Mataram (Suara NTB)
Menanggapi kasus asusila yang
menimpa salah seorang siswi SMP di Gerung dua hari lalu, Dekan Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM),
Safril, M.Pd Kamis siang (14/11) mengaku peristiwa itu sangat menyakitkan sekaligus
menyayat hati bagi dunia pendidikan. Dirinya juga mengaku sangat kaget ketika
mengetahui salah seorang siswi kelas 1 SMP melakukan perbuatan tidak terpuji
tersebut.
Diakuinya, kasus tersebut
merupakan bentuk kegagalan dari sistem pendidikan yang selama ini cenderung
tidak memiliki keberpihakan terhadap berbagai kompetensi dan kecerdasan yang
dimiliki oleh siswa. Padahal ada kompetensi religisusitas sebagai inti utama
dari setiap kurikulum. Namun dirinya
menyayangkan para guru yang tidak mampu menerjemahkan inti utama dari kurikulum
tersebut. Padahal harapannya ialah dapat menjadi tameng untuk mengantisipasi
menguatnya perilaku bebas di kalangan remaja. “selama ini, proses pendidikan
kita lebih banyak transfer of knowledge
dari pada transfer of value” terang
safril.
Selain itu, peran orang tua
sangat penting untuk membentuk karakter awal siswa sejak dini, tidak hanya itu
orang tua juga harus lebih tegas terhadap
anak-anak mereka. Meski kadang orang tua harus mengusap dada karena
terhalang oleh undang-undang perlindungan anak yang menempatkan anak terlihat
pada posisi superior di bawah orang tua dan guru. “dengan undang-undang yang
ada, anak-anak sekarang ini kan merasa diri di atas orang tua dan guru. Mereka
merasa, sebebas apapun tindakan yang mereka lakukan masih mendapatkan
perlindungan dari undang-undang. Itu kondisinya sekarang” ungkapnya. Selain
undang-undang yang ada sekarang ini terlihat superior bagi tindakan bebas anak,
juga belum mampu melindungi para guru jika mereka melakukan tindakan-tindakan
proteksi terhadap siswa. “perlu juga perlindungan hak-hak guru, karena selama
ini guru kesulitan untuk berbuat lebih banyak terhadap siswa. Harus ada
mekanisme hukum yang berlaku juga bagi para guru”
Tidak hanya itu, kemunculan
tekhnologi juga memberikan pengaruh besar terhadap perubahan perilaku siswa
seperti pengaruh kemunculan telepon genggam yang diberikan bebas kepada para
siswa. “Dengan alasan para orang tua untuk memudahkan penjemputan mereka
diberikan keleluasaan membawa telepon genggam, padahal itu merupakan alasan
yang mengada-ada”. Di sinilah perubahan pola komunikasi anak dengan orang,
siswa dengan guru berubah. Orang tua tinggal menunggu telepon dari si anak
untuk menjemput, baru para orang tua datang ke sekolah. Padahal dengan cara
seperti itu, orang tua sebenarnya sedang memberikan peluang masuknya berbagai
kemungkinan-kemungkinan lahirnya tindakan negatif dan penyimpangan dari anak.
Bisa saja sudah waktunya pulang, tetapi anak sengaja telat menelepon orang
tuanya agar bisa bebas melakukan tindakan-tindakan di luar kontrol orang tua.
Safril mengingatkan kepada para
orang tua untuk merenungi hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menunjukkan bahwa perilaku seks di
kalangan remaja sekarang ini semakin
bebas disebabkan oleh penggunaan tekhnologi secara negatif seperti telepon
genggam yang dipergunakan secara negatif oleh para siswa. Safril juga
menambahkan pentingnya sekolah-sekolah membuat regulasi agar tidak
diperbolehkan membawa telepon genggam bagi para siswa. Hal itu untuk pencegahan
semakin meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh tekhnologi.
Sementara itu, disinggung
mengenai hukuman yang harusnya diberikan terhadap siswi yang kedapatan mesum
tersebut, meski masih di bawah umur, Safril mengharapkan adanya perlakuan
setimpal yang diberikan oleh aparat penegak hukum kepada siswi tersebut. Hal
itu terangnya untuk memberikan efek jera bagi siswa-siswa lainnyya. Namun
tambahnya, siswi tersebut tetap harus mendapatkan pembinaan dari psikolog atau
dari pihak-pihak yang berkompetensi untuk menangani hal tersebut. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar