KANGGOK'M TADAHN ?

Jumat, 22 Februari 2013

Hilangnya Sensitifitas Kemanusiaan Kita




Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)
‘Penegakan hukum’, itulah yang menjadi tantangan terberat bangsa sekarang ini dan di masa-masa yang akan datang. Paling tidak itulah poin penting yang disampaikan oleh ketua MK RI Prof. Dr. Muh. Mahfud MD, beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Mataram. Dalam kuliyah singkatnya dihadapan alumni HMI-KAHMI dan IKA UII, Mahfud MD memaparkan panjang lebar arti kebangsaan dan visi keindonesiaan dan keislaman kita.

Hilangnya sensitivitas pemerintah kita

Jika kita melihat acara-acara reality show yang banyak ditayangkan oleh televisi-televisi kita hari ini, kadang saya merasa heran dibelahan bumi jawa bagian sana yang terlihat dan sering kita persepsikan dengan kemakmuran dan kebisingan kota yang makmur ternyata masih banyak yang jauh tertinggal. Iya, reality-reality show yang kerapkali mengangkat tema-tema sosial seringkali mengangkat seting jawa yang menceritakna tentang kemiskinan sebagian penduduknya yang amat memilukan. Saya merasa sangat bersyukur menjadi orang lombok karena walaupun bagaimana menderitanya hidup di sini, saya tidak pernah merasa separah mereka-mereka yang ditayangkan hampir setiap hari itu. Ada yang makan sekali sehari, ada yang hidup tidak punya rumah hanya bentangan-bentangan daun alang yang menutupi kala malam menjemput atau paling tidak mereka tidur di emperan serta membangun ‘istana’ di bawah terpaan banjir yang setiap hari menghantui di kolong jembatan. Saya sangat bersyukur alam lombok telah memberikan sejuta karunianya buat kehidupan kita di lombok.

Sesekali kita juga sering diperlihatkan oleh suasana di mana hati terasa pilu dan menyayat ketika di belahan bumi nusantara bagian timur sana ‘Papua’ banyak orang yang masih makan nasi aking, memakai pakaian setengah telanjang (koteka) yang oleh sebagian orang diafirmasi sebagai kearifan lokal local wisdom yang harus diberdayakan dan dijaga kelestariannya. Padahal itu hanya akal-akalan segelintir orang saja yang ingin  meraup keuntungan dari “derita” orang lain semata. “derita” karena mereka sengaja dibiarkan tertinggal seperti itu, jauh dari kemajuan modern yang dibincangkan sana-sini. Papau jika tidak kita sebut sebagai daerah tertinggal juga sangat miskin jika dibandingkan dengan daerah nusantara lainnya. Pernahkah kita tahu bahwa tingkat kemiskinan masyarakat Papua hampir sepuluh kali lipat tingkat kemiskinan masyarakat di luar Papua. Jika ini tidak disebut sebagai pemiskinan lalau apa?

Bayangkan saja, di daerah penghasil emas terbesar di Indonesia dengan tambang emas Freeport asal Amerika itu, infrastruktur jalan dan fasilitas publik serba sangat kurang. Jika musim penghujan tiba sudah dipastikan jalanan menjadi becek dan kubangan besar di sana-sini menganga lebar dan jika musim kemarau datang jalanan menjadi berdebu. Tentu ini tidak sehat bagi pertumbuhan prekonomian di Papua. Itulah ironi ketimpangan pembangunan kita jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di belahan Indonesia bagian barat sana. Namun saya agak heran, kenapa pemerintah dalam hal ini seolah menutup mata melihat persoalan yang hampir tiap tahun disorot ini. Seoalah tidak punya telinga, mendengar kesakitan dan keluhan mereka. Target dan rencana pembangunan di  negeri ‘mutiara hitam’ ini seolah hanya menjadi penghibur bagi mereka yang memiliki harapan akan pembangunan itu di saat musim kampanye tiba. Seolah harapan itu akan segera terwujud, masyarakat kembali bersorak sorai mendukung dan mengamininya. Bukankah apa yang terjadi selama ini semacam ‘simulukrum’ dalam bahasanya Jean Budrillard. Riuh dan harapan kolektif yang hanya terjadi pada saat berkampanye, pasca momentum tersebut lewat kehidupan masyarakat kembali normal seperti biasanya. Sama-sama memikirkan, mau makan apa nantinya. Kesadaran kolektif seperti pada saat sebelumnya pecah menjadi kesadaran-kesadaran individu yang memikirkan nasibnya masing-masing. Itulah ‘simulukrum’. 

Belum lagi cerita-cerita masyarakat kita di perbatasan sana yang tinggal puluhan tahun tanpa fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Sebagai perbandingan, seorang pelancong yang sengaja mengunjungi masyarakat di perbatasan menemukan disparitas pembangunan yang terjadi antara masyarakat yang hidup di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Ceritanya, tentu pemerintah Malaysia lebih memperhatikan penduduknya yang tinggal di daerah perbatasan.  Mereka hidup lebih makmur. Sangat memprihatinkan. Lalu di manakah sensitifitas pemerintah itu kini?

Hilangnya sensitifitas masyarakat kita

Melihat kasus-kasus yang terjadi di NTB akhir-akhir ini, banyak perspektif dari berbagai tokoh dengan ‘alirannya’ masing-masing mencoba menerka dan menafsirkan berbagai kasus tersebut. Hingga sampai pada satu kesimpulan, ini merupakan kejadian yang sistematis direncanakan oleh orang-orang yang tentu ingin merusak kondusifitas NTB dan tidak ingin melihat geliat pariwisata NTB yang kini sedang menunjukkan grafik peningkatannya.

Berawal dari isu penculikan anak, beredaranya sms menyesatkan terkait isu penculikan anak yang menewaskan lima korban tak berdosa di beberapa tempat terpisah di daerah lombok (kediri Lobar, Jerowaru Pringgabaya Lotim) cukup membuat kita meradang. Pasalnya, sms yang disebarkan disinyalir dari Polres Mataram yang langsung saja diamini oleh warga dengan segera menyebarkan. Akhirnya korban tewas pun tak bisa dihindari oleh amukan warga yang merasa risau dengan isu tersebut. 

Tak cukup sampai disitu, kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya ‘cap’ daerah Bima sebagai sarang terosisme oleh Mabes Polri dan Densus 88 yang kemudian langsung menuai protes dari kalangan mahasiswa dan masyarakat. Imbasnya, jenazah yang dianggap sebagai terosis yang tewas dalam penggrebekan di Poso tersebut tidak diterima oleh warga untuk dimakamkan karena masyarakat tidak mau desa mereka dianggap sebagai sarang terosi. 

Setelah kasus Bima mereda, belum kering air mata NTB, Sumbawa pun rusuh dengan aksi pembakaran dan penjarahan memalukan yang dilakuakan oleh ratusan warga terhadap rumah dan kios warga Bali Hindu. Hal itu dipicu oleh kemastian Arniyati (23 tahun) mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Sumbawa yang meninggal pada Jumat 19 Januari 2013. Menurut versi warga, Arniyati meninggal akibat sang pacar menabrakkan diri setelah sebelumnya memperkosa Arniyati. Lain warga, lain pula versi kepolisian yang menyimpulkan bahwa Arniyati meninggal karena murni kecelakaan.

Satu catatan penting bagi kita, kenapa begitu cepatnya warga tersulut emosi oleh isu-isu yang belum jelas seperti itu? Apa yang terjadi dengan masyarakat kita sehingga nilai-nilai sensitifitas itu kian menghlinag dari jiwa kita? Sehingga dengan mudah saja, satu dua bahkan puluhan nyawa menjadi tumbal. Belum lagi bangunan fisik dan kerugian material yang diderita.

Iya, menghilangnya rasa sensitifitas sebagai bangsa yang bersaudara di tengah masyarakat kini menjadi penyebab hilangnya rasa kemanusiaan yang berujung pada adanya tindak kekerasan selama ini. Sensitifitas yang dulu menjadi suatu kekuatan melawan penjajah yang menzalimi bangsa ini. sensitifitas sebagai bangsa yang satu dan bersaudara meski berbeda-beda dulu menjadi modal dasar berperang dan membangun bangsa ini. kini, sensitifitas itu mulai luntur oleh ‘bisa’ jadi pemerintah sendiri sebagai orang tua yang tidak mampu menjadi pengayom bagi masyarakat sebagai anaknya. Begitu juga sebaliknya, sensitifitas yang sudah hilang di tengah masyarakat terhadap pemerintahnya. Jika kita setuju, maka bisa jadi sensitifitas antar masyarakat sebagai saudara (anak-anak dari pemerintah) hilang justeru karena hilangnya sensitifitas orang tua terhadap anak-anaknya.


BIODATA PENULIS
Nama              : Darsono Yusin Sali
Alamat            : jl. Panji Anom 1 no 2 kekalik indah
Pekerjaan       : sekretaris umum HMI Cabang Mataram
No hp/email    : 081805720322/ yusinpiero@gmail.com














Perihal              : Pengiriman Tulisan                          Mataram, 20 Pebruari 2013
Lampiran          : -
                 Kepada
     Yth. Bapak Pimpinan Redaksi Harian Suara NTB
     Di- Jalan Bangau No 15 Cakranegara
Dengan hormat
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                      : Darsono Yusin Sali
TTL                         : Darek, 27 Agustus 1989
Alamat                     : Jl. Panji Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan                : Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram
No hp                      : 081 805 720 322
Email                       : yusinpiero@gmail.com
Memohon kedapa Bapak untuk dapat menerbitkan tulisan saya yang berjudul “Hilangnya sensitifitas kemanusiaan kita” pada koran Harian Suara NTB yang Bapak pimpin.
Demikian saya sampaikan dengan harapan  Bapak dapat mengabulkannya. Atas perhatian Bapak terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis

Darsono Yusin Sali



Tidak ada komentar: