Suatu
saat salah seorang teman melempar diskusi tanda gong adu argumentasi yang kerap
kali dipertunjukkan dimulai. Pertanyaannya kala itu, “apa yang dimaksud dengan
pilihan?”. Sekilas pertanyaan ini sangat sederhana, namun meskipun sederhana
jarang sekali ada orang yang bertanya atau mempertanyakan tentang makna
“pilihan” yang acapkali sering muncul sebagai konsekuensi logis dari apa yang kita cari atau pun tuju. “Pilihan”
berasal dari bahasa arab ialah khiyar
yang berarti memilih. Terminologi khiyar
ini kemudian digunakan untuk aktifitas jual beli bay’ sehingga dalam jual beli sering kita dengar muncul istilah khiyar yang berarti memilih; memilih
untuk melanjutkan jual beli atau mengurungkannya. Itulah asal kata pilihan.
Namun
diskusi menjadi segar ketika teman yang melemparkan pertanyaan menjawab dan
memberikan analisa sendiri terhadap pertanyaan yang ia lempar. “pilihan”
baginya ialah satu, bukan dua, apalagi tiga. Pilihan dalam hidup ini satu bukan
dua. Pilihan erat kaitannya dengan (sifat) ke-konsisten-an seseorang yang menetapkan pilihannya terhadap sesuatu. Dia mencontohkan
pilihan politik tokoh nasional Akbar
Tandjung yang memilih Partai Golkar sebagai kendaraan politiknya. Sampai dengan
umur yang cukup uzur beliau konsisten dengan pilihan politiknya meski acapkali
mendapat serangan dari dalam maupun luar. Itulah “pilihan” paparnya. Jadi
proses untuk mencapai “pilihan” itu bukan disebut sebagai pilihan, melainkan
masih dalam proses memilih. “pilihan” seseorang terhadap sesuatu memiliki
konsekuensi moral terhadap apa yang dipilihnya. Ketika yang dipilihnya terjadi
anomali, maka bagi sang pemilih sudah menjadi kewajiban untuk memperbaikinya.
Sehingga demikian, apa yang dilakukannya sebisa mungkin tetap berada pada
koridor pilihannya.
Namun
penulis agak berbeda pandangan dengan teman saya di atas, meski paparannya
terlihat logis, namun jauh dari kenyataan objektif dikehidupan sehari-hari.
Bagi penulis, term “pilihan” terlebih dulu harus dibedakan dari term
“konsisten” karena keduanya memiliki ranah yang berbeda. “pilihan” merupakan
konsekuensi logis dari apa yang kita pilih (proses memilih). Itulah pilihan.
Namun sebelum menjelaskan lebih jauh
tentang makna “pilihan”, penulis ingin melihat proses memilih terlebih dahulu
dengan menggunakan perspektif teori fusion
of horizon. Dalam analisanya, teori ini ingin memperkuat keberadaan paham
relativisme yang ngtrend pasca Albert
Enstein dengan fisika modernnya. Kenyataannya, dalam teori ini alam tidaklah
seperti yang diasumsikan oleh para fisikawan klasik yang lebih melihat
keberadaan alam ini sebagai sesuatu yang tidak disengajai dan keberadaannya
ialah statis (tidak berubah). Sebuah pandangan dunia world view yang menguasai dunia hampir tiga abad lamanya. Setelah Einstein,
baru kemudian banyak tokoh mulai merubah haluan berpikirnya menuju pembuktian
bahwa keberadaan alam semesta ini bukanlah tanpa rancangan dan desain dari sang
desainer sejati selain itu alam semesta ini tidaklah statis, namun terus dalam
kondisi mengembang dan dinamis. Sehingga berangkat dari sinilah, landasan ilmu
pengetahuan baik secara filosofis maupun praktis berubah. Dalam praktik tafsir
keagamaan pun demikian, banyak cendekiawan muslim yang sudah mulai membuka diri
terhadap pemikiran ini. Tafsir bukan lagi dilihat sebagai produk baku dan
final, namun lebih kepada hasil dari pembacaan antara perjumpaan teks dengan konteks.
Dan proses dialektika (pembacaan-pembacaan)
demikian akan terus berlangsung sepanjang masa. Inilah produk nyata dari
relativisme yang dibangun oleh Enstein.
Masih
dalam analisa teori fusion of horizon, munculnya sebuah paradigma baru
yang ingin eksis sebagai reaksi dan sintesis terhadap tesis ataupun wacana yang
diterima secara luas oleh masyarakat tidak terlepas dari ketidaksempurnaan
paradigma yang terbangun, sehingga demikian munculah masalah (anomali).
Dari anomali inilah muncul gagasan untuk menggantikan paradigma lama
yang menurut penggugatnya sudah usang dengan paradigma baru yang lebih
kontekstual dengan kondisi sosio-historis masyarakat setempat. Dengan hadirnya
paradigma baru sebagai sintesis dari paradigma lama tersebut sesungguhnya merupakan
pilihan saat itu dan begitu juga dengan proses-proses seterusnya. Munculnya
Orde Baru di bawah suharto merupakan sintesis dari Orde Lama yang menurut para
penganutnya sudah tidak relevan lagi dalam menjalankan kepemimpinan bangsa,
begitu juga dengan Orde Reformasi.
Dalam
persoalan “pilihan” pun sebenarnya seperti itu, tidak ada pilihan yang yang
keberadaannya tetap sebagaimana pendapat teman di atas. Semuanya selalu ber-dialektika berada pada proses memilih.
Namun ketika berada pada state hasil memilih, itulah yang disebut
“pilihan”. Ketika terjadi anomali dari state hasil pilihannya
kemudian beralih ke state yang lainnya itulah juga pilihan dan
seterusnya. Itulah pilihan, karena tidak ada yang keberadaannya tetap karena
hidup ini dinamis begitu juga pilihan. Bukankah Orde Baru, Reformasi itu sebuah
pilihan? Jika jawabannya bukan, maka sebenarnya kita sedang kembali pada orde
pemikiran fisika klasik yang lebih melihat dunia sebagai lingkaran statis. Wallua’lam
bisshawab
Kekalik
Panji Anom, Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar