakibat pada terpenjaranya kefitrahan seseorang di tengah-tengah kebebasan
yang dimilikinya. “Nah, ini yang membuat kreatifitas pendidik dan peserta didik
akan mati”.
Lebih lanjut Maksum Ahmad mengungkapkan
bahwasanya tidak sedikit guru di NTB ini yang sudah terjebak ke dalam politik
praktis tersebut. Hal itu disebabkan oleh terjebaknya mereka ke dalam pusaran
kekuasaan yang membuat mereka harus menggadaikan independensinya sebagai
seorang pendidik. “sebagai contoh pada saat pilkada NTB kemarin, ada banyak
sekali PNS termasuk guru di dalamnya yang menjadi timses salah satu pasangan
calon, ini kan berarti mereka telah melangggar undang-undang kepegawaian yang
melarang mereka untuk tidak terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan politik
praktis meskipun hanya menjadi timses”
Selain terjebaknya mereka ke dalam pusaran
kekuasaan yang praktis juga karena organisasi induk mereka yaitu PGRI yang
lemah dalam mengawasi para guru agar tidak terjebak ke dalam praktik politik
praktis yang selama ini banyak menjebak para guru. “selama ini kan, PGRI hanya muncul pada saat
acara-acara seremonial saja, lebih dari itu mereka tidak memiliki peran
signifikan sebagai lembaga profesi bagi para guru”. Diungkapkan oleh Maksum
Ahmad bahwasanya lembaga seperti PGRI ini merupakan lembaga yang potensial
dijadikan sebagai alat politik praktis oleh partai politik tertentu. Oleh
karenanya, PGRI ke depan harus tetap menjaga independensinya mengingat tahun
politik akan segera menyapa masyarakat.
Di tempat terpisah, ketua Komisi
IV DPRD NTB, H. Patompo Adnan, LC, menegaskan bahwasanya jika pada masa-masa
mendatang ada guru yang terlibat aktif ke dalam politik praktis, dirinya
meminta agar organisasi induk mereka yaitu PGRI harus berani menindak tegas
agar mereka kembali ke khittah mereka sebagai guru. “mereka harus diberikan
hukuman berupa penurunan pangkat dan jabatan, kemudian itu dijadikan bahan
penilaian dalam sertifikasi dan lain sebagainya”. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar