Salah satu tradisi masyarakat
suku sasak yang terus diawetkan pada setiap momentum pernikahan warga setempat
ialah tradisi nyongkolan. Nyongkolan merupakan rangkaian akhir dari segala
prosesi adat pernikahan khas suku sasak. Dihajatkan untuk memperkenalkan
pengantin ke khalayak bahwa pasangan pria dan wanita tersebut sudah resmi
menjadi sepasang suami isteri.
Secara filosofi, Nyongkolan
merupakan aktualisasi dari sebuah perhelatan perkawinan di daerah NTB yang
bertujuan untuk mensosialisasikan bahwa perkawinan tersebut sudah sah menurut
adat dan agama. Tetapi perkembangan sekarang memperlihatkan bahwa nyongkolan
itu sudah tidak lagi sakral sebagaimana dalam artian yang sebenarnya.
Tercorengnya tradisi nyongkolan
sebagai sebuah kearifan lokal yang bernilai sakral tidak terlepas dari
kurangnya tingkat kepedulian pemangku adat untuk mengawal prosesi nyongkolan
tersebut. Hal ini berakibat pada tidak tertibnya pelaksanaan nyongkolan.
Seperti kritik yang dilontarkan
oleh Budayawan Kota Mataram H. Ramiun saat ditemui Suara NTB beberapa waktu lalu. Dirinya mengatakan bahwa pelaksanaan
nyongkolan sekarang ini sudah tidak mempunyai nilai sakral lagi. Banyak nilai
dan kearifan yang ditnggalkan oleh masyarakat dalam menjalankan prosesi
nyongkolan ini. Seperti pelaksanaan nyongkolan yang terjadi di jalan raya yang
cukup menggangu kenyamanan berkendaraan, hal itu karena nyongkolan sekarang ini
telah mengalami pergeseran makna. Tidak adanya keterlibatan para pemangku adat
pada setiap prosesi nyongkolan menjadi salah satu pemicu tidak tertibnya
peserta yang nyongkolan. “mereka dilepas begitu saja, sehingga tidak jarang
kericuhan terjadi di arena nyongkolan”.
Selain tidak adanya keterlibatan
para tokoh adat dalam pelaksanaan nyongkolan juga abainya aparat keamanan dalam
mengawasi pelaksanaan nyongkolan ini. jika dibandingkan dengan adat nyongkolan
tempo dulu yang selalu menjadikan keamanan dan ketertiban warga sebagai
prioritas utama. “kalau sudah tertib dan aman, maka prosesi adat (nyongkolan)
itu akan berjalan lancar” terangnya.
Selain itu, kritikan juga
dilontarkan terhadap peserta nyongkolan
yang tidak sepenuhnya paham arti dari prosesi yang sedang dilakukannya.
Ketidakpahaman para pemuda tersebut menjadi sebab tidak baiknya pelaksanaan
prosesi adat nyongkolan. “anak-anak muda kita hanya sekedar ikut-ikutan
meramaikan, dengan memakai busana yang keluar dan tidak sesuai dengan adat
sasak ” terangnya.
Padahal mereka mempunyai filosofi
tersendiri, seperti cara berpakaian bagi para pesertanya, kemudian
iring-iringan musiknya. Idealnya nyongkolan dalam budaya kita harus ada
iring-iringan musik seperti rebana, gendang beleq dan tawu-tawu. Tetapi
sekarang karena sudah terjadi pergeseran menyebabkan masuk berbagai jenis musik
modern. Padahal sesungguhnya, jenis musik modern tersebut tidak cocok untuk
mengiringi prosesi nyongkolan. “masa busana adat nyongkolan seperti itu
diiringi oleh musik dangdut?”
Musik rebana msalnya ketika adat
nyongkolan digelar harusnya dipentaskan di urutan paling depan dari para
peserta nyongkolan. Karena rebana memiliki akar kata dalam bahasa arab rabbana yang artinya Tuhan kami. Jadi
filosofinya meminta sebagai do’a di depan pengantin agar mendapatkan
perlindungan dari Tuhan bagi kedua mempelai dan para peserta nyongkolan lainnya
agar diberikan keselamatan. Kemudian diiringi oleh musik gendang beleq di
belakang peserta nyongkolan, dengan suara musiknya yang keras diperuntukkan
sebagai pertanda bahwa nyongkolan ini sebagai prosesi puncak dari rangkaian acara
pernikahan.
Selain itu paparnya, harusnya ada
aturan yang dibuat untuk mengatasi problem nyongkolan ini, seperti yang
diterapkan dibeberapa tempat seperti di kelurahan Monjok misalnya yang telah
membuatkan awik-awik (peraturan adat) bagi warganya yang nyongkolan. Seperti
dalam jarak sekian meter dari rumah mempelai perempuan, mereka diberikan jatah
untuk turun ke jalan menuju rumah perempuan, sehingga hal itu tidak membuat
mereka teralu lama berada di pinggir jalan yang nantinya berpotensi membuat kemacetan”.
Tidak hanya itu, mereka yang menyelenggarakan prosesi nyongkolan harus meminta
ijin keramaian kepada aparat kepolisian, “jadi syarat nyongkolan itu juga ada,
misalnya peserta nyongkolan tidak boleh membawa barang tajam, kemudian tidak
minum minuman keras selama prosesi berlangsung”.
Dirinya menilai semakin
amburadulnya prosesi adat nyongkolan dewasa ini tidak harus saling melimpahkan
kesalahan satu sama lainnya, tetapi
dirinya meminta semua pihak baik pemerintah, kepala lingkungan, RT/RW, pemangku
tata krame yang merasa peduli untuk duduk bersama menyelesaikan problem
nyongkolan ini. (dys)
2 komentar:
nice post. ada referensinyakah tulisan ini? ijin share ya :)
silaq, ini hasil wawancara dng narasumber
Posting Komentar