Keberadaan teknologi
dengan segala perangkatnya terbukti berhasil mengubah wajah dunia dari
bentuknya yang tradisional ke wajahnya yang kini serba modern. Era kemodernan telah
dimulai semenjak ideologi kristiani konservatif tak mampu mengalahkan ledakan
survival pemikiran progresif para saintis semisal Galileo.
Kini dunia tehnologi
telah menghiasi setiap detik kehidupan umat manusia. Sejak bangun hingga tidur
lagi, manusia seolah-olah tak mampu keluar dari kekangan teknologi yang mahadahsyat.
Produk teknologi pun
sudah menghasilkan beragam produk siap konsumsi oleh umat manusia hanya dengan
fasilitas layanan serba murah. Hal tersebut berimplikasi pada terjebaknya umat
manusia untuk ‘seolah-olah’ berkeinginan memenuhi kebutuhan akan kehadiran teknologi
dalam setiap laku kehidupan mereka.
Keberhasilan
teknologi yang telah menteknologikan manusia menjadi prestasi paling gemilang
atas keberadaan teknologi itu sendiri. Imbasnya, umat manusia telah kehilangan
jati dirinya menjadi seorang manusia. Kebutuhan ‘seolah-olah’ akan teknologi
telah memenuhi otak manusia sehingga sadar tak sadar telah menjadi barang
primer yang mau tidak mau harus dipenuhi.
Lihat saja dengan
cerdiknya saat penguasa teknologi meluncurkan produk teknologinya, konsumen
dengan seketika meminati dan memborongnya. Keinginan untuk memiliki produk-produk
teknologi yang setiap saat ada dalam pikiran dan kesadaran manusia adalah candu
berbahaya hasil rekayasa teknologi yang tak kita sadari selama ini.
Sementara di satu
sisi, ciri teknologi dari kepentingan bisnisnya selalu saja menampilkan
kebaruan yang setiap saat selalu berganti wajah. Anehnya di setiap pergantian
kebaruan bentuk teknologi tersebut, selalu saja kita sebagai manusia ingin
memilikinya sebagai barang kebutuhan yang wajib ada di dalam kehidupan kita.
Kekuatan pengaruh teknologi
tersebut kini tidak hanya mengubah perilaku manusia dari sekedar menjadikannya
sebagai ‘seolah-olah’ kebutuhan hidup semata, akan tetapi juga telah
menjadikannya sebagai tujuan hidup. Tujuan berarti akhir
dari segala bentuk pencarian setiap orang. Dengan begitu, keberadaan teknologi
pada bagian sisinya telah mampu mengubah tujuan mulia manusia sebagaimana yang
diutarakan Marshal McLuhan salah seorang pemikir media.
Kondisi itu kini
diperparah dengan adanya kenyataan bahwa setiap orang menghendaki diri mereka
untuk menjadi teknolog. Tentu segala syarat-syarat untuk mendatangkan sebutan
itu dengan cara apapun mereka berusaha memenuhinya sadar atau tidak sadar
karena konsepsi yang kini terbangun telah menjadi common sense setiap orang.
Realitas yang common sense tersebut
dapat berarti bahwa kenyataan yang dipahami bersama oleh semua orang sebagai
kelumrahan (lazim) yang umum. Akibat tumbuhnya kesadaran kelaziman itu, atas
nama tehnologi modern, setiap orang berusaha terus menerus berinteraksi dengan
tehnologi dari bentuknya yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks.
Seperti pamflet, bulletin, spanduk, surat kabar, bilboard, handphone, komputer,
internet.
Imagologi Perempuan
Menurut Mark Slouka,
imagologi merupakan sistem produksi halusinasi yang dipercaya sebagai sistem
pengetahuan publik yang berderajat pengetahuan common sense. Secara mekanis, imagologi dibangun lewat aksi-pasi
dan relasi setiap rajutan simbol ditambah pemanfaatan daya imajinasi. Secara sederhana imagologi diartikan
sebagai paduan ‘kata’ dan ‘gambar’, yang keduanya berjalin sedemikian rupa
membentuk narasi medium (teks).
Proses pemediuman
berbagai realitas pun terjadi akibat dari kebutuhan masyarakat terhadap medium
(media masa, elektronik dan layar) yang tinggi, tak terkecuali fenomena keperempuanan
yang telah banyak mengalami pe-medium-an dengan segala bentuknya yang
menyebabkan makna dan identitas perempuan tercerabut dari akarnya.
Akibat dari itu,
fenomena keperempuanan yang telah dimediumkan mendatangkan kematian bagi identitas
perempuan dengan sendirinya. Selain itu juga telah menyebabkan realitas faktual
keperempuanan mengalami konstruksi wujud utuh menjadi tampilan-tampilan layar
keperempuanan semata.
Keberadaan perempuan
selanjutnya dinilai dari yang tampak luar, yang dalam proses imagologi dibuat
dalam bentuk teks-teks sehingga perilaku keperempuanan selalu diukur pada
simbol yang mewakili realitas yang ditampakkan dari perempuan itu sendiri.
Untuk membentuk common pepole melalui media, ada dua
proses yaitu generalisasi terhadap isu-isu tertentu dan pengidentikan massal
melalui medium dilakukan melalui cara-cara produksi pemikiran dan narasi yang
direproduksi secara khusus, dan konsisten sambil memberikan gambaran mengenai
definisi sesuai pemahaman mereka.
Cara ini akan membentuk pengetahuan
masyarakat sbagaimana digambarkan dalam medium tersebut, sehingga muncullah
suatu kesepakatan tak tertulis yang dipahami bersama masyarakat. Sebagai contoh, isu
‘emansipasi’ saat sekarang ini telah menjadi wacana yang lazim di tengah-tengah
perempuan.
Padahal, kita tidak pernah tahu siapakah yang memulai isu tersebut?
Alhasil, ibu rumah tangga yang keberadaannya selama ini mendampingi suami dan
mendidik anak harus berhadapan dengan definisi common sense tentang ‘emansipasi’.
Isu poligami sejumlah
tokoh dan ulama juga pernah menghentak jagat media. Kasus poligami Da’I kondang
Aa Gym yang di blow up media secara besar-besaran seolah menggiring pembaca
bahwa Islam itu adalah poligami. Reduksi makna kegamaan menjadi hanya poligami
tentu salah karena disitu realitas Islam telah mengalami penyempitan makna
akibat reduksi atas realitas Islam yang sesungguhnya.
Tidak hanya itu,
produk-produk kecantikan yang ditampilkan dalam layar media juga memiliki
pengaruh luar biasa terhadap perubahan definisi tentang ‘cantik’. Pe-medium-an
alat-alat kecantikan telah merubah makna lengkap kecantikan. ‘Cantik’ tidak
lagi dipahami secara utuh, tapi dipahami berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan oleh produk-produk kecantikan yang tampil di layar medium seperti
harus putih, mempunyai wajah mulus, tidak berjerawat, modis, kece dan berbagai
identifikasi kecantikan berdasarkan kategori yang menghiasi layar media.
Kesadaran tentang
‘cantik’ berdasarkan kategori di atas kini telah menjadi common sense yang mendistorsi keberedaan perempuan. Apakah
ini berbahaya bagi perempuan? Tentu sangat berbahaya mengingat media saat ini
telah menjadi tujuan setiap orang, bukan hanya sekedar alat semata. Belum lagi
efek pembesaran media atau eskalasi terhadap suatu objek yang mendorong
terjadinya pemahaman umum secara berlebihan atau menyangatkan.
Misalnya
fenomena hijab modern yang digunakan oleh perempuan dan senantiasa menghiasi
layar media saat ini. Terlebih perempuan-perempuan yang ditampilkan di layar
media sebagian besarnya ialah idola-idola dari layar sinetron dan film yang
kebanyakan diantaranya digemari masyarakat. Celakanya, kesan muslimah yang
diciptakan tanpa diikuti oleh perubahan perilaku keagamaan pelakunya.
Melalui mereka,
prototype perempuan yang benar-benar muslimah dicitrakan sedemikian rupa
sehingga para pembaca, penonton dan masyarakat pada umumnya terdorong untuk
memiliki hijab dengan prototype semirip mungkin dengan artis idola mereka.
Alhasil, common sense yang terbangun
di tengah-tengah perempuan adalah muslimah itu harus menggunakan hijab
berdasarkan kategori tampilan layar media di atas.
Ikonitas yang ditampilkan
oleh artis-artis itu pun kini ramai digunakan oleh perempuan masa kini guna
mengidentikkan diri mereka sebagai perempuan ‘muslimah’. Pada kondisi ini,
realitas utuh seorang muslimah telah mengalami proses reduksi.
Kritis Terhadap Teks
Untuk memperbaiki
citra diri perempuan sesuai dengan harapan pelaksanaan Latihan Khusus Kohati
(LKK) ini, setiap perempuan dan kader HMI-Wati khususnya harus kritis membaca
setiap pesan yang ditampilkan melalui layar media. Pesan yang disampaikan
melalui simbol dan kebanyak narasi teks harus dipahami dengan benar dan tidak
setengah. Karena pesan apapun yang disampaikan melalui media, tidak akan mampu
menggambarkan keseluruhan dari realitas.
Teks tidak dapat
dilepaskan dari gerak pembentukan realitas di masyarakat. Setiap kenyataan yang
ada di masyarakat baik berupa gejala sosial, gejala keagamaan, gejala
keperempuanan, disusun melalui teks-teks. Teks yang tersusun memberikan
informasi bagi orang lain sekaligus menjadi semaca alat rekam dari kegiatan
tersebut. Setiap pemahaman yang lahir dari teks-teks tersebut akan melahirkan
sikap-sikap baru dan respon-respon baru di masyarakat, itulah yang dinamakan
teks membentuk realitas/kenyataan baru di masyarakat. Sebaliknya, teks itu pun
terbentuk akibat dari adanya realitas/kenyataan yang ada di sekeliling manusia
yang dipahami manusia dan dikonstruksi menjadi teks. Proses konstruksi
menyebabkan adanya reduksi karena tidak semua realitas/kenyataan itu dapat
diwakili oleh kata-kata teks, gambar, simbol dan suara.
*Disampaikan pada kegiatan LKK 2015 Tingkat Nusra-Jawa di BPPAUDNI Mataram,
17-09-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar