KANGGOK'M TADAHN ?

Jumat, 20 September 2013

Menjelang Lebaran, BLSM “disunat”



Mataram (Suara NTB) -
Pagi itu,  tidak ada yang ada beda dengan pagi-pagi sebelumnya. Angin sepoi melambai menyapa para pedagang yang duduk berderet di pinggiran jalan, menanti rizki yang kadang-kadang menghampiri para pedagang jika pada hari itu bernasib mujur. Namun, jika lagi apes, mereka pulang membawa barang dagangan yang masih menumpuk tidak laku. Itulah nasib yang dialami oleh sejumlah pedagang di pasar tradisional dusun Tanggong desa Darek.
Selama Ramadan ini, selain dimaktubkan sebagai bulan ibadah dalam artian ritus, namun juga diabadikan sebagai bulan yang penuh berkah dalam artiannya yang luas meliputi aspek ekonomi dan sosial. Bagi para pedagang di pasar tradisional dusun Tanggong desa Darek, Ramadan tahun ini terasa agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun kemarin volume hasil penjualannya lumayan banyak, namun kali ini hasilnya menurun drastis.
Diakui oleh para pedagang, penyebab utamanya ialah pasar sepi karena puasa tahun ini bertepatan dengan musim panen padi di desa Darek dan beberapa desa di sekitarnya. Alhasil, masyarakat hampir setiap hari pergi ke sawah  bahkan tidak jarang mereka menginap, hal itu dilakukan mengingat cuaca sekarang ini agak panas. Untuk mensiasatinya, mereka memanen padi malam hari atau pagi-pagi. Akibatnya berdampak pada hasil penjualan para pedagang yang ada di pasar tradisional dusun Tanggong desa Darek.
Nurhayami (38) seorang penjual lontong musiman menuturkan, penghasilannya tidak sebanyak puasa tahun kemarin, kalau sekarang, pasar agak sepi karena masyarakat banyak yang ke sawah memanen padi. Sedangkan pasar bukanya pagi hari. Sehingga pasar jadi sepi  pembeli. Ibu tiga  anak ini menuturkan pasang surut berjualan lontong. Sebagai penjual musiman, dirinya mengaku sudah terbiasa dengan kondisi pasar yang seperti ini. Apalagi bulan puasa, penjual lontong banyak. Sehingga para pembeli mempunyai banyak pilihan.
Kini, beberapa hari menjelang lebaran, lontong jualannya akan berhenti diproduksi sebelum lebaran. Praktis tidak ada lagi tambahan pendapatan yang akan ia dapatkan. Apalagi untuk menghidupi tiga orang anak, hasil berjualan lontongnya sangat tidak cukup mengingat harga kebutuhan pokok melonjak naik. Meskipun ia mengaku memperoleh Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dari pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, namun itu pun “disunat” oleh pemerintah desa setempat dari semula 300 ribu menjadi sama-sama 200 ribu. Sehingga, bantuan dari pemerintah tidak banyak membantu beban masyarakat terhadap dampak naiknya harga kebutuhan pokok terlebih menjelang lebaran ini. “kepeng satak ribu nane, mbe lalok lain”, ujarnya.
Hal senada juga dituturkan oleh Rawiyah (50). Buruh tani musiman ini menceritakan BLSM yang diterima sejumlah 200 ribu kemarin tidak terlalu berdampak terhadap kondisi prekonomian keluarganya. Meskipun diakuinya sedikit membantu. Namun jika dibandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok sekarang ini, uang 200 ribu sangatlah kecil. Apalagi Rawiyah menuturkan dirinya harus menghidupi dua orang anak dan ibunya yang sudah tua renta seorang diri. Dirinya mengaku, menjalani hidup serba kekurangan seperti ini sudah menjadi takdir yang harus dijalani dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Perempuan paruh baya ini pasrah meniti hidup seperti ini, hanya satu harapan yang digantungkan kepada pemerintah, dirinya mengharapkan lebih banyak lagi bantuan-bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin seperti dirinya. Apalagi dirinya mengaku, menjadi buruh tani musiman tidak mempunyai penghasilan yang tetap. Kalau ada musim-musim tertentu baru bisa dapat uang, itu pun kalau ada orang yang meminta bantuan tenaganya. Rawiyah berharap, “ke depan bisa merenovasi rumah reot yang saat ini ditempatinya bersama ibu dan anak-anaknya”.
Berbeda dengan Rawiyah, nasib serupa juga tidak jauh beda dialami oleh Riate (55). Lelaki miskin yang hanya menghabiskan hidupnya sebagai pengiring musik rudat dan pengiring musik pada pentas-pentas kesenian wayang ini mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi pada bulan Ramadan ini, nyaris tidak ada satu pun undangan pementasan rudat atau pun wayang yang menjadi lahan penghidupannya sehari-hari. Praktis, pemasukan pun menjadi tidak ada.
Meskipun menjabat sebagai RT bertahun-tahun di dusunnya, Riate mengaku tidak mendapatkan apa-apa. Dirinya mengaku tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, dulu pemerintah sempat berjanji akan memberikan honor dan tunjangan kepada dirinya. Namun sampai sekarang tidak kunjung datang. Terlebih lagi, menjelang lebaran kali ini, raskin yang dibagikan yang hanya 8 kg itu, jelas tidak cukup untuk makan dan membayar zakat fitrah sebelum lebaran datang. Meskipun kemarin ada BLSM pemerintah, namun itu pun dipotong-potong. Ujarnya. (dys)




Tidak ada komentar: