KANGGOK'M TADAHN ?

Senin, 30 September 2013

Kota Mataram Tertinggi untuk Kemudahan Akses Informasi


Mataram (Suara NTB)
Sebagai salah satu prasyarat tegaknya iklim berdemokrasi di Negara kita, prinsip keterbukaan menjadi suatu prinsip yang wajib ada di suatu pemerintahan guna tercapainya iklim pemerintahan yang sehat. Salah satunya ialah soal keterbukaan anggaran. Transparansi anggaran ini merupakan instrumen politik utama bagi eksekutif sebagai tanggung jawabnya dalam memimpin negara. Karena anggaran merupakan dokumen yang akan mempengaruhi masyarakat, maka keberadaannya harus diketahui masyarakat. Evaluasi terhadap aksesibilitas dokumen-dokumen publik harus selalu dilakukan untuk memastikan hak masyarakat atas informasi terpenuhi, dan dokumen anggaran hanyalah salah satu dari sekian banyak dokumen publik yang harus dipublikasikan.
Maka atas dasar itulah serta untuk mengevaluasi transparansi dokumen anggaran daerah, sejak September 2012 sampai Februari 2013 yang lalu Seknas FITRA bersama dengan jaringannya yang ada di Provinsi NTB, Riau, Jawa Timur, Sulawesi dan Kalimantan Timur, telah melakukan survey keterbukaan anggaran atau The Sub National Open Budget Survey (OBS) di 12 wilayah (provinsi dan kabupaten).  Wilayah survey untuk provinsi NTB, FITRA NTB melakukanya di 3 wilayah yaitu Provinsi NTB, Kota Mataram dan Kab. Lombok Utara.
Open Budget Survey (OBS) menggunakan questioner yang mendetail, Fokus utama dari kuesioner ini adalah empat bagian, yang menjadi metode utama komunikasi informasi ke anggaran di setiap tahap siklus anggaran. Keempat dokumen tersebut adalah : (1)ketersedian Dokumen anggaran; (2) Proses Perencanaan anggaran; (3) Pelaksanaan Anggaran; (4) Laporan Tahunan dan Laporan Audit atas laporan akhir. Sedangkan bentuk pertanyaannya sendiri difokuskan pada ketepatan waktu publikasi dokumen-dokumen ini, jenis informasi, isi dari dokumen, kualitas mekanisme diseminasi, dan kualitas ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan mengawasi dokumen-dokumen tersebut. Untuk memperdalam analisis mengenai pelayanan publik serta pengadaan barang dan jasa, ketersediaan informasi untuk prosesnya juga akan diteliti.
Dari hasil SNOBS, tim dapat melihat betapa sulit bagi masyarakat sipil untuk memperoleh akses informasi yang mereka perlukan. Paradigma klasik kerahasiaan masih dipercayai oleh banyak pegawai pemerintah daerah. Dengan nilai rata-rata 24 dari 100, sangat sulit rasanya mengubah cara pandang seperti ini dalam waktu singkat. Sebagian besar kebijakan menyangkut transparansi dan akuntabilitas telah diatur oleh Pemerintah Pusat. Namun pemerintah daerah tidak dapat mematuhi aturan ini. Ini dibuktikan dengan hasil nilai yang diperoleh selama survei. Walaupun demikian, masih ada pula wilayah yang memiliki angka relatif tinggi. Ini berarti peningkatan di level pemerintah daerah walaupun lamban, namun masih terjadi.
Di tiga wilayah hasil peneltian FITRA NTB menemukan bahwa kota Mataram menjadi daerah dengan tingkat transparansi yang cukup baik untuk kemudahan publik dalam mengakses informasi anggaran, meskipun kota Mataram saat ini belum mempunyai infrastruktur pendukung akses keterbukaan informasi publik (PPID) yaitu mampu mencapai skor 51 dibandingkan dengan 13 provinsi, kota dan kab lainnya. Dibandingkan dengan kota Mataram, Provinsi NTB menempati peringkat  ke 3 dengan skor 36, diatas kota Samarinda dengan skor 42. Untuk level provinsi, Provinsi NTB memiliki nilai tertinggi dengan skor 36 jika dibandingkan dengan propinsi lain seperti Provinsi Riau skor 35,  Jatim 20, Kaltim 15. Sedang untuk 3 wilayah (Provinsi NTB, Kota Mataram dan KLU) Kota mataram memiliki nilai tertinggi dengan skor 51, sedangkan Provinsi NTB hanya 36 dan KLU 17). Hal ini agak janggal karena kota Mataram sendiri belum memiliki infrastrukur (PPID),  sedangkan provinsi NTB sudah memiliki 45 PPID SKPD dan PPID Prov,  KLU 9 PPID SKPD dan PPID kabupaten, ungkap Koordinator Divisi Riset FITRA NTB Madiana, S.Pd kemarin (30/9). Sehingga katanya, Mataram akan memiliki perkembangan yang lebih bagus lagi dibandingkan dengan provinsi jika sudah memiliki PPID, “jadi fokus kota Mataram di tahun 2013 ini harus segera membuat PPID” terang Madiana.
Selain itu, Kota Mataram juga meraih nilai tertinggi untuk sistem keterbukaan pengadaan barang dan jasa dengan skor 100% dibandingkan dengan Provinsi NTB sebesar 67% dan 44% untuk KLU. Tingginya nilai tersebut disebabkan oleh Kota Mataram mempublikasikan RPBJ yang terkonsolidasi disatu tempat untuk semua dinas, sementara Prov NTB, dan KLU tidak mempublikasikan RPBJ tahunan. Selain itu Kota Mataram mengumumkan tender secara terbuka melalui website.
Sementara itu, Ervin Kaffah mengatakan bahwa meskipun pemerintah provinsi NTB sudah mempunyai infrastruktur (PPID) untuk memudahkan publik dalam mengakses keterbukaan informasi publik, justeru tingkat kemudahan publik dalam mendapatkan akses informasi sangat buruk dan sulit. Salah satu penyebabnya ialah karena jajaran SKPD lingkup pemerintah provinsi NTB belum mampu menerjemahkan keinginan pimpinannya. Selain itu, meskipun pemerintah provinsi NTB sudah memiliki PPID sebagai infrastruktur pendukung keterbukaan informasi publik namun hal itu ternyata tidak memiliki korelasi dengan sifat keterbukaan para pimpinan SKPD lingkup pemprov NTB.
Lebih lanjut, Ervin Kaffah menambahkan bahwa penyebab rendahnya aksesibilitas di lingkup pemerintah provinsi NTB ialah akibat dari proses pergantian pejabat setiap tahunnya. “ketika ada perpindahan pejabat, maka kebijakan pejabat juga ikut berganti” terangnya.
Kedepan pihaknya berharap agar pemerintah lebih transparan lagi agar masyarakat bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi. Selain itu, UU KIP seharusnya bisa memudahkan proses permintaan informasi. Sayangnya, Komisi Informasi masih belum berani untuk menentukan dengan pasti dokumen yang harus dibuka, tidak hanya ‘informasi’. (dys)




Tidak ada komentar: