KANGGOK'M TADAHN ?

Sabtu, 21 Desember 2013

Anarkisme dan Premanisme Hantui Kampus


Berbagai anarkisme yang membalut aksi demonstrasi mahasiswa di tengah-tengah kampus masih saja terjadi, padahal kampus sebagai lembaga pendidikan yang harusnya steril dari tindakan-tindakan kotor seperti itu tidak boleh  terjadi. Terlebih dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, tindakan-tindakan seperti itu tentunya tidak dapat direstui sebagai tindakan-tindakan demokrasi oleh mahasiswa. Pasalnya, demokrasi sebagai pilar bernegara tidak boleh disebut sebagai landasan untuk bertindak bebas tanpa adanya rem yang mengendalikan aksi-aksi tersebut. Pemahaman yang terlalu bebas dalam memaknai arti demokrasi nampaknya menjadi salah satu sebab dilakukannya praktik-praktik demokrasi yang justeru kebablasan di kalangan mahasiswa selama ini. Padahal demokrasi tidak sama sekali mensyaratkan anarkisme sebagai tiang dalam menjalankan proses-proses baik itu politik maupun dalam konteks lainnya.
Mencermati berbagai tindakan anarkisme mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dalam beberapa aksi demonstrasi belakangan ini, nampaknya semua orang perihatin melihat kondisi tersebut. Bagaimana tidak, berbagai aksi seperti penyegelan kampus yang berujung pada pelarangan belajar bagi mahasiswa, penyegelan perpustakaan dan berbagai perusakan fasilitas kampus lainnya justeru merugikan diri mereka sendiri.
Pengamat politik dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Dr. Kadri, Ms, beberapa waktu lalu mengaku perihatin melihat aksi anarkisme mahasiswa yang terlampau sangat berlebihan dalam menyuarakan aspirasinya. Padahal berlebihannya cara mahasiswa dalam menyuarakan aksi mereka justeru lebih banyak merugikan mereka sendiri. Selain itu ungkapnya, kerapkali aspirasi mereka kadang di luar konteks mereka sebagai mahasiswa. Dirinya mencontohkan aksi demonstrasi mahasiswa yang melakukan penolakan terhadap kehadiran Kabag Umum yang baru. “Padahal mahasiswa tidak mempunyai sama sekali wewenang untuk menolak atau pun menerimanya”. Justeru, dengan melaksanakan aksi demonstari yang di luar konteks mereka sebagai mahasiswa seperti itu, membuat masyarakat menjadi bertanya apakah aksi mereka itu sebagai bentuk-bentuk pesanan atau bukan. “kan sudah kelihatan sekali kalau sudah seperti itu” terang Kadri. Oleh karena itu, dirinya meminta agar mahasiswa senantiasa menjaga idealisme mereka, karena pada saat sekarang ini tugas mereka ialah untuk belajar.
Premanisme Hantui IAIN
Tidak diduga, aksi premanisme kembali terjadi di lingkungan kampus IAIN ketika sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) se- IAIN pada Sabtu kemarin (22/11) melakukan aksi demonstrasi menolak keberadaan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) BEM Institut, mereka menolak keberadaan KPUM yang dibentuk oleh kampus yang dinilainya tidak sesuai dengan aturan. Sejatinya, komposisi KPUM dihuni oleh perwakilan dari masing-masing UKM. Namun dalam KPUM yang dibentuk oleh kampus, tidak ada perwakilan UKM. Hal itulah yang membuat sejumlah mahasiswa menggelar aksi demonstrasi menolak keberdaan KPUM yang dinilainya illegal. Namun sayangnya, aksi demonstrasi yang pada awalnya berlangsung damai, dicoreng oleh kehadiran beberapa orang preman yang diduga sengaja disewa oleh pihak KPUM. Kericuhan pun terjadi antara para pengunjuk rasa dengan preman tersebut. Bahkan salah seorang Koordinator dalam aksi tersebut, Hadiburahman mengaku terkejut dengan hadirnya beberapa orang preman tersebut di tengah-tengah kampus.
Selain kehadiran preman tersebut telah mencoreng proses  demokrasi yang berlangsung di tengah-tengah mahasiswa,  juga sekaligus memberikan stigma buruk terhadap keberadaan kampus yang selama ini kerap menjadi sorotan masyarakat. Sekretaris Mapala IAIN yang juga pengurus BEM Fakultas Tarbiyah, Ahmad Saiful Wardi bahkan menyebut praktik-praktik berdemokrasi yang selama ini ditampilkan oleh sebagian mahasiswa sudah berada pada titik yang sangat mencemaskan. Hal itu disebabkan oleh setidaknya beberapa hal yaitu masih kuatnya intervensi pihak kampus atau pihak luar dalam sejumlah konstalasi perpolitikan di tingkat mahasiswa. Padahal dengan adanya intervensi teresebut membuat mahasiswa kerap dijadikan sebagai korban kepentingan sejumlah elit kampus maupun elit politik di luar kampus. “berbagai demonstrasi yang sering terjadi bahkan sering tidak ada kaitannya dengan kepentingan mahasiswa banyak, sehingga kadang tidak jelas siapa yang mau diperjuangkan oleh mereka”.
Selain itu, ketidakpahaman mereka terhadap proses berdemokrasi yang baik membuat mereka juga kadang kebablasan dalam mempraktikkan cara-cara berdemokrasi yang baik. Padahal jika mereka paham, tidak akan mungkin aksi-aksi tersebut dilakukan dengan sebebas mungkin seperti yang selama ini ditunjukkan. “cara-cara sebagian mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya cenderung bermain kotor, apalagi pada saat momentum pemilihan baik di tingkat jurusan, fakultas maupun isntitut pasti saja sebagian diantara mereka ada yang bermain politik secara tidak sehat”. Padahal terangnya, mereka sebagai pelaku-pelaku politik di kemudian hari harusnya belajar berpolitik dengan cara yang santun dari sekarang ketika mereka menjadi mahasiswa. Sehingga, ketika mereka nantinya wisuda, bakat berpolitik yang santun sudah terasah dengan baik. Namun apa jadinya jika praktik belajar politik mereka di tengah-tengah kampus diwarnai dengan praktik kotor seperti yang belakangan terjadi. Tentu hasilnya di kemudian hari tidak jauh beda dengan kebiasaan belajar mereka sekarang. (dys)


Tidak ada komentar: