KANGGOK'M TADAHN ?

Sabtu, 21 Desember 2013

LPA NTB Akan Dampingi Siswi SMP korban Asusila di Gerung


Dianggap jadi korban kekerasan seksual, siswi SMP di Gerung yang ketahuan sedang melakukan tindakan asusila dengan pacarnya di toilet musalla lapangan mareje Gerung, Lombok Barat akan mendapatkan pendampingan dan pembinaan dari  Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB.
Hal itu disampaikan oleh bendahara sekaligus petugas lapangan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Warniati, SE, ditemui Jum’at pagi (15/11) di kantornya. Menurutnya, sesuai dengan undang-undang perlindungan anak, anak dibawah umur 18 tahun tidak dapat dikenai sanksi apa pun atas berbagai tindakan yang dilakukannya. Pasalnya, secara psikologi dan ilmu pengetahuan, mereka masih belum banyak mengetahui tentang persoalan yang mereka lakukan. “secara psikologis mereka belum matang karena belum cukup umur 18 tahun”.
Menurutnya, siswi SMP yang ketahuan melakukan tindakan tidak terpuji dengan pacarnya di Gerung tersebut masih di bawah umur yaitu 13 tahun. Sehingga demikian, siswi SMP tersebut dengan sendirinya berstatus sebagai korban atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacarnya. “nanti dalam proses hukum selanjutnya, kapasitas siswi tersebut hanya sebagai saksi, karena dia sebagai korban kekerasan seksual. Dan LPA akan mendampingi sampai prosesnya selesai” terang Warniati.
Lebih lanjut, Warniati menerangkan bahwa anak di bawah umur yang menjadi korban tidak pas jika disebut sebagai objek yang bersalah dalam kasus tersebut. Karena pada dasarnya mereka masih belum banyak tahu menganai hal-hal yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan. “namanya juga anak-anak, segalanya pasti mereka belum banyak tahu”. Dirinya menambahkan bahwa anak di bawah umur korban seksual tersebut semata-mata ialah korban dari kesalahan orang tua, guru dan kelalaian masyarakat serta lingkungan dalam mengawasi anak-anaknya sehingga tidak layak mendapatkan hukuman secara fisik. “yang bersalah itu bukan anak, tetapi orang tua dan masyarakat yang abai menjaga dan mengawasi anak-anak mereka. Harusnya mereka ikut mengawasi setiap perkembangan tingkah laku anak, apalagi orang tua anak korban seksual tersebut telah mengetahui ada perubahan sikap dari anaknya pasca kenal dengan pacarnya itu. Begitu juga dengan pihak sekolah, jika mengetahui ada perubahan sikap dan tingkah laku para siswanya harusnya mereka siaga dan awasi serta lakukan pembinaan agar tidak terjadi kejadian serupa”.
Selain itu akunya, adanya keinginan sebagian masyarakat yang meminta diberikan hukuman yang setimpal dan setara terhadap kedua pelaku tindak asusila di Gerung menurutnya ialah bukan persoalan pemberian efek jera, tetapi lebih kepada penyelamatan anak sebagai investasi masa depan. “mereka masih punya masa depan yang panjang, jika itu tidak kita perbaiki maka kasihan mereka nantinya. Padahal kita tidak tahu mereka nantinya bisa berubah setelah kelak mereka dewasa. Oleh karena itulah, kita akan focus memberikan pendampingan dan pembinaan serta pemberian assasmen untuk memulihkan psikologi anak tersebut”.
Sementara itu, ketua Divisi Hukum dan Advokasi LPA NTB, Joko Jumadi menyayangkan kurangnya peran orang tua dalam melakukan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Selain itu ungkapnya, pembinaan orang tua terhadap anak juga sangat lemah, padahal peran orang tua untuk terus memonitor perkembangan anak sangat penting dilakukan. Tidak hanya itu, peran lingkungan dan guru dalam memonitor anak juga masih lemah. “mereka harusnya berkoordinasi dalam memonitor perkembangan anak. Jika guru melihat ada perubahan sikap terhadap siswanya, harusnya mereka segera berkoordinasi dengan orang tua anak, begitu juga ketika masyarakat melihat perubahan tingkah laku anak-anak di sekeliling mereka, harusnya juga memberikan peringatan dan tetap berkoordinasi dengan para orang tua, ini kan tidak ada koordinasi, semua berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada perhatian serius melihat kondisi tersebut”. Tidak hanya itu, salah satu penyebabnya juga ialah perubahan hubungan antara orang tua dengan anak, siswa dengan guru yang sudah sangat jauh akibat masuknya berbagai tekhnologi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, dirinya menyalahkan para orang tua yang sudah salah kaprah dalam menyalurkan kasih sayangnya terhadap anak-anak mereka. “bayangkan saja, masih SMP mereka sudah diberikan membawa telepon genggam, sepeda motor, laptop dan lain sebagainya. Itu semua atas nama kasih sayang padahal tindakan tersebut akan membawa dampak negatif terhadap anak”.
Menanggapi ancaman pihak sekolah yang berencana memindahkan atau memecat siswi bersangkutan,  Joko Jumadi mengaku pihaknya akan tegas jika keputusan itu diberikan oleh pihak sekolah. “tidak ada satu pasal pun dalam undang-undang yang mengharuskan sekolah untuk mengeluarkan siswa-siswi berbuat jika ketahuan melakukan tindakan asusila, itu tidak ada. Sehingga tidak ada alasan kuat sekolah mau mengeluarkan siswi tersebut”. Dirinya berharap harusnya pihak sekolah melakukan rehabilitasi terhadap siswi tersebut guna mempersiapkan mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, untuk mengantispasi kemungkinan munculnya peluang-peluang anak melakukan tindakan-tindakan di luar kontrol pengawasan  orang tua dan guru, dirinya berharap pentingnya sekolah membuat regulasi larangan membawa telepon genggam bagi siswa di sekolah. Hal itu mengingat belum adanya jaminan terbebas dari konten-konten porno. (dys)







Tidak ada komentar: