Mataram (Suara
NTB)
Sebagai salah satu prasyarat tegaknya iklim
berdemokrasi di Negara kita, prinsip keterbukaan menjadi suatu prinsip yang
wajib ada di suatu pemerintahan guna tercapainya iklim pemerintahan yang sehat.
Salah satunya ialah soal keterbukaan anggaran. Transparansi anggaran ini
merupakan instrumen politik utama bagi eksekutif sebagai tanggung jawabnya
dalam memimpin negara. Karena anggaran merupakan dokumen yang akan mempengaruhi
masyarakat, maka keberadaannya harus diketahui masyarakat. Evaluasi terhadap
aksesibilitas dokumen-dokumen publik harus selalu dilakukan untuk memastikan
hak masyarakat atas informasi terpenuhi, dan dokumen anggaran hanyalah salah
satu dari sekian banyak dokumen publik yang harus dipublikasikan.
Maka
atas dasar itulah serta untuk mengevaluasi transparansi dokumen anggaran daerah,
sejak September 2012 sampai Februari 2013 yang lalu Seknas FITRA bersama dengan
jaringannya yang ada di Provinsi NTB, Riau, Jawa Timur, Sulawesi dan Kalimantan
Timur, telah melakukan survey keterbukaan anggaran atau The
Sub National Open Budget Survey (OBS) di 12 wilayah (provinsi dan
kabupaten). Wilayah survey untuk
provinsi NTB, FITRA NTB melakukanya di 3 wilayah yaitu Provinsi NTB, Kota
Mataram dan Kab. Lombok Utara.
Open
Budget Survey (OBS) menggunakan questioner yang mendetail, Fokus utama dari
kuesioner ini adalah empat bagian, yang menjadi metode utama komunikasi
informasi ke anggaran di setiap tahap siklus anggaran. Keempat dokumen tersebut
adalah : (1)ketersedian Dokumen anggaran; (2) Proses Perencanaan anggaran; (3)
Pelaksanaan Anggaran; (4) Laporan Tahunan dan Laporan Audit atas laporan akhir.
Sedangkan bentuk pertanyaannya sendiri difokuskan pada ketepatan waktu
publikasi dokumen-dokumen ini, jenis informasi, isi dari dokumen, kualitas
mekanisme diseminasi, dan kualitas ruang bagi masyarakat untuk memberikan
masukan dan mengawasi dokumen-dokumen tersebut. Untuk memperdalam analisis
mengenai pelayanan publik serta pengadaan barang dan jasa, ketersediaan
informasi untuk prosesnya juga akan diteliti.
Dari hasil SNOBS, tim dapat melihat betapa
sulit bagi masyarakat sipil untuk memperoleh akses informasi yang mereka
perlukan. Paradigma klasik kerahasiaan masih dipercayai oleh banyak pegawai
pemerintah daerah. Dengan nilai rata-rata 24 dari 100, sangat sulit rasanya
mengubah cara pandang seperti ini dalam waktu singkat. Sebagian besar kebijakan
menyangkut transparansi dan akuntabilitas telah diatur oleh Pemerintah Pusat.
Namun pemerintah daerah tidak dapat mematuhi aturan ini. Ini dibuktikan dengan
hasil nilai yang diperoleh selama survei. Walaupun demikian, masih ada pula wilayah
yang memiliki angka relatif tinggi. Ini berarti peningkatan di level pemerintah
daerah walaupun lamban, namun masih terjadi.
Di tiga wilayah hasil peneltian
FITRA NTB menemukan bahwa kota Mataram menjadi daerah dengan tingkat
transparansi yang cukup baik untuk kemudahan publik dalam mengakses informasi
anggaran, meskipun kota Mataram saat ini belum mempunyai infrastruktur
pendukung akses keterbukaan informasi publik (PPID) yaitu mampu mencapai skor 51 dibandingkan dengan 13 provinsi, kota dan kab lainnya. Dibandingkan
dengan kota Mataram, Provinsi NTB menempati peringkat ke 3 dengan skor 36, diatas kota Samarinda dengan
skor 42. Untuk level provinsi, Provinsi NTB memiliki nilai tertinggi dengan
skor 36 jika dibandingkan dengan propinsi lain seperti Provinsi Riau skor
35, Jatim 20, Kaltim 15. Sedang untuk 3 wilayah (Provinsi NTB,
Kota Mataram dan KLU) Kota mataram memiliki nilai tertinggi dengan skor 51,
sedangkan Provinsi NTB hanya 36 dan KLU 17). Hal
ini agak janggal karena kota Mataram sendiri belum memiliki infrastrukur
(PPID), sedangkan provinsi NTB sudah
memiliki 45 PPID SKPD dan PPID Prov, KLU
9 PPID SKPD dan PPID kabupaten, ungkap Koordinator
Divisi Riset FITRA NTB Madiana, S.Pd kemarin (30/9).
Sehingga katanya, Mataram akan memiliki perkembangan yang lebih bagus lagi dibandingkan
dengan provinsi jika sudah memiliki PPID, “jadi fokus kota Mataram di tahun
2013 ini harus segera membuat PPID” terang Madiana.
Selain itu, Kota Mataram juga meraih nilai tertinggi untuk sistem keterbukaan
pengadaan barang dan jasa dengan skor 100%
dibandingkan dengan Provinsi NTB sebesar 67% dan 44% untuk KLU. Tingginya nilai tersebut disebabkan oleh Kota Mataram mempublikasikan
RPBJ yang terkonsolidasi disatu tempat untuk semua dinas, sementara Prov NTB,
dan KLU tidak mempublikasikan RPBJ tahunan. Selain
itu Kota Mataram mengumumkan tender secara terbuka melalui website.
Sementara
itu, Ervin Kaffah mengatakan bahwa meskipun pemerintah provinsi NTB sudah
mempunyai infrastruktur (PPID) untuk memudahkan publik dalam mengakses
keterbukaan informasi publik, justeru tingkat kemudahan publik dalam
mendapatkan akses informasi sangat buruk dan sulit. Salah satu penyebabnya
ialah karena jajaran SKPD lingkup pemerintah provinsi NTB belum mampu
menerjemahkan keinginan pimpinannya. Selain itu, meskipun pemerintah provinsi
NTB sudah memiliki PPID sebagai infrastruktur pendukung keterbukaan informasi
publik namun hal itu ternyata tidak memiliki korelasi dengan sifat keterbukaan
para pimpinan SKPD lingkup pemprov NTB.
Lebih lanjut, Ervin Kaffah
menambahkan bahwa penyebab rendahnya aksesibilitas di lingkup pemerintah
provinsi NTB ialah akibat dari proses pergantian pejabat setiap tahunnya.
“ketika ada perpindahan pejabat, maka kebijakan pejabat juga ikut berganti”
terangnya.
Kedepan pihaknya berharap agar
pemerintah lebih transparan lagi agar masyarakat bisa dengan mudah mengakses
berbagai informasi. Selain itu, UU
KIP seharusnya bisa memudahkan proses permintaan informasi. Sayangnya, Komisi
Informasi masih belum berani untuk menentukan dengan pasti dokumen yang harus
dibuka, tidak hanya ‘informasi’. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar