Puluhan anggota Forum Peduli Perempuan dan Anak NTB menggalang
dukungan menolak praktik perkawinan usia anak di NTB. Penggalangan
dukungan dilakukan di sela-sela pelaksanaan car free day di
taman Udayana pada Minggu (11/12) dengan cara berorasi dan membubuhkan
tandatangan sebagai bentuk penolakan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan anak tidak terkecuali menolak perkawinan dini.
Koordinator Forum Peduli Perempuan dan Anak NTB, Nur Janah mengemukakan jika Indonesia menjadi salah satu dari 10 Negara di dunia dengan praktik perkawinan anak tertinggi tepatnya berada pada posisi kedua di Asean setelah Kamboja. Data BPS tahun 2014 juga mencatat 1,6 persen atau sebanyak 1.324.800 anak dikawinkan pada usia 10-17 tahun dan sebagian besar adalah anak perempuan. Sementara di NTB tercatat 38,37 persen perempuan yang menikah pertama di usia 10-19 tahun berdasarkan data BP3AKB NTB.
Kondisi tersebut diperparah dengan keberadaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan sumber legitimasi utama karena di dalamnya mengatur batas usia anak perempuan yaitu usia 16 tahun sudah dinyatakan sah untuk dikwinkan.
Sementara mereka yang nikah di usia anak-anak, terancam masuk dalam siklus kehidupan yang buruk dari aspek kesehatan, pendidikan, pekerjaan (kemiskinan), dan menjadi kelompok rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Untuk itu, Forum Peduli Perempuan dan Anak NTB meminta semua pihak memberikan atensi agar perkawinan usia anak di hentikan. Penghentian perkawinan anak sangat mendesak untuk memecahkan masalah anak perempuan Indonesia mengingat ada 70,31 persen perempuan yang masuk dalam kategori belum pernah sekolah, tidak tamat SD, SMP dan SMA.
Di samping itu, penghentian perkawinan pada anak berkontribusi pada penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan risiko kesehatan reproduksi seksualitas. Hasil riset kesehatan dasar pada 2013 masih menunjukkan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan atau hidup bersama. Pernikahan anak berdampak pada tingginya risiko kematian ibu dan anak dimana mencapai 359/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 sesuai dengan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
Sekitar26 persen perempuan di bawah umur menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang optimal. Selain itu, perkawinan usia anak berpengaruh pada tingginya angka perceraian. Hasil survey yang dilakukan Rumah Kitab di NTB pada 2015 menyebutkan pernikahan anak rentan untuk terjadinya perceraian usia muda dan kematian saat ibu melahirkan. (ist)
Koordinator Forum Peduli Perempuan dan Anak NTB, Nur Janah mengemukakan jika Indonesia menjadi salah satu dari 10 Negara di dunia dengan praktik perkawinan anak tertinggi tepatnya berada pada posisi kedua di Asean setelah Kamboja. Data BPS tahun 2014 juga mencatat 1,6 persen atau sebanyak 1.324.800 anak dikawinkan pada usia 10-17 tahun dan sebagian besar adalah anak perempuan. Sementara di NTB tercatat 38,37 persen perempuan yang menikah pertama di usia 10-19 tahun berdasarkan data BP3AKB NTB.
Kondisi tersebut diperparah dengan keberadaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan sumber legitimasi utama karena di dalamnya mengatur batas usia anak perempuan yaitu usia 16 tahun sudah dinyatakan sah untuk dikwinkan.
Sementara mereka yang nikah di usia anak-anak, terancam masuk dalam siklus kehidupan yang buruk dari aspek kesehatan, pendidikan, pekerjaan (kemiskinan), dan menjadi kelompok rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Untuk itu, Forum Peduli Perempuan dan Anak NTB meminta semua pihak memberikan atensi agar perkawinan usia anak di hentikan. Penghentian perkawinan anak sangat mendesak untuk memecahkan masalah anak perempuan Indonesia mengingat ada 70,31 persen perempuan yang masuk dalam kategori belum pernah sekolah, tidak tamat SD, SMP dan SMA.
Di samping itu, penghentian perkawinan pada anak berkontribusi pada penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan risiko kesehatan reproduksi seksualitas. Hasil riset kesehatan dasar pada 2013 masih menunjukkan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan atau hidup bersama. Pernikahan anak berdampak pada tingginya risiko kematian ibu dan anak dimana mencapai 359/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 sesuai dengan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
Sekitar26 persen perempuan di bawah umur menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang optimal. Selain itu, perkawinan usia anak berpengaruh pada tingginya angka perceraian. Hasil survey yang dilakukan Rumah Kitab di NTB pada 2015 menyebutkan pernikahan anak rentan untuk terjadinya perceraian usia muda dan kematian saat ibu melahirkan. (ist)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar