Satu
episode demokrasi yang sudah ajeg dilaksanakan dan pada saat-saat tertentu
dianggap menjadi sesuatu yang ‘wajib’ pada momentum kontestasi pemilihan dangan
segala skupnya baik pada Pilpres, Pilkada, sampai Pilkades sekalipun ialah
perlunya mencitrakan, atau juga kadang ‘menceritakan’, siapa dirinya ke
khalayak guna mencapai suatu kemenangan pada momentum kontestasi tersebut. Atau
bagi kandidat yang mempunyai predikat incumben, pencitraan yang dibangun ialah
dalam rangka ‘menceritakan’ ulang berbagai episode keberhasilan selama ia
memimpin.
Nampaknya
tidak lengkap, kalau para calon/kandidat tidak mengiringi keikutsertaan mereka
pada momentum politik tersebut jika tidak ‘membuat’ diri mereka dicitrakan
sebagai sosok yang memiliki sensitifitas tinggi dan peduli terhadap rakyat
dengan segala kemampuan serta kesegalaannya, supaya mereka dipilih. Tidak
jarang, pada epik pencitraan ini, para kandidiat berani jor-joran menghabiskan
banyak modal untuk membuat cerita melalui pencitraan tersebut sebaik dan seapik
mungkin.
Tujuannya
hanya satu, merebut hati ‘pemirsa’ (masyarakat) yang menonton lakon cerita yang
dicitrakan tersebut, dengan berbagai episode untuk menaikkan tingkat ratting (elektabilitas) para kandidat di
hati pemirsanya. Tentunya, peran sang sutradara dalam cerita tersebut memiliki
peran yang sangat penting. Sutradara dengan berbagai keahlian dan strateginya,
mampu membuat para pemainnya yang acapkali tampil pas-pasan dan serba praktis
menjadi pemain yang tiba-tiba tampil hebat dan seketika melekat di hati para
penontonnya.
Biasanya,
sutradara untuk momentum kontestasi tersebut berasal dari unsur akademisi yang
memang memahami dan mempunyai kualitas akademis yang mumpuni atau bisa juga
berasal dari konsultan-konsultan untuk kebijakan publik. Menjelang momentum
politik seperti pilkada, mereka diburu atau menawarkan diri, kalau tidak
menjadi sutradara, bisa di tempatkan menjadi produser, pengisi suara, atau
bahkan menjadi figura dan pastinya, lakon-lakon seperti itu laris manis, mengingat
bayarannya yang tinggi.
Jika
deal-dealan sudah tercapai antara sutradara dengan para pemainnya, biasanya
sang sutradara lalu memainkan perannya menyutradai para pemainnya sesuai dengan
tuntutan kebutuhan para penonton yang kadang memiliki selera yang sangat
dinamis. Kedinamisan selera penonton (masyarakat) jika tidak sengaja dibuat
oleh sang sutradara sebagai salah satu alur cerita filmnya, juga dibentuk oleh
ke-ngetren-an berbagai jenis
perfilman nasional bergenre politik yang populer di masyarakat kita sekarang.
Akibatnya, perfilman politik lokal kita pun seakan latah mengikuti tren perfilman politik nasional yang
terlampau mengatraksi di Negara kita ini.
Tengok
saja beberapa film politik nasional yang sekarang ini sering diputar di
bioskop-bioskop bernama televisi atau media-media yang mempunyai kepentingan
serupa. Sebut saja film Muhammad Nazarudin yang sempat menaiki ratting tertinggi untuk film politik
nasional bergenre korupsi. Mengambil setting film ke berbagai Negara membuat
film ini laku keras. Beberapa lama setelah itu, disusul oleh film dengan genre
serupa yang diperankan oleh Anggelina Sondakh, Andi Malarangeng, Anas
Urbaningrum, dan yang teranyar oleh Lutfi Hasan Ishak (LHI) yang turut
meramaikan kancah perfilman politik nasional kita untuk genre yang sama. Itulah
beberapa potret dunia perfilman politik di Negara kita.
Memahami Selera ‘Penonton’
Harus
diakui oleh para kandidat/calon bahwa jenis ‘penonton’ (masyarakat/konstituen)
kita sangat beragam. Keragaman itulah yang menyebabkan mereka berbeda dalam
soal pilih-memilih. Singkatnya, mereka memilih tontonan politik sesuai dengan
selera dan kecenderungannya. Biasanya, jenis selera dan kecenderungan si
penonton muncul dari latar belakang pendidikan, umur, tempat tinggal
(geografis), budaya dan berbagai kategori lainnya. Sehingga tidak jarang, para pengamat
politik mengelompokkan para penonton ini ke dalam dua jenis; pemilih kota
dengan tingkat rasionalitasnya dan pemilih desa dengan sifat tradisionalnya.
Artinya, tontonan politik dengan berbagai citranya, disuguhkan biasanya sesuai
dengan kategori di atas. Atau bisa juga dengan kategori berdasarkan jenis umur,
yaitu pemilih pemula (pemuda) dan pemilih tua. Tentu akan melahirkan pilihan
tontonan yang berbeda pula.
Ketertarikan
pemilih kota dengan sifat rasionalitasnya terkadang terletak pada aspek
intelektualitas si pemain (calon/kandidat) sendiri. Karakter individu si calon
akan menjadi penilaian standar bagi para pemilih kota yang notabenenya di huni
oleh kalangan menengah-atas, baik dari sisi pendidikan dan ekonomi. Sehingga
demikian, untuk menyasar pemilih kota ini, sutradara dan para pemainnya, hanya
butuh strategi untuk memastikan bahwa visi misi mereka bisa sampai ke
konstituen.
Pencitraan
dengan sifatnya yang ‘polisemik’ ala Roland Barthes dalam konteks pemilih
kelas perkotaan seperti ini, nampaknya tidak akan efektif untuk dilakukan oleh
sutradara dan para pemainnya. Karena sesuai dengan sifat rasionalitasnya,
pencitraan yang terlampau berlebihan (yang memang sudah menjadi cirinya) akan
menjadi terlihat tidak rasional. Terlebih lagi, jenis pencitraan yang
dimainkan, melampaui karakter asli si pemain itu sendiri. Alhasil, bukannya
dukungan yang diperoleh, melainkan menjadi bahan tertawaan para penonton maupun
kandidat lainnya yang sesungguhnya telah mengetahui karekter asli pemain
tersebut yang justeru berbeda dengan pencitraan yang diperankannya.
Strategi
pencitraan (membangun image) ini akan
terlihat lebih efektif jika diterapkan pada konstituen kelas pedesaan yang terlihat
sangat ‘tradisional’. Hal itu bisa terlihat dari rata-rata ‘pendidikan’ dalam pengertian
akademik mereka yang tidak terlampau tinggi. Biasanya untuk pemilih dengan
kategori seperti ini, sang sutradara akan memoles para pemainnya sebaik
mungkin, meski nantinya, citra image
yang digambarkan masih ‘mengapung’ tidak sesuai dengan karakter asli si pemain
dalam lakon sehari-harinya.
Tentu,
kesulitan yang dihadapi oleh para pemain ialah mereka harus bekerja keras,
memeras keringat untuk belajar memainkan peran baru yang diminta oleh sang
sutradara demi kesempurnaan perannya berdasarkan analisis kebutuhan para
penonton. Mereka harus belajar beradaptasi dengan peran baru yang dicitrakan
tersebut. Namun tidak dengan pemain (kandidat/calon) yang memang sebelumnya
sudah memiliki karakter asli sebagaimana peran yang dicitrakan tersebut. Tentu
bagi mereka yang telah secara alami tidak akan kesulitan menemukan peran yang
ingin dicitrakan tersebut. Begitu juga sang sutradara, tidak akan terlalu sulit
memoles para pemainnya.
Tengok saja beberapa contoh perfilman politik
lokal ala ibu kota yang mengahadirkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemeran
utamanya. Dengan tampilan ‘culun’ non birokratisnya yang sebenarnya itulah
karakter asli Jokowi telah berhasil merebut hati warga Jakarta, meski Jokowi sendiri
seorang perantau (sebelumnya walikota Solo) yang mencoba ikut casting mengadu nasib menjadi ‘artis’
pendatang baru yang diselenggarakan oleh KPU, dan seperti yang kita ketahui, Jokowi
bersama teman duetnya, Basuki Tjahya Purnama (Ahok) pun laku keras di pasaran.
Tidak hanya di pasaran lokal seperti ibu kota, tetapi juga laku di pasaran
perfilman politik nasional. Lihat saja hasil survei dari beberapa lembaga
survei yang menempatkan Jokowi sebagai tokoh paling populer dan mempunyai
elektabilitas tinggi jauh di bawah tokoh-tokoh politik lainnya.
Seperti yang dilansir Soegeng Sarjadi School of Goverment (SSSG)
menyimpulkan Jokowi sebagai tokoh terpopuler di tahun 2013. Kesimpulan ini ditarik
berdasarkan survei yang mereka gelar pada kurun waktu 3 - 22 Juni 2013. Jokowi meraih
angka popularitas sebesar 25,48 persen Jauh di bawah Prabowo Subianto 10,52
persen, Jusuf Kalla 5,69 persen, Aburizal, Bakrie 4,23 persen, Dahlan Iskan
4,14, Mahfud MD 2,72 persen, Megawati Soekarnoputri 2,68 persen, Wiranto 1,18
persen. Sementara itu, Indonesia Research Centre (IRC) menemukan, jika pemilihan
Presiden digelar hari ini, 32 persen responden memilih Jokowi. Setelah
Jokowi ada Prabowo (8,2%), Wiranto (6,8%), Megawati (6,1%) yang dipilih
sebagai presiden. Sementara Aburizal Bakrie hanya dipilih oleh 3,3 persen
masyarakat (Viva News.com, 5/8/13 ).
Dari
serangkaian cerita yang coba dicitrakan oleh para pemain tersebut, tentu
penonton dengan segala kategorinya akan memilih film yang diperankan oleh
pemain yang memiliki penampilan bagus dalam bermain. Bisa dalam bentuk keaslian
maupun kealamian peran yang dilakoni. Penonton tentu tidak ingin menyaksikan
film yang dimainkan dengan persiapan para pemain yang tidak matang yang
berakibat pada buruknya penampilan pemain sendiri. Yang diinginkan tentunya
ialah menikmati film yang bagus dengan kesiapan yang matang dari semua pihak
lebih-lebih para pemainnya. Sehingga itulah yang akan menghasilkan film yang
berkualitas dan bermutu.
Kesiapan
mereka supaya matang tentu tidak berjalan instan ketika ada casting yang diselenggarakan oleh KPU
untuk waktu yang sangat periodik semata. Namun yang terpenting ialah belajar
memainkan peran secara alami dalam kehidupan sehari-hari di luar casting-casting yang diselenggarakan
oleh KPU yang acapkali selalu salah dalam proses rekrutmen para pemain.
Penonton sudah tidak mau lagi menyaksikan suguhan-suguhan film yang keseluruhan
para pemainnya mbalelo yang berakibat
pada hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga perfilman yang bernama
partai politik itu. Oleh karena itu, penting diingat oleh para kandidat/calon,
bahwa membangun citra dalam arti sikap, gagasan, ide, etika dan lain sebagainya
harus dilakukan setiap hari dan akan menjadi karakter kesehariannya, tidak bisa
instan pada saat ada momentum politik tertentu jika tidak ingin ditinggalkan
oleh masyarakat (pemilih). Wallahua’lam
bisshawab
.
Darek, 4/8/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar