Dianggap jadi korban kekerasan
seksual, siswi SMP di Gerung yang ketahuan sedang melakukan tindakan asusila
dengan pacarnya di toilet musalla lapangan mareje Gerung, Lombok Barat akan
mendapatkan pendampingan dan pembinaan dari
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB.
Hal itu disampaikan oleh
bendahara sekaligus petugas lapangan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB,
Warniati, SE, ditemui Jum’at pagi (15/11) di kantornya. Menurutnya, sesuai
dengan undang-undang perlindungan anak, anak dibawah umur 18 tahun tidak dapat
dikenai sanksi apa pun atas berbagai tindakan yang dilakukannya. Pasalnya,
secara psikologi dan ilmu pengetahuan, mereka masih belum banyak mengetahui
tentang persoalan yang mereka lakukan. “secara psikologis mereka belum matang
karena belum cukup umur 18 tahun”.
Menurutnya, siswi SMP yang
ketahuan melakukan tindakan tidak terpuji dengan pacarnya di Gerung tersebut
masih di bawah umur yaitu 13 tahun. Sehingga demikian, siswi SMP tersebut dengan
sendirinya berstatus sebagai korban atas tindakan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh pacarnya. “nanti dalam proses hukum selanjutnya, kapasitas siswi
tersebut hanya sebagai saksi, karena dia sebagai korban kekerasan seksual. Dan
LPA akan mendampingi sampai prosesnya selesai” terang Warniati.
Lebih lanjut, Warniati
menerangkan bahwa anak di bawah umur yang menjadi korban tidak pas jika disebut
sebagai objek yang bersalah dalam kasus tersebut. Karena pada dasarnya mereka
masih belum banyak tahu menganai hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan-tindakan yang mereka lakukan. “namanya juga anak-anak, segalanya pasti
mereka belum banyak tahu”. Dirinya menambahkan bahwa anak di bawah umur korban
seksual tersebut semata-mata ialah korban dari kesalahan orang tua, guru dan
kelalaian masyarakat serta lingkungan dalam mengawasi anak-anaknya sehingga
tidak layak mendapatkan hukuman secara fisik. “yang bersalah itu bukan anak,
tetapi orang tua dan masyarakat yang abai menjaga dan mengawasi anak-anak
mereka. Harusnya mereka ikut mengawasi setiap perkembangan tingkah laku anak,
apalagi orang tua anak korban seksual tersebut telah mengetahui ada perubahan
sikap dari anaknya pasca kenal dengan pacarnya itu. Begitu juga dengan pihak sekolah,
jika mengetahui ada perubahan sikap dan tingkah laku para siswanya harusnya
mereka siaga dan awasi serta lakukan pembinaan agar tidak terjadi kejadian
serupa”.
Selain itu akunya, adanya
keinginan sebagian masyarakat yang meminta diberikan hukuman yang setimpal dan
setara terhadap kedua pelaku tindak asusila di Gerung menurutnya ialah bukan
persoalan pemberian efek jera, tetapi lebih kepada penyelamatan anak sebagai
investasi masa depan. “mereka masih punya masa depan yang panjang, jika itu
tidak kita perbaiki maka kasihan mereka nantinya. Padahal kita tidak tahu
mereka nantinya bisa berubah setelah kelak mereka dewasa. Oleh karena itulah,
kita akan focus memberikan pendampingan dan pembinaan serta pemberian assasmen
untuk memulihkan psikologi anak tersebut”.
Sementara itu, ketua Divisi Hukum
dan Advokasi LPA NTB, Joko Jumadi menyayangkan kurangnya peran orang tua dalam
melakukan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Selain itu ungkapnya, pembinaan
orang tua terhadap anak juga sangat lemah, padahal peran orang tua untuk terus
memonitor perkembangan anak sangat penting dilakukan. Tidak hanya itu, peran
lingkungan dan guru dalam memonitor anak juga masih lemah. “mereka harusnya
berkoordinasi dalam memonitor perkembangan anak. Jika guru melihat ada perubahan
sikap terhadap siswanya, harusnya mereka segera berkoordinasi dengan orang tua
anak, begitu juga ketika masyarakat melihat perubahan tingkah laku anak-anak di
sekeliling mereka, harusnya juga memberikan peringatan dan tetap berkoordinasi
dengan para orang tua, ini kan tidak ada koordinasi, semua berjalan
sendiri-sendiri dan tidak ada perhatian serius melihat kondisi tersebut”. Tidak
hanya itu, salah satu penyebabnya juga ialah perubahan hubungan antara orang
tua dengan anak, siswa dengan guru yang sudah sangat jauh akibat masuknya
berbagai tekhnologi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, dirinya
menyalahkan para orang tua yang sudah salah kaprah dalam menyalurkan kasih
sayangnya terhadap anak-anak mereka. “bayangkan saja, masih SMP mereka sudah
diberikan membawa telepon genggam, sepeda motor, laptop dan lain sebagainya.
Itu semua atas nama kasih sayang padahal tindakan tersebut akan membawa dampak
negatif terhadap anak”.
Menanggapi ancaman pihak sekolah
yang berencana memindahkan atau memecat siswi bersangkutan, Joko Jumadi mengaku pihaknya akan tegas jika
keputusan itu diberikan oleh pihak sekolah. “tidak ada satu pasal pun dalam
undang-undang yang mengharuskan sekolah untuk mengeluarkan siswa-siswi berbuat
jika ketahuan melakukan tindakan asusila, itu tidak ada. Sehingga tidak ada
alasan kuat sekolah mau mengeluarkan siswi tersebut”. Dirinya berharap harusnya
pihak sekolah melakukan rehabilitasi terhadap siswi tersebut guna mempersiapkan
mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, untuk mengantispasi
kemungkinan munculnya peluang-peluang anak melakukan tindakan-tindakan di luar
kontrol pengawasan orang tua dan guru,
dirinya berharap pentingnya sekolah membuat regulasi larangan membawa telepon
genggam bagi siswa di sekolah. Hal itu mengingat belum adanya jaminan terbebas
dari konten-konten porno. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar