KANGGOK'M TADAHN ?

Senin, 21 Januari 2013

Jawaban atas kegalauan Saudara Samsul Hasan Basri; Apakah pilihan itu?







Suatu saat salah seorang teman melempar diskusi tanda gong adu argumentasi yang kerap kali dipertunjukkan dimulai. Pertanyaannya kala itu, “apa yang dimaksud dengan pilihan?”. Sekilas pertanyaan ini sangat sederhana, namun meskipun sederhana jarang sekali ada orang yang bertanya atau mempertanyakan tentang makna “pilihan” yang acapkali sering muncul sebagai konsekuensi logis dari  apa yang kita cari atau pun tuju. “Pilihan” berasal dari bahasa arab ialah khiyar yang berarti memilih. Terminologi khiyar ini kemudian digunakan untuk aktifitas jual beli bay’ sehingga dalam jual beli sering kita dengar muncul istilah khiyar yang berarti memilih; memilih untuk melanjutkan jual beli atau mengurungkannya. Itulah asal kata pilihan.

Namun diskusi menjadi segar ketika teman yang melemparkan pertanyaan menjawab dan memberikan analisa sendiri terhadap pertanyaan yang ia lempar. “pilihan” baginya ialah satu, bukan dua, apalagi tiga. Pilihan dalam hidup ini satu bukan dua. Pilihan erat kaitannya dengan (sifat) ke-konsisten-an seseorang yang  menetapkan pilihannya terhadap sesuatu. Dia mencontohkan  pilihan politik tokoh nasional Akbar Tandjung yang memilih Partai Golkar sebagai kendaraan politiknya. Sampai dengan umur yang cukup uzur beliau konsisten dengan pilihan politiknya meski acapkali mendapat serangan dari dalam maupun luar. Itulah “pilihan” paparnya. Jadi proses untuk mencapai “pilihan” itu bukan disebut sebagai pilihan, melainkan masih dalam proses memilih. “pilihan” seseorang terhadap sesuatu memiliki konsekuensi moral terhadap apa yang dipilihnya. Ketika yang dipilihnya terjadi anomali, maka bagi sang pemilih sudah menjadi kewajiban untuk memperbaikinya. Sehingga demikian, apa yang dilakukannya sebisa mungkin tetap berada pada koridor pilihannya.

Namun penulis agak berbeda pandangan dengan teman saya di atas, meski paparannya terlihat logis, namun jauh dari kenyataan objektif dikehidupan sehari-hari. Bagi penulis, term “pilihan” terlebih dulu harus dibedakan dari term “konsisten” karena keduanya memiliki ranah yang berbeda. “pilihan” merupakan konsekuensi logis dari apa yang kita pilih (proses memilih). Itulah pilihan. Namun sebelum  menjelaskan lebih jauh tentang makna “pilihan”, penulis ingin melihat proses memilih terlebih dahulu dengan menggunakan perspektif teori fusion of horizon. Dalam analisanya, teori ini ingin memperkuat keberadaan paham relativisme yang ngtrend pasca Albert Enstein dengan fisika modernnya. Kenyataannya, dalam teori ini alam tidaklah seperti yang diasumsikan oleh para fisikawan klasik yang lebih melihat keberadaan alam ini sebagai sesuatu yang tidak disengajai dan keberadaannya ialah statis (tidak berubah). Sebuah pandangan dunia world view yang menguasai dunia hampir tiga abad lamanya. Setelah Einstein, baru kemudian banyak tokoh mulai merubah haluan berpikirnya menuju pembuktian bahwa keberadaan alam semesta ini bukanlah tanpa rancangan dan desain dari sang desainer sejati selain itu alam semesta ini tidaklah statis, namun terus dalam kondisi mengembang dan dinamis. Sehingga berangkat dari sinilah, landasan ilmu pengetahuan baik secara filosofis maupun praktis berubah. Dalam praktik tafsir keagamaan pun demikian, banyak cendekiawan muslim yang sudah mulai membuka diri terhadap pemikiran ini. Tafsir bukan lagi dilihat sebagai produk baku dan final, namun lebih kepada hasil dari pembacaan antara perjumpaan teks dengan konteks. Dan proses dialektika (pembacaan-pembacaan) demikian akan terus berlangsung sepanjang masa. Inilah produk nyata dari relativisme yang dibangun oleh Enstein. 

Masih dalam analisa teori fusion of horizon, munculnya sebuah paradigma baru yang ingin eksis sebagai reaksi dan sintesis terhadap tesis ataupun wacana yang diterima secara luas oleh masyarakat tidak terlepas dari ketidaksempurnaan paradigma yang terbangun, sehingga demikian munculah masalah (anomali). Dari anomali inilah muncul gagasan untuk menggantikan paradigma lama yang menurut penggugatnya sudah usang dengan paradigma baru yang lebih kontekstual dengan kondisi sosio-historis masyarakat setempat. Dengan hadirnya paradigma baru sebagai sintesis dari paradigma lama tersebut sesungguhnya merupakan pilihan saat itu dan begitu juga dengan proses-proses seterusnya. Munculnya Orde Baru di bawah suharto merupakan sintesis dari Orde Lama yang menurut para penganutnya sudah tidak relevan lagi dalam menjalankan kepemimpinan bangsa, begitu juga dengan Orde Reformasi. 

Dalam persoalan “pilihan” pun sebenarnya seperti itu, tidak ada pilihan yang yang keberadaannya tetap sebagaimana pendapat teman di atas. Semuanya selalu ber-dialektika berada pada proses memilih. Namun ketika berada pada state hasil memilih, itulah yang disebut “pilihan”. Ketika terjadi anomali dari state hasil pilihannya kemudian beralih ke state yang lainnya itulah juga pilihan dan seterusnya. Itulah pilihan, karena tidak ada yang keberadaannya tetap karena hidup ini dinamis begitu juga pilihan. Bukankah Orde Baru, Reformasi itu sebuah pilihan? Jika jawabannya bukan, maka sebenarnya kita sedang kembali pada orde pemikiran fisika klasik yang lebih melihat dunia sebagai lingkaran statis. Wallua’lam bisshawab

Kekalik Panji Anom, Agustus 2012

Tidak ada komentar: