KANGGOK'M TADAHN ?

Selasa, 18 Maret 2014

Caleg Cabe-Cabean


Oleh: Darsono Yusin Sali
(Koordinator Program pada PSBPM Bina Pusaka )

Ternyata, fenomena pergaulan anak remaja yang akhir-akhir ini ngtrend dengan istilah cabe-cabean (untuk perempuan) dan terong-terongan (untuk laki-laki) tidak hanya terjadi di kalangan remaja belia, tetapi juga terjadi dalam dunia politik kita. Istilah cabe-cabean merujuk pada gaya hidup anak remaja belia dengan ciri suka memakai celana ketat, pendek, pakaian serba minim, lipstik menggoda serba terlihat pedas kayak cabe dan lain sebagainya, padahal untuk standar usia, jelas belum pas dan tidak pantas digunakan karena akan terlihat norak dan terlihat ‘menua’ sebelum waktunya.  

Timbulnya fenomena cewek cabe-cabean setidaknya mengindikasikan tentang dua hal. Pertama, murni sebagai bagian dari gaya hidup remaja-remaja masa kini. Kedua, dapat memberi kesan tentang minimnya pengetahuan tentang dunia fashion yang pas sesuai dengan standar usia mereka. Alhasil, akibat minimnya pengetahuan mereka soal dunia fashion yang memadai, membuat pilihan gaya berpakaian dan gaya hidup secara keseluruhan banyak yang tidak sesuai dengan selera kepatutan masyarakat. Kritikan pedas berujung pada hujatan pun seringkali mereka dapatkan dari sebagian masyarakat yang memandang gaya berpenampilan remaja masa kini tersebut tidak elok.

Jika kita sepakat untuk menggeser fenomena tersebut ke wilayah kontestasi para calon anggota legislatif (caleg) yang kini sudah mulai bertarung secara terbuka, maka kita akan menemukan fenomena caleg cabe-cabean mengikuti istilah yang dilontarkan oleh Novriantoni Kahar, salah seorang pentolan Jaringan Islam Liberal dalam beberapa tulisannya baru-baru ini. Menurut Novriantoni, caleg cabe-cabean mempunyai dua kemungkinan. Pertama, dipasang sekadar sebagai pemanis saja oleh partai. Kemungkinan lain ialah demi memberi kesan bahwa partai cukup akomodatif, misalnya terhadap kaum aktivis dan intelektual di luar lingkungan elite partai. Artinya bahwa keikutsertaan mereka dalam Pileg tidak disertai oleh I’tikad yang baik dan benar-benar berkeinginan mewakili aspirasi masyarakat. Caleg seperti inilah yang hanya sekedar ikut meramaikan pertarungan politik agar terlihat lebih semarak.

Meski hanya sebagai penggembira dalam artian di atas, keberadaan caleg cabe-cabean tidak boleh dipandang sebelah mata oleh para caleg lainnya mengingat keberadaan mereka bukan semata-mata hadir tanpa membawa visi yang kabur dan tidak jelas. Konsekuensi atas segala bentuk kemungkinan yang disebutkan Novriantoni di atas bisa berakibat pada terjadinya gangguan suara pemilih (pemecah suara) di daerah pemilihan tertentu sehingga dapat mengganggu konsentrasi lawan. Akibat minimnya pengetahuan masyarakat pemilih dalam melihat calegnya, beresiko pada tidak aspiratifnya suara yang nanti mereka berikan.
Untuk konteks sebagai pemecah suara di Dapil tertentu misalnya, caleg lain di luar kategori cabe-cabean tidak boleh melihat ini sebagai sesuatu yang remeh temeh. Sokongan dana besar dari caleg yang memasang mereka sebagai pemecah suara menjadi bahaya laten di tengah semakin akutnya tingkat pragmatisme masyarakat dalam melihat fenomena politik ini. Ada anggapan di tengah-tengah masyarakat bahwasanya momen politik saat sekarang inilah sebagai momen yang tepat agar dapat mengambil manfaat dari sisi materi atas menjamurnya para caleg yang blusukan ke tengah-tengah mereka. Tentu, ini menjadi episode lain yang paling berat dari babak persaingan para kompetitor di samping fenomena caleg cabe-cabean dengan segala visi yang  mereka bawa.

Kini, jelang pemilihan umum legislatif yang jatuh pada 9 April mendatang, fenomena caleg cabe-cabean semakin jelas terlihat menghiasi pertarungan antar caleg. Dengan kasat mata, masyarakat bisa melihat banyak caleg pada kategori cabe-cabean ini malang melintang dan menebar berbagai janji. Padahal, jika masyarakat jernih melihat, tentu mereka bisa menilai mana caleg yang benar-benar serius mengikuti kontestasi dan siap mewakili aspirasi rakyat di parlemen dan mana caleg yang hanya sebagai penggembira dan pelengkap.

Seperti namanya saja, keberadaan caleg cabe-cabean di satu sisi meski hanya di pasang di sana sini sebagai pelengkap dan penggembira, namun keberadaannya menjadi penyempurna pesta demokrasi lima tahunan. Harus disadari, tanpa keikutsertaan mereka, pesta demokrasi tidak mungkin ‘rame’. Sama seperti kewajiban hadirnya cabe dalam suatu masakan yang tidak pernah alfa menghiasi berbagai jenis hidangan. Terlebih bagi masyarakat Lombok yang sudah melekat dengan ciri masakan pedasnya. Tidak itu saja, keikutsertaan caleg cabe-cabean dalam pesta demokrasi juga bisa diterjemahkan sebagai bentuk kesadaran di tengah semakin merosotnya tingkat partisipasi politik masyarakat, yang tentunya, harus diapresiasi oleh semua orang.

Di sisi lain, keberadaan caleg cabe-cabean bisa menjadi semacam kuda hitam bagi para caleg lain yang sewaktu-waktu dapat membuat mereka kepanasan seperti rasa cabe pada umumnya. Dengan amunisi yang disiapkan oleh partai pengusung dan caleg yang memasang mereka, keberadaannya harus diwaspadai jika tidak ingin suara masyarakat diberikan pada caleg yang tidak sepenuhnya siap mewakili aspirasi masyarakat. Jika demikian, kewajiban para kompetitor di tengah semakin menyusutnya waktu berkampanye sekarang ini ialah memberikan penjelasan ke tengah-tengah masyarakat sehingga Pileg mendatang benar-benar menghasilkan pemimpin yang aspiratif dan mampu memperjuangkan segala kepentingan masyarakat, tidak sekedar menjadi penghibur ketika sudah duduk di parlemen.



Dare, 18 Maret 2014

Tidak ada komentar: