Perbuatan tidak pantas oleh salah
seorang murid sekolah SMA 1 Woha Kabupaten Bima yang menodongkan senjata api
terhadap gurunya Senin (25/11) mengundang keperihatinan dari berbagai pihak dan
pengamat pendidikan. Terlebih aksi ‘coboy’ siswa 16 tahun tersebut dilakukan
bertetapan dengan peringatan hari guru nasional dan ultah PGRI. Harusnya,
sebagai murid, pada momentum berharga tersebut mereka memberikan kado
terbaiknya yang dipersembahkan untuk gurunya. Namun apa mau dikata, kado
terburuk justeru diperoleh akibat ulah ‘coboy’ cilik yang harusnya dengan
usianya yang masih di bawah umur tersebut steril dari perbuatan-perbuatan tidak
terhormat.
Saat dihubungi via telepon, Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Muhammadiyah, Safril, M.Pd, mengatakan bahwasanya ulah siswa yang berlagak
seperti coboy kepada gurunya kemarin itu harus dilihat secara objektif.
Objektifitas diperlukan untuk melihat akar permasalahan sehingga
kejadian-kejadian serupa tidak lagi mencoreng dunia pendidikan kita. Diakui
Safril bahwa penting setiap orang melihat kronologis persitiwa tersebut, apakah
anak didik yang bermasalah atau gurunya. “jika tiba-tiba saja guru menampar
siswa tersebut tanpa terlebih dahulu memberinya peringatan, tentu problemnya
ada pada guru. Namun jika siswa tersebut tiba-tiba menodongkan senjata api ke
guru, maka problemnya ada di siswa”.
Lebih lanjut, Safril mengatakan
semua pihak harus melihat konteks peristiwa tersebut, terkadang siswa mempunyai
dendam dengan guru, namun tidak seharusnya diungkapkan dengan cara seperti itu.
Harusnya siswa yang merasa ada dendam atau masalah apa pun harusnya melaporkan
ke pihak yang berwajib. Tidak hanya itu, pihak sekolah juga dihimbau agar
mereka memperketat pengawasan dan aturan bagi para siswanya seperti pelarangan
memakai anting apalagi membawa senjata api atau senjata berbahaya lainnya.
Sementara itu, di tempat terpisah
Direktur Mains Institut For Education and Development, Lalu Maksum Ahmad, M.Pd,
mengaku terkejut ketika mendapat informasi ada siswa yang sampai berani
menodongkan senjata api kepada gurunya. Kondisi tersebut sangat kontras dengan
perilaku siswa pada masa dulu yang sangat segan dan hormat kepada gurunya. “siswa
dulu sangat segan pada gurunya, apalagi kalau ketemi di jalan hampir nggak ada yang berani bahkan malu”
terang Maksum.
Maksum menyebutkan peristiwa
tersebut sebagai akumulasi dari kegagalan sistem pendidikan yang terlalu
berorientasi pada kecerdasan intelektual semata. Padahal masih banyak bentuk
kecerdasan-kecerdasan lainnya. “dengan orientasi pendidikan kita yang cenderung
berorientasi pada kecerdasan intelektual, maka generasi muda kita menjadi
generasi yang mempunyai otak tanpa watak. Artinya mereka cerdas saja tapi
perilakunya tidak baik. akhirnya lahir generasi-generasi pembohong dan pada
saat itulah pendidikan kita telah gagal”. Yang perlu dilakukan sekarang ini
terang Maksum ialah pentingnya pemerintah merekonstruksi sistem pendidikan yang
berbasis pada semua bentuk kecerdasan yang ada seperti kecerdasan spiritual,
kecerdasan emosional tidak hanya kecerdasan intelektual.
Selain itu Maksum juga menilai
keberadaan guru yang sekarang ini sudah jarang menjadi sosok yang ditiru dan
digugu. “tidak adanya link and match
antara teori dan praktik oleh guru. Kan,
apa yang dikerjakan oleh guru pasti akan diikuti oleh siswa”. Guru tidak lagi
menjadi sosok panutan yang pantas ditiru oleh siswa. Bayangkan sekarang ini ada
guru yang pacaran dengan siswa, guru yang mencabuli siswanya. “Murid kan
melihat teladan-teladan seperti itu”. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar