KANGGOK'M TADAHN ?

Senin, 19 Agustus 2013

Membangun Citra Politik yang Sehat




Satu episode demokrasi yang sudah ajeg dilaksanakan dan pada saat-saat tertentu dianggap menjadi sesuatu yang ‘wajib’ pada momentum kontestasi pemilihan dangan segala skupnya baik pada Pilpres, Pilkada, sampai Pilkades sekalipun ialah perlunya mencitrakan, atau juga kadang ‘menceritakan’, siapa dirinya ke khalayak guna mencapai suatu kemenangan pada momentum kontestasi tersebut. Atau bagi kandidat yang mempunyai predikat incumben, pencitraan yang dibangun ialah dalam rangka ‘menceritakan’ ulang berbagai episode keberhasilan selama ia memimpin.

Nampaknya tidak lengkap, kalau para calon/kandidat tidak mengiringi keikutsertaan mereka pada momentum politik tersebut jika tidak ‘membuat’ diri mereka dicitrakan sebagai sosok yang memiliki sensitifitas tinggi dan peduli terhadap rakyat dengan segala kemampuan serta kesegalaannya, supaya mereka dipilih. Tidak jarang, pada epik pencitraan ini, para kandidiat berani jor-joran menghabiskan banyak modal untuk membuat cerita melalui pencitraan tersebut sebaik dan seapik mungkin.

Tujuannya hanya satu, merebut hati ‘pemirsa’ (masyarakat) yang menonton lakon cerita yang dicitrakan tersebut, dengan berbagai episode untuk menaikkan tingkat ratting (elektabilitas) para kandidat di hati pemirsanya. Tentunya, peran sang sutradara dalam cerita tersebut memiliki peran yang sangat penting. Sutradara dengan berbagai keahlian dan strateginya, mampu membuat para pemainnya yang acapkali tampil pas-pasan dan serba praktis menjadi pemain yang tiba-tiba tampil hebat dan seketika melekat di hati para penontonnya.

Biasanya, sutradara untuk momentum kontestasi tersebut berasal dari unsur akademisi yang memang memahami dan mempunyai kualitas akademis yang mumpuni atau bisa juga berasal dari konsultan-konsultan untuk kebijakan publik. Menjelang momentum politik seperti pilkada, mereka diburu atau menawarkan diri, kalau tidak menjadi sutradara, bisa di tempatkan menjadi produser, pengisi suara, atau bahkan menjadi figura dan pastinya, lakon-lakon seperti itu laris manis, mengingat bayarannya yang tinggi.
Jika deal-dealan sudah tercapai antara sutradara dengan para pemainnya, biasanya sang sutradara lalu memainkan perannya menyutradai para pemainnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan para penonton yang kadang memiliki selera yang sangat dinamis. Kedinamisan selera penonton (masyarakat) jika tidak sengaja dibuat oleh sang sutradara sebagai salah satu alur cerita filmnya, juga dibentuk oleh ke-ngetren-an berbagai jenis perfilman nasional bergenre politik yang populer di masyarakat kita sekarang. Akibatnya, perfilman politik lokal kita pun seakan latah mengikuti tren perfilman politik nasional yang terlampau mengatraksi di Negara kita ini.

Tengok saja beberapa film politik nasional yang sekarang ini sering diputar di bioskop-bioskop bernama televisi atau media-media yang mempunyai kepentingan serupa. Sebut saja film Muhammad Nazarudin yang sempat menaiki ratting tertinggi untuk film politik nasional bergenre korupsi. Mengambil setting film ke berbagai Negara membuat film ini laku keras. Beberapa lama setelah itu, disusul oleh film dengan genre serupa yang diperankan oleh Anggelina Sondakh, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, dan yang teranyar oleh Lutfi Hasan Ishak (LHI) yang turut meramaikan kancah perfilman politik nasional kita untuk genre yang sama. Itulah beberapa potret dunia perfilman politik di Negara kita.

Memahami Selera ‘Penonton’
Harus diakui oleh para kandidat/calon bahwa jenis ‘penonton’ (masyarakat/konstituen) kita sangat beragam. Keragaman itulah yang menyebabkan mereka berbeda dalam soal pilih-memilih. Singkatnya, mereka memilih tontonan politik sesuai dengan selera dan kecenderungannya. Biasanya, jenis selera dan kecenderungan si penonton muncul dari latar belakang pendidikan, umur, tempat tinggal (geografis), budaya dan berbagai kategori lainnya. Sehingga tidak jarang, para pengamat politik mengelompokkan para penonton ini ke dalam dua jenis; pemilih kota dengan tingkat rasionalitasnya dan pemilih desa dengan sifat tradisionalnya. Artinya, tontonan politik dengan berbagai citranya, disuguhkan biasanya sesuai dengan kategori di atas. Atau bisa juga dengan kategori berdasarkan jenis umur, yaitu pemilih pemula (pemuda) dan pemilih tua. Tentu akan melahirkan pilihan tontonan yang berbeda pula.
Ketertarikan pemilih kota dengan sifat rasionalitasnya terkadang terletak pada aspek intelektualitas si pemain (calon/kandidat) sendiri. Karakter individu si calon akan menjadi penilaian standar bagi para pemilih kota yang notabenenya di huni oleh kalangan menengah-atas, baik dari sisi pendidikan dan ekonomi. Sehingga demikian, untuk menyasar pemilih kota ini, sutradara dan para pemainnya, hanya butuh strategi untuk memastikan bahwa visi misi mereka bisa sampai ke konstituen.

Pencitraan dengan sifatnya yang ‘polisemik’ ala Roland Barthes dalam konteks pemilih kelas perkotaan seperti ini, nampaknya tidak akan efektif untuk dilakukan oleh sutradara dan para pemainnya. Karena sesuai dengan sifat rasionalitasnya, pencitraan yang terlampau berlebihan (yang memang sudah menjadi cirinya) akan menjadi terlihat tidak rasional. Terlebih lagi, jenis pencitraan yang dimainkan, melampaui karakter asli si pemain itu sendiri. Alhasil, bukannya dukungan yang diperoleh, melainkan menjadi bahan tertawaan para penonton maupun kandidat lainnya yang sesungguhnya telah mengetahui karekter asli pemain tersebut yang justeru berbeda dengan pencitraan yang diperankannya.

Strategi pencitraan (membangun image) ini akan terlihat lebih efektif jika diterapkan pada konstituen kelas pedesaan yang terlihat sangat ‘tradisional’. Hal itu bisa terlihat dari rata-rata ‘pendidikan’ dalam pengertian akademik mereka yang tidak terlampau tinggi. Biasanya untuk pemilih dengan kategori seperti ini, sang sutradara akan memoles para pemainnya sebaik mungkin, meski nantinya, citra image yang digambarkan masih ‘mengapung’ tidak sesuai dengan karakter asli si pemain dalam lakon sehari-harinya.
Tentu, kesulitan yang dihadapi oleh para pemain ialah mereka harus bekerja keras, memeras keringat untuk belajar memainkan peran baru yang diminta oleh sang sutradara demi kesempurnaan perannya berdasarkan analisis kebutuhan para penonton. Mereka harus belajar beradaptasi dengan peran baru yang dicitrakan tersebut. Namun tidak dengan pemain (kandidat/calon) yang memang sebelumnya sudah memiliki karakter asli sebagaimana peran yang dicitrakan tersebut. Tentu bagi mereka yang telah secara alami tidak akan kesulitan menemukan peran yang ingin dicitrakan tersebut. Begitu juga sang sutradara, tidak akan terlalu sulit memoles para pemainnya.

 Tengok saja beberapa contoh perfilman politik lokal ala ibu kota yang mengahadirkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemeran utamanya. Dengan tampilan ‘culun’ non birokratisnya yang sebenarnya itulah karakter asli Jokowi telah berhasil merebut hati warga Jakarta, meski Jokowi sendiri seorang perantau (sebelumnya walikota Solo) yang mencoba ikut casting mengadu nasib menjadi ‘artis’ pendatang baru yang diselenggarakan oleh KPU, dan seperti yang kita ketahui, Jokowi bersama teman duetnya, Basuki Tjahya Purnama (Ahok) pun laku keras di pasaran. Tidak hanya di pasaran lokal seperti ibu kota, tetapi juga laku di pasaran perfilman politik nasional. Lihat saja hasil survei dari beberapa lembaga survei yang menempatkan Jokowi sebagai tokoh paling populer dan mempunyai elektabilitas tinggi jauh di bawah tokoh-tokoh politik lainnya.

Seperti yang dilansir Soegeng Sarjadi School of Goverment (SSSG) menyimpulkan Jokowi sebagai tokoh terpopuler di tahun 2013. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan survei yang mereka gelar pada kurun waktu 3 - 22 Juni 2013. Jokowi meraih angka popularitas sebesar 25,48 persen Jauh di bawah Prabowo Subianto 10,52 persen, Jusuf Kalla 5,69 persen, Aburizal, Bakrie 4,23 persen, Dahlan Iskan 4,14, Mahfud MD 2,72 persen, Megawati Soekarnoputri 2,68 persen, Wiranto 1,18 persen. Sementara itu, Indonesia Research Centre (IRC) menemukan, jika pemilihan Presiden digelar hari ini, 32 persen responden memilih Jokowi. Setelah Jokowi ada Prabowo (8,2%), Wiranto (6,8%), Megawati (6,1%) yang dipilih sebagai presiden. Sementara Aburizal Bakrie hanya dipilih oleh 3,3 persen masyarakat (Viva News.com, 5/8/13 ).
Dari serangkaian cerita yang coba dicitrakan oleh para pemain tersebut, tentu penonton dengan segala kategorinya akan memilih film yang diperankan oleh pemain yang memiliki penampilan bagus dalam bermain. Bisa dalam bentuk keaslian maupun kealamian peran yang dilakoni. Penonton tentu tidak ingin menyaksikan film yang dimainkan dengan persiapan para pemain yang tidak matang yang berakibat pada buruknya penampilan pemain sendiri. Yang diinginkan tentunya ialah menikmati film yang bagus dengan kesiapan yang matang dari semua pihak lebih-lebih para pemainnya. Sehingga itulah yang akan menghasilkan film yang berkualitas dan bermutu.

Kesiapan mereka supaya matang tentu tidak berjalan instan ketika ada casting yang diselenggarakan oleh KPU untuk waktu yang sangat periodik semata. Namun yang terpenting ialah belajar memainkan peran secara alami dalam kehidupan sehari-hari di luar casting-casting yang diselenggarakan oleh KPU yang acapkali selalu salah dalam proses rekrutmen para pemain. Penonton sudah tidak mau lagi menyaksikan suguhan-suguhan film yang keseluruhan para pemainnya mbalelo yang berakibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga perfilman yang bernama partai politik itu. Oleh karena itu, penting diingat oleh para kandidat/calon, bahwa membangun citra dalam arti sikap, gagasan, ide, etika dan lain sebagainya harus dilakukan setiap hari dan akan menjadi karakter kesehariannya, tidak bisa instan pada saat ada momentum politik tertentu jika tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat (pemilih). Wallahua’lam bisshawab




 Darek, 4/8/13

Tidak ada komentar: