Oleh: Darsono Yusin Sali
Seperti
pada tahun-tahun biasa, masyarakat muslim Indonesia akan segera melaksanakan
agenda nasional yaitu peringatan maulid Nabi Muhammad Saw yang pada tahun ini
jatuh pada tanggal 24 Januari 2013 ini. Seperti kita ketahui bahwa perayaan
maulid sudah masuk menjadi salah satu Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) dan
sudah menjadi agenda nasional untuk dirayakan. Terlepas dari pro kontra
pelaksanaan maulid itu sendiri. Namun yang pasti, lahirnya pro kontra tersebut
menandakan bahwa masyarakat kita sebenarnya masyarakat yang kritis terhadap
persoalan tersebut. Tentunya bagi yang memiliki pandangan positif terhadap
pelaksanaan maulid itu sendiri merasakan dampak positifnya dalam berbagai hal
kondisi sosiologis masyarakat yang merayakannya.
Anggaplah
lewat perayaan maulid akan terbangun komunikasi dan silaturhami antara
masyarakat muslim satu dengan lainnya, selain itu tentunya akan berdampak pada
soliditas internal kaum muslim sebagaimana pada sejarah kelahiran perayaan
maulid itu sendiri yang diperuntukkan untuk membangkitkan semangat juang umat
muslim saat menghadapi perlawanan Eropa dalam perang salib (1207 M) yang
berkepanjangan itu. Di bawah komando laskar jihad Salahudi al Ayubi, momentum
perayaan maulid dipandang sebagai moementum untuk membangkitkan semangat juang
umat muslim dan itu terbukti berhasil dan mengantarkan kegemilangan kemenangan umat
islam atas Eropa.
Namun
bagi yang menganggap perayaan maulid dengan nada yang cukup minor, mereka
memberikan perspektif yang juga tidak kalah kuat dengan argumentasi para
pendukung maulid. Mulai dari efek negatif yang ditimbulkan berupa kelalaian, “maksiat”,
yang ada dalam setiap perayaan tersebut sampai pada persoalan ekonomi
masyarakat yang konsumtif pada saat perayaan maulid dilangsungkan. Maklum di
berbagai daerah di nusantara, perayaan maulid sudah mengakar di masyarakat dan
mengambil peran dan corak berbeda dalam setiap perayaannya sesuai dengan kultur
yang ada di masyarakat bersangkutan. Maka tidak mengherankan jika sebenarnya
maulid itu sangat melekat sekali dengan tiga aspek sosio kultural masyarakat
diantaranya aspek ekonomi, budaya dan agama.
Penulis
dalam kesempatan ini tidak hendak mempertentangkan antara yang pro dan kontra
karena itu akan sia-sia dan menguras tenaga saja. Sebagai seorang mukmin yang
baik menurut kategori Qur’an ialah agar kita selalu berlaku wasatan atau menjadi penengah diantara
berbagai perspektif yang ada (moderat). Hal itu bersesuaian dengan hadits Nabi
Saw yang menganjurkan untuk tidak terlalu berlebihan dalam mencintai dan
membenci seseorang, karena bisa jadi suatu saat nanti orang yang kamu benci
akan kamu cintai dan orang yang kamu cintai akan kamu benci.
Dengan
serangkaian dalil di atas, islam mengajarkan kita untuk bertindak moderat dalam
mengambil pilihan terhadap persoalan ijtihadiyah yang menyangkut banyak
pergumulan dengan masyarakat. Karena tidak menutup kemungkinan apa yang
dianggap benar selama ini belum tentu benarnya.
Saya tidak akan masuk pada wilayah penafsiran tersebut.
Sisi Historisitas Perayaan Maulid
Melihat
berbagai ragam dan corak perayaan maulid di nusantara lebih khususnya di NTB
(Lombok) sangat beragam. Antara satu daerah, desa, kampung perayaannya juga berbeda. Syukurnya perbedaan
dalam perayaan tersebut cukup dipandang dewasa oleh masyarakat sehingga tidak
menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dan merayakan maulid ini seolah sudah
menjadi kesepakatan bersama, antara semua pihak baik elit politik, masyarakat grass root, pemuka agama terlebih lagi
kaum pebisnis (kapital).
Namun
yang keliru dipahami oleh masyarakat selama ini dalam menjalani perayaan maulid
ialah mereka tidak bisa mengenal terlebih lagi melihat batasan-batasan
historisitas dalam sisi perayaan tersebut. Kalau ditanya, mereka pasti serentak
menjawab ini perintah agama.
Benarkah
maulid itu perintah agama? Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya kita
melihat pada dua sisi sebagaimana yang disampaikan oleh Amin Abdullah yaitu
sisi normatifitas dan historisitas dalam penghayatan keagamaan. Harus dipahami dengan
benar-benar clear and distink mana
wilayah yang masuk kategori normatif dan wilayah historisnya. Sehingga kita
bisa melihat dari aspek mana dan bagian yang mana dari ajaran tersebut yang
masuk batasan dari wilayah keduanya.
Jika memang ada aspek normatif, maka itu sepenuhnya dikembalikan dan didudukkan
pada proporsinya, begitu juga pada aspek historis harus diletakkan pada
tempatnya pula. Aspek normatif merupakan aspek yang masuk pada ranah ajaran dan
doktrin keagamaan yang bersumber pada wahyu sementara itu aspek historis
sepenuhnya masuk pada wilayah budaya hasil konstruksi tangan dan pikiran manusia
dalam mengimplemetasikan nilai-nilai atau doktrin keagamaan lewat persinggungannya
dengan kondisi sosialitas masyarakat setempat.
Nah,
hal inilah yang belum jelas dipahami oleh masyarakat kita. Maulid dianggap sebagai
sepenuhnya perintah agama, padahal kalau kita kritis melihat doktrin keagamaan tidak ada satupun dalil
yang memerintahkan kita untuk merayakan maulid. Ini juga sekaligus menjadi
argumentasi para penentangnya.
Keberagamaan
seperti inilah yang kerapkali mewarnai
model-model keberagamaan kita padahal tidak sedikit ajaran-ajaran yang
diklaim sebagai doktrin keagamaan merupakan hasil produksi budaya manusia.
Sehingga hal inilah yang membuat perselisihan diinternal umat muslim tidak
pernah menemukan titik ujungnya.
Perayaan
maulid pun demikian tidak terlepas dari kondisi historisitas tersebut. Seperti
yang disinggung di atas bahwa munculnya perayaan maulid didasari oleh kondisi
sosial politik umat muslim kala itu. Ini jelas membuktikan bahwa perayaan maulid
merupakan produk budaya. Karena merupakan produk dari hasil kebudayaan, maka
sejatinya masyarakat kita tidak terlalu berlebihan dalam merayakannya. Terlebih sampai berani berhutang hanya untuk
melaksanakan perayaan yang merupakan hasil konstruk budaya manusia tersebut.
Padahal jika tidak melaksanakannya pun tidak ada sanksi sosial dan agama. Masyarakat
tidak lantas kemudian memaksakan kehendaknya untuk tetap bersikukuh merayakan
maulid sementara kondisi prekonomian masyarakat sangat pas-pasan. Jelas, yang
diuntungkan dengan kondisi ini ialah para kapital pemilik modal karena tingkat
beli masyarakat pada saat perayaan ini sangat tinggi. Sikap konsumtif seperti ini
sangat dibenci dalam islam bahkan al Q’uran menggambarakan bahwa orang yang
boros (konsumtif) tersebut sebagai saudara syetan. Akhirnya yang menjadi korban
ialah masyarakat awam yang tidak tahu.
Perayaan
maulid memang memiliki muti player efek bagi
masyarakat, disatu sisi dapat meningkatkan prekonomian masyarakat selain
menimbulkan perilaku konsumtif disisi lainnya. Selain itu, perayaan maulid juga
dapat menghidupkan tradisi kebudayaan masyarakat karena tidak jarang dalam
setiap perayaannya ikut ditampilkan berbagai atraksi kebudayaan seperti
peresean, kesenian rudat, kasidah, berbagai perlombaan rakyat seperti panjat
pinang (jurakan), cerdas cermat, lari karung, sepak bola dan lain sebagainya.
Ditambah lagi dari sisi religiusitas masyarakat tentu akan meningkat terlepas
bersifat semu atau tidak.
Tentunya,
dari sekian banyak aspek ini harus mampu diakomodir sehingga terjadi
harmonisasi dan simbiosis mutualisme antara berbagai kepentingan di atas. Sehingga
dapat mencerminkan islam yang lentur salihun
likulli zaman wa makan, tidak rigid dan kaku ketika bersentuhan dengan
realitas yang semakin progresif di era post modernisme ini. Namun dengan tetap
memperhatikan batas-batas kewajaran oleh masyarakat dari multi sisi di atas. Sekali
lagi, merayakan ataupun mempertentangkan maulid ini harus dilihat secara arif
agar tidak ada yang merasa tersakiti dan dirugikan. Wallahua’lam bissawab
21/01/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar