KANGGOK'M TADAHN ?

Rabu, 02 Oktober 2013

Nyongkolan; Tradisi “Usang” yang Kehilangan Makna


Salah satu tradisi masyarakat suku sasak yang terus diawetkan pada setiap momentum pernikahan warga setempat ialah tradisi nyongkolan. Nyongkolan merupakan rangkaian akhir dari segala prosesi adat pernikahan khas suku sasak. Dihajatkan untuk memperkenalkan pengantin ke khalayak bahwa pasangan pria dan wanita tersebut sudah resmi menjadi sepasang suami isteri.
Secara filosofi, Nyongkolan merupakan aktualisasi dari sebuah perhelatan perkawinan di daerah NTB yang bertujuan untuk mensosialisasikan bahwa perkawinan tersebut sudah sah menurut adat dan agama. Tetapi perkembangan sekarang memperlihatkan bahwa nyongkolan itu sudah tidak lagi sakral sebagaimana dalam artian yang sebenarnya.
Tercorengnya tradisi nyongkolan sebagai sebuah kearifan lokal yang bernilai sakral tidak terlepas dari kurangnya tingkat kepedulian pemangku adat untuk mengawal prosesi nyongkolan tersebut. Hal ini berakibat pada tidak tertibnya pelaksanaan nyongkolan.
Seperti kritik yang dilontarkan oleh Budayawan Kota Mataram H. Ramiun saat ditemui Suara NTB beberapa waktu lalu. Dirinya mengatakan bahwa pelaksanaan nyongkolan sekarang ini sudah tidak mempunyai nilai sakral lagi. Banyak nilai dan kearifan yang ditnggalkan oleh masyarakat dalam menjalankan prosesi nyongkolan ini. Seperti pelaksanaan nyongkolan yang terjadi di jalan raya yang cukup menggangu kenyamanan berkendaraan, hal itu karena nyongkolan sekarang ini telah mengalami pergeseran makna. Tidak adanya keterlibatan para pemangku adat pada setiap prosesi nyongkolan menjadi salah satu pemicu tidak tertibnya peserta yang nyongkolan. “mereka dilepas begitu saja, sehingga tidak jarang kericuhan terjadi di arena nyongkolan”.
Selain tidak adanya keterlibatan para tokoh adat dalam pelaksanaan nyongkolan juga abainya aparat keamanan dalam mengawasi pelaksanaan nyongkolan ini. jika dibandingkan dengan adat nyongkolan tempo dulu yang selalu menjadikan keamanan dan ketertiban warga sebagai prioritas utama. “kalau sudah tertib dan aman, maka prosesi adat (nyongkolan) itu akan berjalan lancar” terangnya.
Selain itu, kritikan juga dilontarkan terhadap peserta nyongkolan  yang tidak sepenuhnya paham arti dari prosesi yang sedang dilakukannya. Ketidakpahaman para pemuda tersebut menjadi sebab tidak baiknya pelaksanaan prosesi adat nyongkolan. “anak-anak muda kita hanya sekedar ikut-ikutan meramaikan, dengan memakai busana yang keluar dan tidak sesuai dengan adat sasak ” terangnya.
Padahal mereka mempunyai filosofi tersendiri, seperti cara berpakaian bagi para pesertanya, kemudian iring-iringan musiknya. Idealnya nyongkolan dalam budaya kita harus ada iring-iringan musik seperti rebana, gendang beleq dan tawu-tawu. Tetapi sekarang karena sudah terjadi pergeseran menyebabkan masuk berbagai jenis musik modern. Padahal sesungguhnya, jenis musik modern tersebut tidak cocok untuk mengiringi prosesi nyongkolan. “masa busana adat nyongkolan seperti itu diiringi oleh musik dangdut?”
Musik rebana msalnya ketika adat nyongkolan digelar harusnya dipentaskan di urutan paling depan dari para peserta nyongkolan. Karena rebana memiliki akar kata dalam bahasa arab rabbana yang artinya Tuhan kami. Jadi filosofinya meminta sebagai do’a di depan pengantin agar mendapatkan perlindungan dari Tuhan bagi kedua mempelai dan para peserta nyongkolan lainnya agar diberikan keselamatan. Kemudian diiringi oleh musik gendang beleq di belakang peserta nyongkolan, dengan suara musiknya yang keras diperuntukkan sebagai pertanda bahwa nyongkolan ini sebagai prosesi puncak dari rangkaian acara pernikahan.
Selain itu paparnya, harusnya ada aturan yang dibuat untuk mengatasi problem nyongkolan ini, seperti yang diterapkan dibeberapa tempat seperti di kelurahan Monjok misalnya yang telah membuatkan awik-awik (peraturan adat) bagi warganya yang nyongkolan. Seperti dalam jarak sekian meter dari rumah mempelai perempuan, mereka diberikan jatah untuk turun ke jalan menuju rumah perempuan, sehingga hal itu tidak membuat mereka teralu lama berada di pinggir jalan yang nantinya berpotensi membuat kemacetan”. Tidak hanya itu, mereka yang menyelenggarakan prosesi nyongkolan harus meminta ijin keramaian kepada aparat kepolisian, “jadi syarat nyongkolan itu juga ada, misalnya peserta nyongkolan tidak boleh membawa barang tajam, kemudian tidak minum minuman keras selama prosesi berlangsung”.
Dirinya menilai semakin amburadulnya prosesi adat nyongkolan dewasa ini tidak harus saling melimpahkan kesalahan satu sama  lainnya, tetapi dirinya meminta semua pihak baik pemerintah, kepala lingkungan, RT/RW, pemangku tata krame yang merasa peduli untuk duduk bersama menyelesaikan problem nyongkolan ini. (dys)


2 komentar:

Unknown mengatakan...

nice post. ada referensinyakah tulisan ini? ijin share ya :)

beritasasak.blogspot.com mengatakan...

silaq, ini hasil wawancara dng narasumber