Mataram (Suara NTB) -
Pagi
itu, tidak ada yang ada beda dengan
pagi-pagi sebelumnya. Angin sepoi melambai menyapa para pedagang yang duduk
berderet di pinggiran jalan, menanti rizki yang kadang-kadang menghampiri para pedagang
jika pada hari itu bernasib mujur. Namun, jika lagi apes, mereka pulang membawa
barang dagangan yang masih menumpuk tidak laku. Itulah nasib yang dialami oleh
sejumlah pedagang di pasar tradisional dusun Tanggong desa Darek.
Selama
Ramadan ini, selain dimaktubkan sebagai bulan ibadah dalam artian ritus, namun
juga diabadikan sebagai bulan yang penuh berkah dalam artiannya yang luas
meliputi aspek ekonomi dan sosial. Bagi para pedagang di pasar tradisional dusun
Tanggong desa Darek, Ramadan tahun ini terasa agak berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya. Kalau tahun kemarin volume hasil penjualannya lumayan banyak, namun
kali ini hasilnya menurun drastis.
Diakui
oleh para pedagang, penyebab utamanya ialah pasar sepi karena puasa tahun ini
bertepatan dengan musim panen padi di desa Darek dan beberapa desa di
sekitarnya. Alhasil, masyarakat hampir setiap hari pergi ke sawah bahkan tidak jarang mereka menginap, hal itu
dilakukan mengingat cuaca sekarang ini agak panas. Untuk mensiasatinya, mereka
memanen padi malam hari atau pagi-pagi. Akibatnya berdampak pada hasil
penjualan para pedagang yang ada di pasar tradisional dusun Tanggong desa Darek.
Nurhayami
(38) seorang penjual lontong musiman menuturkan, penghasilannya tidak sebanyak
puasa tahun kemarin, kalau sekarang, pasar agak sepi karena masyarakat banyak
yang ke sawah memanen padi. Sedangkan pasar bukanya pagi hari. Sehingga pasar
jadi sepi pembeli. Ibu tiga anak ini menuturkan pasang surut berjualan
lontong. Sebagai penjual musiman, dirinya mengaku sudah terbiasa dengan kondisi
pasar yang seperti ini. Apalagi bulan puasa, penjual lontong banyak. Sehingga para
pembeli mempunyai banyak pilihan.
Kini,
beberapa hari menjelang lebaran, lontong jualannya akan berhenti diproduksi
sebelum lebaran. Praktis tidak ada lagi tambahan pendapatan yang akan ia
dapatkan. Apalagi untuk menghidupi tiga orang anak, hasil berjualan lontongnya
sangat tidak cukup mengingat harga kebutuhan pokok melonjak naik. Meskipun ia
mengaku memperoleh Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dari pemerintah
sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, namun itu pun “disunat” oleh pemerintah
desa setempat dari semula 300 ribu menjadi sama-sama 200 ribu. Sehingga,
bantuan dari pemerintah tidak banyak membantu beban masyarakat terhadap dampak
naiknya harga kebutuhan pokok terlebih menjelang lebaran ini. “kepeng satak ribu nane, mbe lalok lain”,
ujarnya.
Hal
senada juga dituturkan oleh Rawiyah (50). Buruh tani musiman ini menceritakan
BLSM yang diterima sejumlah 200 ribu kemarin tidak terlalu berdampak terhadap
kondisi prekonomian keluarganya. Meskipun diakuinya sedikit membantu. Namun
jika dibandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok sekarang ini, uang 200
ribu sangatlah kecil. Apalagi Rawiyah menuturkan dirinya harus menghidupi dua
orang anak dan ibunya yang sudah tua renta seorang diri. Dirinya mengaku,
menjalani hidup serba kekurangan seperti ini sudah menjadi takdir yang harus
dijalani dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Perempuan
paruh baya ini pasrah meniti hidup seperti ini, hanya satu harapan yang
digantungkan kepada pemerintah, dirinya mengharapkan lebih banyak lagi
bantuan-bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin seperti dirinya. Apalagi
dirinya mengaku, menjadi buruh tani musiman tidak mempunyai penghasilan yang
tetap. Kalau ada musim-musim tertentu baru bisa dapat uang, itu pun kalau ada
orang yang meminta bantuan tenaganya. Rawiyah berharap, “ke depan bisa
merenovasi rumah reot yang saat ini ditempatinya bersama ibu dan anak-anaknya”.
Berbeda
dengan Rawiyah, nasib serupa juga tidak jauh beda dialami oleh Riate (55).
Lelaki miskin yang hanya menghabiskan hidupnya sebagai pengiring musik rudat
dan pengiring musik pada pentas-pentas kesenian wayang ini mengaku kesulitan
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi pada bulan Ramadan ini, nyaris
tidak ada satu pun undangan pementasan rudat atau pun wayang yang menjadi lahan
penghidupannya sehari-hari. Praktis, pemasukan pun menjadi tidak ada.
Meskipun
menjabat sebagai RT bertahun-tahun di dusunnya, Riate mengaku tidak mendapatkan
apa-apa. Dirinya mengaku tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Padahal,
dulu pemerintah sempat berjanji akan memberikan honor dan tunjangan kepada
dirinya. Namun sampai sekarang tidak kunjung datang. Terlebih lagi, menjelang
lebaran kali ini, raskin yang dibagikan yang hanya 8 kg itu, jelas tidak cukup
untuk makan dan membayar zakat fitrah sebelum lebaran datang. Meskipun kemarin
ada BLSM pemerintah, namun itu pun dipotong-potong. Ujarnya. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar