Oleh: Darsono Yusin Sali
(Sekretaris Umum HMI Cabang Mataram)
‘Penegakan
hukum’, itulah yang menjadi tantangan terberat bangsa sekarang ini dan di
masa-masa yang akan datang. Paling tidak itulah poin penting yang disampaikan
oleh ketua MK RI Prof. Dr. Muh. Mahfud MD, beberapa waktu lalu saat berkunjung
ke Mataram. Dalam kuliyah singkatnya dihadapan alumni HMI-KAHMI dan IKA UII,
Mahfud MD memaparkan panjang lebar arti kebangsaan dan visi keindonesiaan dan
keislaman kita.
Hilangnya
sensitivitas pemerintah kita
Jika kita
melihat acara-acara reality show yang banyak ditayangkan oleh televisi-televisi
kita hari ini, kadang saya merasa heran dibelahan bumi jawa bagian sana yang
terlihat dan sering kita persepsikan dengan kemakmuran dan kebisingan kota yang
makmur ternyata masih banyak yang jauh tertinggal. Iya, reality-reality show
yang kerapkali mengangkat tema-tema sosial seringkali mengangkat seting jawa
yang menceritakna tentang kemiskinan sebagian penduduknya yang amat memilukan.
Saya merasa sangat bersyukur menjadi orang lombok karena walaupun bagaimana menderitanya
hidup di sini, saya tidak pernah merasa separah mereka-mereka yang ditayangkan
hampir setiap hari itu. Ada yang makan sekali sehari, ada yang hidup tidak
punya rumah hanya bentangan-bentangan daun alang yang menutupi kala malam
menjemput atau paling tidak mereka tidur di emperan serta membangun ‘istana’ di
bawah terpaan banjir yang setiap hari menghantui di kolong jembatan. Saya
sangat bersyukur alam lombok telah memberikan sejuta karunianya buat kehidupan
kita di lombok.
Sesekali kita
juga sering diperlihatkan oleh suasana di mana hati terasa pilu dan menyayat
ketika di belahan bumi nusantara bagian timur sana ‘Papua’ banyak orang yang
masih makan nasi aking, memakai pakaian setengah telanjang (koteka) yang oleh
sebagian orang diafirmasi sebagai kearifan lokal local wisdom yang harus
diberdayakan dan dijaga kelestariannya. Padahal itu hanya akal-akalan
segelintir orang saja yang ingin meraup
keuntungan dari “derita” orang lain semata. “derita” karena mereka sengaja
dibiarkan tertinggal seperti itu, jauh dari kemajuan modern yang dibincangkan
sana-sini. Papau jika tidak kita sebut sebagai daerah tertinggal juga sangat miskin
jika dibandingkan dengan daerah nusantara lainnya. Pernahkah kita tahu bahwa
tingkat kemiskinan masyarakat Papua hampir sepuluh kali lipat tingkat
kemiskinan masyarakat di luar Papua. Jika ini tidak disebut sebagai pemiskinan
lalau apa?
Bayangkan saja,
di daerah penghasil emas terbesar di Indonesia dengan tambang emas Freeport
asal Amerika itu, infrastruktur jalan dan fasilitas publik serba sangat kurang.
Jika musim penghujan tiba sudah dipastikan jalanan menjadi becek dan kubangan
besar di sana-sini menganga lebar dan jika musim kemarau datang jalanan menjadi
berdebu. Tentu ini tidak sehat bagi pertumbuhan prekonomian di Papua. Itulah
ironi ketimpangan pembangunan kita jika dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya di belahan Indonesia bagian barat sana. Namun saya agak heran, kenapa
pemerintah dalam hal ini seolah menutup mata melihat persoalan yang hampir tiap
tahun disorot ini. Seoalah tidak punya telinga, mendengar kesakitan dan keluhan
mereka. Target dan rencana pembangunan di
negeri ‘mutiara hitam’ ini seolah hanya menjadi penghibur bagi mereka
yang memiliki harapan akan pembangunan itu di saat musim kampanye tiba. Seolah
harapan itu akan segera terwujud, masyarakat kembali bersorak sorai mendukung
dan mengamininya. Bukankah apa yang terjadi selama ini semacam ‘simulukrum’ dalam
bahasanya Jean Budrillard. Riuh dan harapan kolektif yang hanya terjadi pada
saat berkampanye, pasca momentum tersebut lewat kehidupan masyarakat kembali
normal seperti biasanya. Sama-sama memikirkan, mau makan apa nantinya.
Kesadaran kolektif seperti pada saat sebelumnya pecah menjadi
kesadaran-kesadaran individu yang memikirkan nasibnya masing-masing. Itulah
‘simulukrum’.
Belum lagi
cerita-cerita masyarakat kita di perbatasan sana yang tinggal puluhan tahun
tanpa fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Sebagai perbandingan, seorang
pelancong yang sengaja mengunjungi masyarakat di perbatasan menemukan
disparitas pembangunan yang terjadi antara masyarakat yang hidup di wilayah
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Ceritanya, tentu pemerintah Malaysia
lebih memperhatikan penduduknya yang tinggal di daerah perbatasan. Mereka hidup lebih makmur. Sangat
memprihatinkan. Lalu di manakah sensitifitas pemerintah itu kini?
Hilangnya
sensitifitas masyarakat kita
Melihat kasus-kasus
yang terjadi di NTB akhir-akhir ini, banyak perspektif dari berbagai tokoh
dengan ‘alirannya’ masing-masing mencoba menerka dan menafsirkan berbagai kasus
tersebut. Hingga sampai pada satu kesimpulan, ini merupakan kejadian yang
sistematis direncanakan oleh orang-orang yang tentu ingin merusak kondusifitas
NTB dan tidak ingin melihat geliat pariwisata NTB yang kini sedang menunjukkan
grafik peningkatannya.
Berawal dari isu
penculikan anak, beredaranya sms menyesatkan terkait isu penculikan anak yang
menewaskan lima korban tak berdosa di beberapa tempat terpisah di daerah lombok
(kediri Lobar, Jerowaru Pringgabaya Lotim) cukup membuat kita meradang.
Pasalnya, sms yang disebarkan disinyalir dari Polres Mataram yang langsung saja
diamini oleh warga dengan segera menyebarkan. Akhirnya korban tewas pun tak
bisa dihindari oleh amukan warga yang merasa risau dengan isu tersebut.
Tak cukup sampai
disitu, kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya ‘cap’ daerah Bima sebagai
sarang terosisme oleh Mabes Polri dan Densus 88 yang kemudian langsung menuai
protes dari kalangan mahasiswa dan masyarakat. Imbasnya, jenazah yang dianggap
sebagai terosis yang tewas dalam penggrebekan di Poso tersebut tidak diterima oleh
warga untuk dimakamkan karena masyarakat tidak mau desa mereka dianggap sebagai
sarang terosi.
Setelah kasus Bima
mereda, belum kering air mata NTB, Sumbawa pun rusuh dengan aksi pembakaran dan
penjarahan memalukan yang dilakuakan oleh ratusan warga terhadap rumah dan kios
warga Bali Hindu. Hal itu dipicu oleh kemastian Arniyati (23 tahun) mahasiswi
salah satu perguruan tinggi di Sumbawa yang meninggal pada Jumat 19 Januari 2013.
Menurut versi warga, Arniyati meninggal akibat sang pacar menabrakkan diri
setelah sebelumnya memperkosa Arniyati. Lain warga, lain pula versi kepolisian yang
menyimpulkan bahwa Arniyati meninggal karena murni kecelakaan.
Satu catatan penting
bagi kita, kenapa begitu cepatnya warga tersulut emosi oleh isu-isu yang belum
jelas seperti itu? Apa yang terjadi dengan masyarakat kita sehingga nilai-nilai
sensitifitas itu kian menghlinag dari jiwa kita? Sehingga dengan mudah saja,
satu dua bahkan puluhan nyawa menjadi tumbal. Belum lagi bangunan fisik dan
kerugian material yang diderita.
Iya,
menghilangnya rasa sensitifitas sebagai bangsa yang bersaudara di tengah
masyarakat kini menjadi penyebab hilangnya rasa kemanusiaan yang berujung pada
adanya tindak kekerasan selama ini. Sensitifitas yang dulu menjadi suatu
kekuatan melawan penjajah yang menzalimi bangsa ini. sensitifitas sebagai
bangsa yang satu dan bersaudara meski berbeda-beda dulu menjadi modal dasar
berperang dan membangun bangsa ini. kini, sensitifitas itu mulai luntur oleh ‘bisa’
jadi pemerintah sendiri sebagai orang tua yang tidak mampu menjadi pengayom
bagi masyarakat sebagai anaknya. Begitu juga sebaliknya, sensitifitas yang
sudah hilang di tengah masyarakat terhadap pemerintahnya. Jika kita setuju,
maka bisa jadi sensitifitas antar masyarakat sebagai saudara (anak-anak dari
pemerintah) hilang justeru karena hilangnya sensitifitas orang tua terhadap
anak-anaknya.
BIODATA PENULIS
Nama : Darsono
Yusin Sali
Alamat : jl. Panji
Anom 1 no 2 kekalik indah
Pekerjaan : sekretaris
umum HMI Cabang Mataram
Perihal : Pengiriman Tulisan Mataram, 20 Pebruari
2013
Lampiran : -
Kepada
Yth. Bapak Pimpinan Redaksi Harian Suara NTB
Di-
Jalan Bangau No 15 Cakranegara
Dengan hormat
Saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Darsono
Yusin Sali
TTL : Darek,
27 Agustus 1989
Alamat : Jl. Panji
Anom 1 No 2 Kekalik Indah Mataram
Pekerjaan : Sekretaris
Umum HMI Cabang Mataram
No hp : 081 805
720 322
Email : yusinpiero@gmail.com
Memohon kedapa Bapak
untuk dapat menerbitkan tulisan saya yang berjudul “Hilangnya sensitifitas kemanusiaan kita” pada koran Harian Suara NTB yang Bapak pimpin.
Demikian saya sampaikan
dengan harapan Bapak dapat
mengabulkannya. Atas perhatian Bapak terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis
Darsono
Yusin Sali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar