Poto: (Saonah, Riadah, dan Raodatul Jannah).
fenomena 'anak beranak' di Desa Jempong memperihatinkan.
Terletak di pinggiran kota
Mataram, kehidupan masyarakat Desa Jempong memperihatinkan. Berbagai problem
kehidupan sosial kemasyarakatan yang dialami penduduknya mulai dari tingkat pengangguran
yang tinggi, pencurian di kalangan anak dan remaja, kemiskinan, pernikahan anak
di bawah umur dan permasalahan komplek lainnya turut mewarnai kehidupan
masyarakat Desa Jempong.
Masnawati, salah seorang warga
Jempong menuturkan bahwa desa Jempong memiliki tingkat kerumitan permasalahan
sosial kemasyarakatan yang berbeda dibandingkan dengan tempat lainnya di kota
Mataram. Di sini, kemiskinan turun temurun mewarisi setiap pertumbuhan
masyarakatnya. Akibat kemiskinan yang diderita masyarakat, anak-anak Desa
Jempong menjadi korban. “Banyak anak-anak di bawah umur yang sudah menikah dan
punya anak disana, jadi disini ada fenomena ‘anak yang beranak’ masih anak-anak
sudah punya anak” akunya.
Akibat kemiskinan, menikah jadi
salah satu pilihan anak-anak Desa Jempong. “Karena tidak mungkin mereka bisa
melanjutkan sekolah, menikah jadi pilihan mereka” tuturnya. Tidak itu saja,
Masnawati mengaku tingkat Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Desa Jempong
cukup tinggi. “Kalau anak-anak sudah terbiasa masuk penjara karena mencuri”. Ia
pun menceritakan pengalamannya saat helm kesayangannya hilang dicuri oleh
seorang pemulung. “Waktu ditegur, si pemulung yang masih anak-anak itu
menjawab, ini buat makan bu” ceritanya.
Mencari tahu kebenaran cerita
Masnawati, Suara NTB pun mencoba
untuk mewawancarai anak-anak yang sudah menikah di bawah usia normal alias
‘anak beranak’ tersebut. Alhasil, beberapa di antaranya pun mau angkat bicara
setelah beberapa lama dibujuk. Riadah (16 tahun) mengaku sejak lulus SD
langsung memilih menikah disebabkan oleh tidak adanya biaya untuk melanjutkan
sekolah. “Saat itu, lulus SD usia masih 14 tahun dan langsung nikah”. Riadah
yang beberapa waktu lalu sempat keguguran mengaku terpaksa memilih untuk
menikah agar persoalan kehidupan menjadi lebih ringan. Ia pun mengaku hingga
kini belum ada pekerjaan yang bisa dilakukannya. Tidak adanya keterampilan yang
bisa membuatnya bersaing di dunia kerja terlebih lagi oleh rendahnya tingkat
pendidikan yang hanya mencapai pendidikan dasar jadi persoalan yang dihadapinya
kini pasca menikah. Diakuinya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ia
pun memilih untuk menjadi pemulung membaantu suaminya yang juga bekerja sebagai
pemulung. “Kalau suami sekarang nggak ada kerjaan, Cuma jadi pemulung”.
Sementara itu, Saonah (20 tahun)
hingga kini masih trauma ketika mendengar nama mantan suaminya disebut-sebut
oleh orang. Ya, di usia yang relatif masih sangat muda, Saonah mengaku
diceraikan oleh suaminya yang beberapa tahun lalu pergi ke Malaysia. Sama
seperti Riadah, Saonah mengaku hanya mampu bersekolah sampai SD disebabkan oleh
terbatsanya kemapuan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Setamat SD,
Saonah mengaku tidak punya pekerjaan apa-apa dan langsung memilih menikah. Sama
seperti dirinya, suaminya pun masih tergolong dalam kategori anak di bawah
umur. Karena tidak mempunyai keterampilan, suaminya memilih merantau ke
Malaysia. “Tahunya, setelah disana, suami menceraikan saya lewat telpon”
ceritanya. Saonah pun mengaku tidak menyesal dengan pilihannya untuk menikah di
usia yang masih terbilang anak-anak ini. Kini, bagi Saonah fokus kedepannya
hanya tertuju pada anaknya yang masih sangat kecil.
Hidup menderita di tengah-tengah
pusaran gemerlapnya ibu kota provinsi NTB tanpa keterampilan dan keahlian yang dapat
diandalkan juga turut dirasakan oleh Raodatul Jannah (18 tahun). Kalau urusan
pendidikan, Raodatul Jannah jauh lebih baik. Ia sempat mengenyam bangku sekolah
menengah. Namun sayang, pasca lulus Ia memilih untuk menikah. Baginya, masuk ke
perguruan tinggi merupakan impian yang mustahil diwujudkan. Lagi-lagi, faktor
kemiskinan menjadi kambing hitam atas kondisi sosial yang dihadapi oleh
masyarakat Desa Jempong.
Belum adanya intervensi
pemerintah kota Mataram atas telanjangnya fenomena sosial kemasyarakatan di
Desa Jempong ditengarai menjadi salah satu sebab sulitnya memutus mata rantai
kemiskinan masyarakat Desa Jempong yang berdampak pada berbagai permasalahan
sosial lainnya. Meskipun kini beberapa pihak telah menjadikan Desa Jempong
sebagai fokus perhatian pembinaan untuk memutus mata rantai kondisi masyarakat
di sana, akan tetapi apalah artinya jika tanpa didorong oleh keinginan yang
kuat pemerintah kota Mataram agar tidak menutup mata melihat fenomena sosial
masyarakat Desa Jempong terlebih lagi jika ada kesan pemerintah yang melakukan pembiaran atas fenomena tersebut. (dys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar