KANGGOK'M TADAHN ?

Senin, 21 Januari 2013

Tanah Surga Katanya (Suatu Paradok Indoensia)


Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)

Bicara tentang masyarakat, maka sebenarnya kita berbicara tentang diri kita sendiri. logika sederhananya, karena kita adalah bagian dari masyarakat itu sendiri yang tidak akan pernah jauh dari pembicaraan sehari-hari. Kalau kita cermati kondisi kekinian masyarakat tempat kita tinggal, agak memperihatinkan. Terutama dalam hal kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan merupakan masalah penting dan klasik bagi masyarakat kita. Kemiskinan tidak hanya dialami oleh negara-negara berkembang, sedang berkembang seperti Indonesia, namun juga pernah dialami oleh negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris.

Bayangkan saja data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin (Kompas, 19/09/2012). Dengan angka ini cukup untuk mengatakan bahwa cita-cita kesejahteraan itu masih jauh dari harapan.

Pemerintah boleh saja mengatakan angka penurunan kemiskinan telah berhasil ditingkatkan melalui data-data statistik yang berhasil dikumpulkan terlihat dari klaim penurunan tingkat kemiskinan dari tahun 1998-2011 yang terus menurun mencapai 13 persen, namun kondisi objektif masyarakat memperlihatkan kondisi yang justeru terbalik dan “jauh panggang dari api” untuk data-data yang disampaikan.

Tanah Surga Katanya
Penulis sangat perihatin melihat kondisi masyarakat kita, logika dari mana yang membenarkan kita makan di rumah, tanah, sawah, dan ladang orang lain (negara lain) sementara kita sendiri punya sawah, ladang dan tanah. Apakah sedemikian bodohnya kita sehingga hanya untuk makan saja kita harus pergi keluar  rumah kita sendiri? atau memang kita sendiri yang tidak pernah belajar? Atau memang penguasa kita yang secara tidak langsung mengafirmasi keberadaan legal para pencari nafkah ke luar negeri hanya karena mampu menghasilkan devisa demi keuntungan segelintir orang saja? Atau memang inilah yang dimaksud sebagai wacana pemiskinan sturktural yang akhir-akhir ini berkembang?

Problem kemiskinan hingga kini belum juga teratasi hal itu terbukti dengan semakin banyaknya peminat untuk bekerja ke luar negeri. Itu artinya pemerintah kita belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang baik untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Apa yang bisa dilakukan selanjutnya ialah tergantung dari tidak hanya political will pemerintah sebagai pemegang  kebijakan saja sebenaranya namun juga keinginan masyarakat secara umum untuk mau berubah dan berbagai stakelholder yang mempunyai kepedulian untuk memperhatikan nasib masyarakat banyak.

Sebagaimana data yang disampaikan oleh Kemenakertrans Jumlah TKI pekerja domestik sampai dengan akhir 2011 tercatat sebanyak 2.601.590 yang tersebar di seluruh dunia. Adapun rinciannya yakni kawasan Timur Tengah dan Afrika sebanyak 1.422.650 orang  atau 54,68%, kawasan Asia-Pasifik sebanyak 1.178.830 orang (45,31%) dan sisanya Eropa, Australia dan Amerika sebanyak 110 orang atau 0,004% (wartapedia.com 13/02/2012). Dan NTB merupakan pengirim terbesar kedua setelah Jatim yang mencapai 350-400 ribu orang pertahun untuk tujuan Malaysia.

Dalam teori pembangunan, selain memang kemiskinan itu sendiri bersifat alami, juga kemiskinan bisa berbentuk sturktural dan kultural. Kemiskinan struktural atau lebih tepatnya ialah pemiskinan struktural. Pertanyaannya, siapa yang melakukan kepada siapa? Tentu kalau melihat pengertian yang diberikan sejumlah orang terkait dengan kemiskinan struktural ini maka pemegang kekuasaan ialah subjek yang menindas masyarakat sebagai objeknya. Hal itu menurut Dr. Samsul Bahrum dikarenakan faktor instabilitas politik, ekonomi dan sosial yang membuat para elit birokrasi harus mengorbankan rakyatnya dalam hal kebijakan. Kondisi inilah yang membuat masyarakat miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan yang dibuat oleh pemegang kebijakan dan inilah yang membuat orang miskin terbelenggu dengan kemiskinannya (why poor people stay poor). Selain itu, Friedmann dalam Andre Bayo (1996), menjelaskan bahwa kemiskinan struktural didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain (Kompas, 25/06/2012). Hal ini dikarenakan tidak meratanya distribusi sumber-sumber prekonomian yang hanya dikuasai oleh kapitalis yang mempunyai penguasaan ekonomi lebih. Sehingga yang terjadi ialah si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Sebagaimana yang disampaikan oleh Friedman di atas, bahwa kemiskinan itu tidak hanya terbatas pada aspek prekonomian yang diukur lewat pendapatan perkapita masyarakat  yang rendah, namun juga aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan hak-hak publik seperti hak berpolitik, hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Dalam banyak hal strategi penanggulan kemiskinan yang dirancang oleh pemrintah seringkali bersifat tentatif dan tidak paradigmatik artinya hanya bersifat sementara dan terbatas. Yang perlu dilakukan ialah perlunya pembinaan dan pendampingan secara intensif terhadap masyarakat miskin agar bisa mandiri dan menghilangkan ketergantungan yang berlebih terhadap pemerintah. Sehingga demikian akan tercipta masyarakat yang mandiri yang mampu menafkahi dirinya sendiri tanpa harus keluar mencari kerja ke luar negeri.


Biodata Penulis
Nama               : Darsono Yusin Sali
Alamat              : Jl. Panji Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan         : Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram
No hp              : 081 805 720 322
Email               : yusinpiero@gmail.com

Panji anom 1 no 2 19/01/2013







Tidak ada komentar: