Oleh: Darsono Yusin Sali
(Koordinator Program pada PSBPM Bina Pusaka )
Ternyata,
fenomena pergaulan anak remaja yang akhir-akhir ini ngtrend dengan istilah cabe-cabean (untuk perempuan) dan
terong-terongan (untuk laki-laki) tidak hanya terjadi di kalangan remaja belia,
tetapi juga terjadi dalam dunia politik kita. Istilah cabe-cabean merujuk pada
gaya hidup anak remaja belia dengan ciri suka memakai celana ketat, pendek,
pakaian serba minim, lipstik menggoda serba terlihat pedas kayak cabe dan lain
sebagainya, padahal untuk standar usia, jelas belum pas dan tidak pantas
digunakan karena akan terlihat norak dan terlihat ‘menua’ sebelum waktunya.
Timbulnya
fenomena cewek cabe-cabean setidaknya mengindikasikan tentang dua hal. Pertama,
murni sebagai bagian dari gaya hidup remaja-remaja masa kini. Kedua, dapat
memberi kesan tentang minimnya pengetahuan tentang dunia fashion yang pas sesuai dengan standar usia mereka. Alhasil, akibat
minimnya pengetahuan mereka soal dunia fashion
yang memadai, membuat pilihan gaya berpakaian dan gaya hidup secara keseluruhan
banyak yang tidak sesuai dengan selera kepatutan masyarakat. Kritikan pedas
berujung pada hujatan pun seringkali mereka dapatkan dari sebagian masyarakat
yang memandang gaya berpenampilan remaja masa kini tersebut tidak elok.
Jika
kita sepakat untuk menggeser fenomena tersebut ke wilayah kontestasi para calon
anggota legislatif (caleg) yang kini sudah mulai bertarung secara terbuka, maka
kita akan menemukan fenomena caleg cabe-cabean mengikuti istilah yang
dilontarkan oleh Novriantoni Kahar, salah seorang pentolan Jaringan Islam Liberal
dalam beberapa tulisannya baru-baru ini. Menurut Novriantoni, caleg cabe-cabean
mempunyai dua kemungkinan. Pertama, dipasang sekadar sebagai pemanis saja oleh
partai. Kemungkinan lain ialah demi memberi kesan bahwa partai cukup
akomodatif, misalnya terhadap kaum aktivis dan intelektual di luar lingkungan
elite partai. Artinya bahwa keikutsertaan mereka dalam Pileg tidak disertai
oleh I’tikad yang baik dan benar-benar berkeinginan mewakili aspirasi
masyarakat. Caleg seperti inilah yang hanya sekedar ikut meramaikan pertarungan
politik agar terlihat lebih semarak.
Meski
hanya sebagai penggembira dalam artian di atas, keberadaan caleg cabe-cabean tidak
boleh dipandang sebelah mata oleh para caleg lainnya mengingat keberadaan
mereka bukan semata-mata hadir tanpa membawa visi yang kabur dan tidak jelas. Konsekuensi
atas segala bentuk kemungkinan yang disebutkan Novriantoni di atas bisa
berakibat pada terjadinya gangguan suara pemilih (pemecah suara) di daerah
pemilihan tertentu sehingga dapat mengganggu konsentrasi lawan. Akibat minimnya
pengetahuan masyarakat pemilih dalam melihat calegnya, beresiko pada tidak
aspiratifnya suara yang nanti mereka berikan.
Untuk
konteks sebagai pemecah suara di Dapil tertentu misalnya, caleg lain di luar
kategori cabe-cabean tidak boleh melihat ini sebagai sesuatu yang remeh temeh.
Sokongan dana besar dari caleg yang memasang mereka sebagai pemecah suara
menjadi bahaya laten di tengah semakin akutnya tingkat pragmatisme masyarakat
dalam melihat fenomena politik ini. Ada anggapan di tengah-tengah masyarakat
bahwasanya momen politik saat sekarang inilah sebagai momen yang tepat agar
dapat mengambil manfaat dari sisi materi atas menjamurnya para caleg yang
blusukan ke tengah-tengah mereka. Tentu, ini menjadi episode lain yang paling
berat dari babak persaingan para kompetitor di samping fenomena caleg
cabe-cabean dengan segala visi yang
mereka bawa.
Kini,
jelang pemilihan umum legislatif yang jatuh pada 9 April mendatang, fenomena caleg
cabe-cabean semakin jelas terlihat menghiasi pertarungan antar caleg. Dengan kasat
mata, masyarakat bisa melihat banyak caleg pada kategori cabe-cabean ini malang
melintang dan menebar berbagai janji. Padahal, jika masyarakat jernih melihat,
tentu mereka bisa menilai mana caleg yang benar-benar serius mengikuti kontestasi
dan siap mewakili aspirasi rakyat di parlemen dan mana caleg yang hanya sebagai
penggembira dan pelengkap.
Seperti
namanya saja, keberadaan caleg cabe-cabean di satu sisi meski hanya di pasang
di sana sini sebagai pelengkap dan penggembira, namun keberadaannya menjadi
penyempurna pesta demokrasi lima tahunan. Harus disadari, tanpa keikutsertaan
mereka, pesta demokrasi tidak mungkin ‘rame’. Sama seperti kewajiban hadirnya
cabe dalam suatu masakan yang tidak pernah alfa menghiasi berbagai jenis hidangan.
Terlebih bagi masyarakat Lombok yang sudah melekat dengan ciri masakan
pedasnya. Tidak itu saja, keikutsertaan caleg cabe-cabean dalam pesta demokrasi
juga bisa diterjemahkan sebagai bentuk kesadaran di tengah semakin merosotnya
tingkat partisipasi politik masyarakat, yang tentunya, harus diapresiasi oleh
semua orang.
Di
sisi lain, keberadaan caleg cabe-cabean bisa menjadi semacam kuda hitam bagi
para caleg lain yang sewaktu-waktu dapat membuat mereka kepanasan seperti rasa
cabe pada umumnya. Dengan amunisi yang disiapkan oleh partai pengusung dan
caleg yang memasang mereka, keberadaannya harus diwaspadai jika tidak ingin
suara masyarakat diberikan pada caleg yang tidak sepenuhnya siap mewakili
aspirasi masyarakat. Jika demikian, kewajiban para kompetitor di tengah semakin
menyusutnya waktu berkampanye sekarang ini ialah memberikan penjelasan ke
tengah-tengah masyarakat sehingga Pileg mendatang benar-benar menghasilkan
pemimpin yang aspiratif dan mampu memperjuangkan segala kepentingan masyarakat,
tidak sekedar menjadi penghibur ketika sudah duduk di parlemen.
Dare, 18 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar