Berbagai kasus pungutan liar
(pungli) yang terjadi di beberapa sekolah selama ini memiliki motif yang
beragam. Mulai dari motif meminta uang bangunan terhadap para siswa yang
disinyalir tidak tepat penggunaannya, meminta uang penebusan ijazah terhadap para
siswa dengan uang yang tidak sedikit, sampai pada motif yang teranyar sekaligus
irasional yaitu pungutan liar yang dilakukan oleh kepala sekolah SDN 1 Ampenan
terhadap para siswanya atas nama uang kebersihan dengan kisaran antara 1 sampai
1,5 juta. Tentu, beberapa kasus pungli yang muncul ke permukaan tersebut
hanyalah sedikit dari sekian banyak kasus pungli yang terjadi di
sekolah-sekolah yang hingga kini belum terungkap.
Maraknya kasus pungli di
tengah-tengah pelaksanaan program pengucuran dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) oleh pemerintah tentunya menjadi pemandangan yang kontradiktif di tengah
upaya pemerintah membantu sekolah-sekolah untuk menyiapkan bantuan tambahan pelaksanaan
berbagai kebutuhan sekolah melalui dana BOS termasuk di dalamnya ialah
peruntukan bagi kebersihan lingkungan sekolah.
Ditemui beberapa waktu lalu,
pengamat pendidikan yang juga Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Univesitas Muhammadiyah Mataram, Safril, M.Pd, menyebut tindakan pungli
oleh kepala sekolah SDN 1 Ampenan tersebut sebagai tindakan pemerasan dan korup
pihak sekolah terhadap para siswanya, “itu sama saja dengan perampasan ”. Hal
itu karena pungli di lingkup dunia pendidikan merupakan pelanggaran substansial
yang berbeda bentuknya dengan pelanggaran etika, atau pun pelanggaran
administrasi. Meskipun pungli ini tidak memiliki tekanan terhadap para siswa
karena dikemas dalam bentuk kebijakan sekolah yang harus ditaati oleh semua
siswa, namun efeknya secara psikologi sangat berbahaya karena selain pungli dapat
membuat anak menjadi tidak tenang untuk belajar namun juga mengancam terjadinya
peningkatan angka drop out di
kalangan siswa. “pungli ini kan dapat
membuat anak terpasung untuk tenang belajar, jika kondisinya sudah
demikian maka dapat mengancam siswa
untuk enggan bersekolah” terang Safril.
Lebih lanjut Safril juga
mengatakan bahwa tindakan pungli ini dapat memiliki efek yang sangat panjang
sampai pada tingkat anak sudah tidak mau lagi bersekolah akibat adanya berbagai
pembiayaan yang dibebankan oleh sekolah kepada para siswanya. Jika ini terjadi,
tentu sangat bertolak belakang dari keinginan pemerintah yang ingin mengurangi
angka putus sekolah (drop out) di
tengah-tengah siswa. Padahal salah satu aspek yang diukur dalam rangka
peningkatan IPM NTB ialah pada aspek pendidikan. Tidak hanya itu, Safril juga
menilai kepala sekolah bersangkutan harus dimutasi karena dinilai tidak loyal
dan telah gagal dalam menerjemahkan keinginan pemerintah.
Dengan peristiwa tersebut, Safril
juga meminta agar pemerintah harus lebih selektif lagi dalam memilih kepala
sekolah. “Jangan hanya memilih atas dasar suka atau tidak suka. Jika perlu,
jabatan kepala sekolah bisa dilelang seperti halnya di daerah-daerah lain.
Tentunya, dalam proses lelang jabatan kepsek tersebut dilakukan oleh tim
penguji yang berkompeten dan hasilnya dibuka ke publik secara terbuka. Dengan
demikian, baru akan terbangun kepercayaan di tengah-tengah masyarakat”. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar