Sepuluh
tahun lalu, tradisi beteloq pada saat
begawe merariq (upacara nikah) masih
dipraktikkan sebagian masyarakat suku sasak, salah satunya di desa Darek,
kabupaten Lombok Tengah. Namun seiring perkembangan zaman yang semakin modern,
diikuti oleh perubahan pola pikir masyarakat desa Darek yang semakin menggemari
pesona hidup serba instan dan praktis, tradisi beteloq kini hanya tinggal kenangan.
Tradisi
beteloq merupakan salah satu kearifan
lokal local wisdom masyarakat desa
Darek yang tertua di samping berbagai tradisi tua lainnya seperti tradisi nyiru. Entah berasal dari mana, tradisi beteloq sudah diyakini ada dan telah
dipraktikkan warga semenjak berpuluh-puluh tahun silam. Sebagai salah satu
rangkaian dari begawe merariq,
tradisi beteloq dilaksanakan pada
tengah malam sebelum upacara nyongkolan
esok harinya dilaksanakan. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai di atas pukul
23.00 dan berakhir tanpa ada batas waktu tertentu.
“Dalam
praktiknya, tradisi beteloq secara khusus
diperuntukkan bagi muda-mudi yang secara sengaja menghadiri begawe merariq tersebut. Mereka yang
datang bisa dengan cara diundang oleh tuan rumah yang mempunyai gawe (upacara), atau pun datang atas
inisiatif sendiri. Tetapi kebanyakan mereka datang atas inisiatif sendiri
sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama warga yang begawe. Adapun yang diundang biasanya mereka yang berada di luar
desa Darek” terang Nurman (51) salah seorang warga asal kampung Tanggong, Desa
Darek.
Di
tengah-tengah pelaksanaannya, bagi pemuda yang hadir mengikuti tradisi beteloq tersebut, akan meminta kepada
seorang perantara (biasanya perantaranya seorang perempuan paruh baya) untuk
memberitahukan kepada salah satu perempuan yang hadir dan ditunjuk oleh si
pemuda tersebut bahwa ada yang mau beteloq
dengannya. Setelah perantara menyampaikan keinginan pemuda tersebut, si
perempuan yang ditunjuk lantas menanggapinya. Jika tawaran untuk beteloq itu diterima, maka si perempuan
langsung datang di depan tungku yang di atasnya sudah disediakan panci oleh
tuan rumah yang begawe. Namun jika
tidak, maka perempuan yang diminta oleh si pemuda tersebut tidak akan datang.
Tidak
jarang, pada saat perantara menyampaikan niat si pemuda tersebut, terjadi
proses negosiasi yang cukup panjang dan alot. Bahkan jika tidak mau, biasanya
si perempuan kadang dipaksa untuk datang melayani keinginan si pemuda yang mau beteloq tersebut. Selain itu, proses
negosiasi juga terjadi apabila dua orang pemuda menunjuk satu perempuan yang
sama untuk beteloq. Di sinilah, si
perempuan harus menentukan pilihan untuk melayani keinginan beteloq salah satu dari dua pemuda
tersebut. Jika perempuan sudah menentukan pilihannya, maka si pemuda yang tidak
dipilih harus legowo menerima keputusan si perempuan.
Ta’aruf ala tradisi beteloq
Bagi
masyarakat desa Darek, tradisi beteloq
memiliki arti penting sebagai salah satu filosofi hidup dalam membangun
hubungan (komunikasi) antar warga (khususnya para pemuda-pemudi). Secara
etimologi, beteloq mempunyai arti
bertelur. Dikatakan bertelur karena setiap pemuda yang ingin beteloq harus menyediakan puluhan telur
(meski tidak diatur jumlahnya) untuk diberikan kepada si perempuan yang
bersedia melayaninya untuk beteloq.
Namun jika dilihat dari praktiknya, tradisi beteloq
mempunyai arti luhur yaitu bagaimana seharusnya cara seorang pemuda membangun
hubungan dengan seorang perempuan seperti yang dituturkan oleh tokoh adat
setempat Riatono Rizal (57). Menurutnya, pola membangun hubungan yang terbuka
dan penuh rasa kekeluargaan serta kasih sayang merupakan salah satu inti dari
tradisi yang diperkirakan sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun silam ini.
“Terbuka
karena praktik tradisi beteloq ini
disaksikan oleh banyak orang serta mengandung nilai kasih sayang, karena pada
saat pemuda dan perempuan duduk di depan tungku, si pemuda tersebut memberikan
telur (telur ayam dan itik) yang dimasukkan ke dalam panci sebagai ucapan
terimakasih karena si perempuan tersebut sudah mau nemin (menerima) tawaran beteloq
si pemuda” terangnya.
Selain
itu, tradisi beteloq ini bisa menjadi
salah satu media untuk mengenal keperibadian satu sama lainnya. Yaitu diawali
oleh adanya keinginan si pemuda untuk mengenal dan mengetahui lebih jauh si
perempuan tersebut terlebih dahulu yang kesemuanya terungkap dalam praktik beteloq ini. Selanjutnya, jika terjadi
kecocokan antar keduanya, tidak jarang banyak pemuda-pemudi yang beteloq tersebut berakhir ke jenjang
yang lebih serius seperti pacaran sampai pernikahan.
Namun
kini tradisi luhur itu tinggal namanya saja, terkikis oleh arus modernisasi
yang maha dahsyat mewabahi masyarakat desa Darek. Sudah tidak ada lagi cerita
pemuda yang beteloq di setiap
momentum begawe merariq warga desa
Darek. Tidak ada lagi silaturahmi antar pemuda yang dulunya berpotensi menjadi
kekuatan sosial (social force) pada saat begawe
merariq. Kini, ceritamu hilang, lenyap tertelan derasnya arus modernisasi. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar