KANGGOK'M TADAHN ?

Senin, 21 Januari 2013

Sisi Historisitas dalam Perayaan Maulid (Suatu Tinjauan Masyarakat Suku Sasak)



Oleh: Darsono Yusin Sali
Seperti pada tahun-tahun biasa, masyarakat muslim Indonesia akan segera melaksanakan agenda nasional yaitu peringatan maulid Nabi Muhammad Saw yang pada tahun ini jatuh pada tanggal 24 Januari 2013 ini. Seperti kita ketahui bahwa perayaan maulid sudah masuk menjadi salah satu Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) dan sudah menjadi agenda nasional untuk dirayakan. Terlepas dari pro kontra pelaksanaan maulid itu sendiri. Namun yang pasti, lahirnya pro kontra tersebut menandakan bahwa masyarakat kita sebenarnya masyarakat yang kritis terhadap persoalan tersebut. Tentunya bagi yang memiliki pandangan positif terhadap pelaksanaan maulid itu sendiri merasakan dampak positifnya dalam berbagai hal kondisi sosiologis masyarakat yang merayakannya.
Anggaplah lewat perayaan maulid akan terbangun komunikasi dan silaturhami antara masyarakat muslim satu dengan lainnya, selain itu tentunya akan berdampak pada soliditas internal kaum muslim sebagaimana pada sejarah kelahiran perayaan maulid itu sendiri yang diperuntukkan untuk membangkitkan semangat juang umat muslim saat menghadapi perlawanan Eropa dalam perang salib (1207 M) yang berkepanjangan itu. Di bawah komando laskar jihad Salahudi al Ayubi, momentum perayaan maulid dipandang sebagai moementum untuk membangkitkan semangat juang umat muslim dan itu terbukti berhasil dan mengantarkan kegemilangan kemenangan umat islam atas Eropa.
Namun bagi yang menganggap perayaan maulid dengan nada yang cukup minor, mereka memberikan perspektif yang juga tidak kalah kuat dengan argumentasi para pendukung maulid. Mulai dari efek negatif yang ditimbulkan berupa kelalaian, “maksiat”, yang ada dalam setiap perayaan tersebut sampai pada persoalan ekonomi masyarakat yang konsumtif pada saat perayaan maulid dilangsungkan. Maklum di berbagai daerah di nusantara, perayaan maulid sudah mengakar di masyarakat dan mengambil peran dan corak berbeda dalam setiap perayaannya sesuai dengan kultur yang ada di masyarakat bersangkutan. Maka tidak mengherankan jika sebenarnya maulid itu sangat melekat sekali dengan tiga aspek sosio kultural masyarakat diantaranya aspek ekonomi, budaya dan agama.
Penulis dalam kesempatan ini tidak hendak mempertentangkan antara yang pro dan kontra karena itu akan sia-sia dan menguras tenaga saja. Sebagai seorang mukmin yang baik menurut kategori Qur’an ialah agar kita selalu berlaku wasatan atau menjadi penengah diantara berbagai perspektif yang ada (moderat). Hal itu bersesuaian dengan hadits Nabi Saw yang menganjurkan untuk tidak terlalu berlebihan dalam mencintai dan membenci seseorang, karena bisa jadi suatu saat nanti orang yang kamu benci akan kamu cintai dan orang yang kamu cintai akan kamu benci.
Dengan serangkaian dalil di atas, islam mengajarkan kita untuk bertindak moderat dalam mengambil pilihan terhadap persoalan ijtihadiyah yang menyangkut banyak pergumulan dengan masyarakat. Karena tidak menutup kemungkinan apa yang dianggap benar selama ini belum tentu benarnya.  Saya tidak akan masuk pada wilayah penafsiran tersebut.
Sisi Historisitas Perayaan Maulid
Melihat berbagai ragam dan corak perayaan maulid di nusantara lebih khususnya di NTB (Lombok) sangat beragam. Antara satu daerah, desa, kampung  perayaannya juga berbeda. Syukurnya perbedaan dalam perayaan tersebut cukup dipandang dewasa oleh masyarakat sehingga tidak menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dan merayakan maulid ini seolah sudah menjadi kesepakatan bersama, antara semua pihak baik elit politik, masyarakat grass root, pemuka agama terlebih lagi kaum pebisnis (kapital).
Namun yang keliru dipahami oleh masyarakat selama ini dalam menjalani perayaan maulid ialah mereka tidak bisa mengenal terlebih lagi melihat batasan-batasan historisitas dalam sisi perayaan tersebut. Kalau ditanya, mereka pasti serentak menjawab ini perintah agama.
Benarkah maulid itu perintah agama? Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya kita melihat pada dua sisi sebagaimana yang disampaikan oleh Amin Abdullah yaitu sisi normatifitas dan historisitas dalam penghayatan keagamaan. Harus dipahami dengan benar-benar clear and distink mana wilayah yang masuk kategori normatif dan wilayah historisnya. Sehingga kita bisa melihat dari aspek mana dan bagian yang mana dari ajaran tersebut yang masuk  batasan dari wilayah keduanya. Jika memang ada aspek normatif, maka itu sepenuhnya dikembalikan dan didudukkan pada proporsinya, begitu juga pada aspek historis harus diletakkan pada tempatnya pula. Aspek normatif merupakan aspek yang masuk pada ranah ajaran dan doktrin keagamaan yang bersumber pada wahyu sementara itu aspek historis sepenuhnya masuk pada wilayah budaya hasil konstruksi tangan dan pikiran manusia dalam mengimplemetasikan nilai-nilai atau doktrin keagamaan lewat persinggungannya dengan kondisi sosialitas masyarakat setempat.
Nah, hal inilah yang belum jelas dipahami oleh masyarakat kita. Maulid dianggap sebagai sepenuhnya perintah agama, padahal kalau kita kritis melihat  doktrin keagamaan tidak ada satupun dalil yang memerintahkan kita untuk merayakan maulid. Ini juga sekaligus menjadi argumentasi para penentangnya.
Keberagamaan seperti inilah yang kerapkali mewarnai  model-model keberagamaan kita padahal tidak sedikit ajaran-ajaran yang diklaim sebagai doktrin keagamaan merupakan hasil produksi budaya manusia. Sehingga hal inilah yang membuat perselisihan diinternal umat muslim tidak pernah menemukan titik ujungnya.
Perayaan maulid pun demikian tidak terlepas dari kondisi historisitas tersebut. Seperti yang disinggung di atas bahwa munculnya perayaan maulid didasari oleh kondisi sosial politik umat muslim kala itu. Ini jelas membuktikan bahwa perayaan maulid merupakan produk budaya. Karena merupakan produk dari hasil kebudayaan, maka sejatinya masyarakat kita tidak terlalu berlebihan dalam merayakannya.  Terlebih sampai berani berhutang hanya untuk melaksanakan perayaan yang merupakan hasil konstruk budaya manusia tersebut. Padahal jika tidak melaksanakannya pun tidak ada sanksi sosial dan agama. Masyarakat tidak lantas kemudian memaksakan kehendaknya untuk tetap bersikukuh merayakan maulid sementara kondisi prekonomian masyarakat sangat pas-pasan. Jelas, yang diuntungkan dengan kondisi ini ialah para kapital pemilik modal karena tingkat beli masyarakat pada saat perayaan ini sangat tinggi. Sikap konsumtif seperti ini sangat dibenci dalam islam bahkan al Q’uran menggambarakan bahwa orang yang boros (konsumtif) tersebut sebagai saudara syetan. Akhirnya yang menjadi korban ialah masyarakat awam yang tidak tahu.
Perayaan maulid memang memiliki muti player efek bagi masyarakat, disatu sisi dapat meningkatkan prekonomian masyarakat selain menimbulkan perilaku konsumtif disisi lainnya. Selain itu, perayaan maulid juga dapat menghidupkan tradisi kebudayaan masyarakat karena tidak jarang dalam setiap perayaannya ikut ditampilkan berbagai atraksi kebudayaan seperti peresean, kesenian rudat, kasidah, berbagai perlombaan rakyat seperti panjat pinang (jurakan), cerdas cermat, lari karung, sepak bola dan lain sebagainya. Ditambah lagi dari sisi religiusitas masyarakat tentu akan meningkat terlepas bersifat semu atau tidak.
Tentunya, dari sekian banyak aspek ini harus mampu diakomodir sehingga terjadi harmonisasi dan simbiosis mutualisme antara berbagai kepentingan di atas. Sehingga dapat mencerminkan islam yang lentur salihun likulli zaman wa makan, tidak rigid dan kaku ketika bersentuhan dengan realitas yang semakin progresif di era post modernisme ini. Namun dengan tetap memperhatikan batas-batas kewajaran oleh masyarakat dari multi sisi di atas. Sekali lagi, merayakan ataupun mempertentangkan maulid ini harus dilihat secara arif agar tidak ada yang merasa tersakiti dan dirugikan. Wallahua’lam bissawab


21/01/2013

Tidak ada komentar: