Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)
Bicara tentang
masyarakat, maka sebenarnya kita berbicara tentang diri kita sendiri. logika
sederhananya, karena kita adalah bagian dari masyarakat itu sendiri yang tidak
akan pernah jauh dari pembicaraan sehari-hari. Kalau kita cermati kondisi
kekinian masyarakat tempat kita tinggal, agak memperihatinkan. Terutama dalam
hal kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan merupakan masalah penting dan
klasik bagi masyarakat kita. Kemiskinan tidak hanya dialami oleh negara-negara
berkembang, sedang berkembang seperti Indonesia, namun juga pernah dialami oleh
negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris.
Bayangkan saja
data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret
2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah
garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk
jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan
penduduk miskin (Kompas, 19/09/2012). Dengan angka ini cukup untuk mengatakan
bahwa cita-cita kesejahteraan itu masih jauh dari harapan.
Pemerintah boleh
saja mengatakan angka penurunan kemiskinan telah berhasil ditingkatkan melalui
data-data statistik yang berhasil dikumpulkan terlihat dari klaim penurunan
tingkat kemiskinan dari tahun 1998-2011 yang terus menurun mencapai 13 persen,
namun kondisi objektif masyarakat memperlihatkan kondisi yang justeru terbalik
dan “jauh panggang dari api” untuk data-data yang disampaikan.
Tanah Surga Katanya
Penulis sangat
perihatin melihat kondisi masyarakat kita, logika dari mana yang membenarkan
kita makan di rumah, tanah, sawah, dan ladang orang lain (negara lain) sementara
kita sendiri punya sawah, ladang dan tanah. Apakah sedemikian bodohnya kita
sehingga hanya untuk makan saja kita harus pergi keluar rumah kita sendiri? atau memang kita sendiri
yang tidak pernah belajar? Atau memang penguasa kita yang secara tidak langsung
mengafirmasi keberadaan legal para pencari nafkah ke luar negeri hanya karena
mampu menghasilkan devisa demi keuntungan segelintir orang saja? Atau memang
inilah yang dimaksud sebagai wacana pemiskinan sturktural yang akhir-akhir ini
berkembang?
Problem
kemiskinan hingga kini belum juga teratasi hal itu terbukti dengan semakin
banyaknya peminat untuk bekerja ke luar negeri. Itu artinya pemerintah kita
belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang baik untuk
kesejahteraan masyarakat banyak. Apa yang bisa dilakukan selanjutnya ialah
tergantung dari tidak hanya political
will pemerintah sebagai pemegang
kebijakan saja sebenaranya namun juga keinginan masyarakat secara umum
untuk mau berubah dan berbagai stakelholder
yang mempunyai kepedulian untuk memperhatikan nasib masyarakat banyak.
Sebagaimana data
yang disampaikan oleh Kemenakertrans Jumlah TKI pekerja domestik sampai dengan akhir 2011
tercatat sebanyak 2.601.590 yang tersebar di seluruh dunia. Adapun rinciannya
yakni kawasan Timur Tengah dan Afrika sebanyak 1.422.650 orang atau
54,68%, kawasan Asia-Pasifik sebanyak 1.178.830 orang (45,31%) dan sisanya
Eropa, Australia dan Amerika sebanyak 110 orang atau 0,004% (wartapedia.com
13/02/2012). Dan NTB merupakan pengirim terbesar kedua setelah Jatim yang
mencapai 350-400 ribu orang pertahun untuk tujuan Malaysia.
Dalam teori pembangunan, selain
memang kemiskinan itu sendiri bersifat alami, juga kemiskinan bisa berbentuk
sturktural dan kultural. Kemiskinan struktural atau lebih tepatnya ialah
pemiskinan struktural. Pertanyaannya, siapa yang melakukan kepada siapa? Tentu
kalau melihat pengertian yang diberikan sejumlah orang terkait dengan
kemiskinan struktural ini maka pemegang kekuasaan ialah subjek yang menindas
masyarakat sebagai objeknya. Hal itu menurut Dr. Samsul Bahrum dikarenakan
faktor instabilitas politik, ekonomi dan sosial yang membuat para elit birokrasi
harus mengorbankan rakyatnya dalam hal kebijakan. Kondisi inilah yang membuat
masyarakat miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan yang dibuat oleh
pemegang kebijakan dan inilah yang membuat orang miskin terbelenggu dengan
kemiskinannya (why poor people stay poor). Selain itu, Friedmann dalam Andre
Bayo (1996), menjelaskan bahwa kemiskinan struktural didefinisikan sebagai
ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis
kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau
asset misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan;
organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan
lain-lain (Kompas, 25/06/2012). Hal ini dikarenakan tidak meratanya distribusi sumber-sumber
prekonomian yang hanya dikuasai oleh kapitalis yang mempunyai penguasaan
ekonomi lebih. Sehingga yang terjadi ialah si kaya semakin kaya dan si miskin semakin
miskin.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Sebagaimana yang
disampaikan oleh Friedman di atas, bahwa kemiskinan itu tidak hanya terbatas pada
aspek prekonomian yang diukur lewat pendapatan perkapita masyarakat yang rendah, namun juga aspek-aspek lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak publik seperti hak berpolitik, hak memperoleh
pendidikan dan kesehatan. Dalam banyak hal strategi penanggulan kemiskinan yang
dirancang oleh pemrintah seringkali bersifat tentatif dan tidak paradigmatik artinya hanya bersifat
sementara dan terbatas. Yang perlu dilakukan ialah perlunya pembinaan dan
pendampingan secara intensif terhadap masyarakat miskin agar bisa mandiri dan
menghilangkan ketergantungan yang berlebih terhadap pemerintah. Sehingga
demikian akan tercipta masyarakat yang mandiri yang mampu menafkahi dirinya
sendiri tanpa harus keluar mencari kerja ke luar negeri.
Biodata
Penulis
Nama :
Darsono Yusin Sali
Alamat :
Jl. Panji Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan :
Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram
No hp :
081 805 720 322
Email :
yusinpiero@gmail.com
Panji anom 1
no 2 19/01/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar