KANGGOK'M TADAHN ?

Selasa, 04 Februari 2014

Melihat Fenomena ‘Anak Beranak’ di Desa Jempong

Poto: (Saonah, Riadah, dan Raodatul Jannah). 
fenomena 'anak beranak' di Desa Jempong memperihatinkan. 

Terletak di pinggiran kota Mataram, kehidupan masyarakat Desa Jempong memperihatinkan. Berbagai problem kehidupan sosial kemasyarakatan yang dialami penduduknya mulai dari tingkat pengangguran yang tinggi, pencurian di kalangan anak dan remaja, kemiskinan, pernikahan anak di bawah umur dan permasalahan komplek lainnya turut mewarnai kehidupan masyarakat Desa Jempong.
Masnawati, salah seorang warga Jempong menuturkan bahwa desa Jempong memiliki tingkat kerumitan permasalahan sosial kemasyarakatan yang berbeda dibandingkan dengan tempat lainnya di kota Mataram. Di sini, kemiskinan turun temurun mewarisi setiap pertumbuhan masyarakatnya. Akibat kemiskinan yang diderita masyarakat, anak-anak Desa Jempong menjadi korban. “Banyak anak-anak di bawah umur yang sudah menikah dan punya anak disana, jadi disini ada fenomena ‘anak yang beranak’ masih anak-anak sudah punya anak” akunya.

Akibat kemiskinan, menikah jadi salah satu pilihan anak-anak Desa Jempong. “Karena tidak mungkin mereka bisa melanjutkan sekolah, menikah jadi pilihan mereka” tuturnya. Tidak itu saja, Masnawati mengaku tingkat Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Desa Jempong cukup tinggi. “Kalau anak-anak sudah terbiasa masuk penjara karena mencuri”. Ia pun menceritakan pengalamannya saat helm kesayangannya hilang dicuri oleh seorang pemulung. “Waktu ditegur, si pemulung yang masih anak-anak itu menjawab, ini buat makan bu” ceritanya.

Mencari tahu kebenaran cerita Masnawati, Suara NTB pun mencoba untuk mewawancarai anak-anak yang sudah menikah di bawah usia normal alias ‘anak beranak’ tersebut. Alhasil, beberapa di antaranya pun mau angkat bicara setelah beberapa lama dibujuk. Riadah (16 tahun) mengaku sejak lulus SD langsung memilih menikah disebabkan oleh tidak adanya biaya untuk melanjutkan sekolah. “Saat itu, lulus SD usia masih 14 tahun dan langsung nikah”. Riadah yang beberapa waktu lalu sempat keguguran mengaku terpaksa memilih untuk menikah agar persoalan kehidupan menjadi lebih ringan. Ia pun mengaku hingga kini belum ada pekerjaan yang bisa dilakukannya. Tidak adanya keterampilan yang bisa membuatnya bersaing di dunia kerja terlebih lagi oleh rendahnya tingkat pendidikan yang hanya mencapai pendidikan dasar jadi persoalan yang dihadapinya kini pasca menikah. Diakuinya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ia pun memilih untuk menjadi pemulung membaantu suaminya yang juga bekerja sebagai pemulung. “Kalau suami sekarang nggak ada kerjaan, Cuma jadi pemulung”.

Sementara itu, Saonah (20 tahun) hingga kini masih trauma ketika mendengar nama mantan suaminya disebut-sebut oleh orang. Ya, di usia yang relatif masih sangat muda, Saonah mengaku diceraikan oleh suaminya yang beberapa tahun lalu pergi ke Malaysia. Sama seperti Riadah, Saonah mengaku hanya mampu bersekolah sampai SD disebabkan oleh terbatsanya kemapuan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Setamat SD, Saonah mengaku tidak punya pekerjaan apa-apa dan langsung memilih menikah. Sama seperti dirinya, suaminya pun masih tergolong dalam kategori anak di bawah umur. Karena tidak mempunyai keterampilan, suaminya memilih merantau ke Malaysia. “Tahunya, setelah disana, suami menceraikan saya lewat telpon” ceritanya. Saonah pun mengaku tidak menyesal dengan pilihannya untuk menikah di usia yang masih terbilang anak-anak ini. Kini, bagi Saonah fokus kedepannya hanya tertuju pada anaknya yang masih sangat kecil.

Hidup menderita di tengah-tengah pusaran gemerlapnya ibu kota provinsi NTB tanpa keterampilan dan keahlian yang dapat diandalkan juga turut dirasakan oleh Raodatul Jannah (18 tahun). Kalau urusan pendidikan, Raodatul Jannah jauh lebih baik. Ia sempat mengenyam bangku sekolah menengah. Namun sayang, pasca lulus Ia memilih untuk menikah. Baginya, masuk ke perguruan tinggi merupakan impian yang mustahil diwujudkan. Lagi-lagi, faktor kemiskinan menjadi kambing hitam atas kondisi sosial yang dihadapi oleh masyarakat Desa Jempong.


Belum adanya intervensi pemerintah kota Mataram atas telanjangnya fenomena sosial kemasyarakatan di Desa Jempong ditengarai menjadi salah satu sebab sulitnya memutus mata rantai kemiskinan masyarakat Desa Jempong yang berdampak pada berbagai permasalahan sosial lainnya. Meskipun kini beberapa pihak telah menjadikan Desa Jempong sebagai fokus perhatian pembinaan untuk memutus mata rantai kondisi masyarakat di sana, akan tetapi apalah artinya jika tanpa didorong oleh keinginan yang kuat pemerintah kota Mataram agar tidak menutup mata melihat fenomena sosial masyarakat Desa Jempong terlebih lagi jika ada kesan pemerintah yang  melakukan pembiaran atas fenomena tersebut. (dys)

Tidak ada komentar: