Berbagai anarkisme yang membalut
aksi demonstrasi mahasiswa di tengah-tengah kampus masih saja terjadi, padahal
kampus sebagai lembaga pendidikan yang harusnya steril dari tindakan-tindakan
kotor seperti itu tidak boleh terjadi.
Terlebih dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, tindakan-tindakan seperti
itu tentunya tidak dapat direstui sebagai tindakan-tindakan demokrasi oleh
mahasiswa. Pasalnya, demokrasi sebagai pilar bernegara tidak boleh disebut
sebagai landasan untuk bertindak bebas tanpa adanya rem yang mengendalikan
aksi-aksi tersebut. Pemahaman yang terlalu bebas dalam memaknai arti demokrasi
nampaknya menjadi salah satu sebab dilakukannya praktik-praktik demokrasi yang
justeru kebablasan di kalangan mahasiswa selama ini. Padahal demokrasi tidak
sama sekali mensyaratkan anarkisme sebagai tiang dalam menjalankan
proses-proses baik itu politik maupun dalam konteks lainnya.
Mencermati berbagai tindakan anarkisme
mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dalam beberapa aksi
demonstrasi belakangan ini, nampaknya semua orang perihatin melihat kondisi
tersebut. Bagaimana tidak, berbagai aksi seperti penyegelan kampus yang
berujung pada pelarangan belajar bagi mahasiswa, penyegelan perpustakaan dan
berbagai perusakan fasilitas kampus lainnya justeru merugikan diri mereka
sendiri.
Pengamat politik dari Fakultas
Dakwah dan Komunikasi (FDK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Dr.
Kadri, Ms, beberapa waktu lalu mengaku perihatin melihat aksi anarkisme
mahasiswa yang terlampau sangat berlebihan dalam menyuarakan aspirasinya. Padahal
berlebihannya cara mahasiswa dalam menyuarakan aksi mereka justeru lebih banyak
merugikan mereka sendiri. Selain itu ungkapnya, kerapkali aspirasi mereka
kadang di luar konteks mereka sebagai mahasiswa. Dirinya mencontohkan aksi
demonstrasi mahasiswa yang melakukan penolakan terhadap kehadiran Kabag Umum
yang baru. “Padahal mahasiswa tidak mempunyai sama sekali wewenang untuk
menolak atau pun menerimanya”. Justeru, dengan melaksanakan aksi demonstari
yang di luar konteks mereka sebagai mahasiswa seperti itu, membuat masyarakat
menjadi bertanya apakah aksi mereka itu sebagai bentuk-bentuk pesanan atau
bukan. “kan sudah kelihatan sekali
kalau sudah seperti itu” terang Kadri. Oleh karena itu, dirinya meminta agar mahasiswa
senantiasa menjaga idealisme mereka, karena pada saat sekarang ini tugas mereka
ialah untuk belajar.
Premanisme Hantui IAIN
Tidak diduga, aksi premanisme
kembali terjadi di lingkungan kampus IAIN ketika sejumlah mahasiswa yang
tergabung dalam seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) se- IAIN pada Sabtu
kemarin (22/11) melakukan aksi demonstrasi menolak keberadaan Komisi Pemilihan
Umum Mahasiswa (KPUM) BEM Institut, mereka menolak keberadaan KPUM yang
dibentuk oleh kampus yang dinilainya tidak sesuai dengan aturan. Sejatinya,
komposisi KPUM dihuni oleh perwakilan dari masing-masing UKM. Namun dalam KPUM
yang dibentuk oleh kampus, tidak ada perwakilan UKM. Hal itulah yang membuat
sejumlah mahasiswa menggelar aksi demonstrasi menolak keberdaan KPUM yang
dinilainya illegal. Namun sayangnya, aksi demonstrasi yang pada awalnya
berlangsung damai, dicoreng oleh kehadiran beberapa orang preman yang diduga
sengaja disewa oleh pihak KPUM. Kericuhan pun terjadi antara para pengunjuk
rasa dengan preman tersebut. Bahkan salah seorang Koordinator dalam aksi
tersebut, Hadiburahman mengaku terkejut dengan hadirnya beberapa orang preman
tersebut di tengah-tengah kampus.
Selain kehadiran preman tersebut
telah mencoreng proses demokrasi yang
berlangsung di tengah-tengah mahasiswa,
juga sekaligus memberikan stigma buruk terhadap keberadaan kampus yang
selama ini kerap menjadi sorotan masyarakat. Sekretaris Mapala IAIN yang juga
pengurus BEM Fakultas Tarbiyah, Ahmad Saiful Wardi bahkan menyebut
praktik-praktik berdemokrasi yang selama ini ditampilkan oleh sebagian
mahasiswa sudah berada pada titik yang sangat mencemaskan. Hal itu disebabkan
oleh setidaknya beberapa hal yaitu masih kuatnya intervensi pihak kampus atau
pihak luar dalam sejumlah konstalasi perpolitikan di tingkat mahasiswa. Padahal
dengan adanya intervensi teresebut membuat mahasiswa kerap dijadikan sebagai
korban kepentingan sejumlah elit kampus maupun elit politik di luar kampus. “berbagai
demonstrasi yang sering terjadi bahkan sering tidak ada kaitannya dengan
kepentingan mahasiswa banyak, sehingga kadang tidak jelas siapa yang mau
diperjuangkan oleh mereka”.
Selain itu, ketidakpahaman mereka
terhadap proses berdemokrasi yang baik membuat mereka juga kadang kebablasan
dalam mempraktikkan cara-cara berdemokrasi yang baik. Padahal jika mereka
paham, tidak akan mungkin aksi-aksi tersebut dilakukan dengan sebebas mungkin
seperti yang selama ini ditunjukkan. “cara-cara sebagian mahasiswa dalam
menyuarakan aspirasinya cenderung bermain kotor, apalagi pada saat momentum
pemilihan baik di tingkat jurusan, fakultas maupun isntitut pasti saja sebagian
diantara mereka ada yang bermain politik secara tidak sehat”. Padahal
terangnya, mereka sebagai pelaku-pelaku politik di kemudian hari harusnya
belajar berpolitik dengan cara yang santun dari sekarang ketika mereka menjadi
mahasiswa. Sehingga, ketika mereka nantinya wisuda, bakat berpolitik yang
santun sudah terasah dengan baik. Namun apa jadinya jika praktik belajar
politik mereka di tengah-tengah kampus diwarnai dengan praktik kotor seperti
yang belakangan terjadi. Tentu hasilnya di kemudian hari tidak jauh beda dengan
kebiasaan belajar mereka sekarang. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar